Hanifa baru saja keluar dari kantor penggadaian dengan membawa segepok uang dari hasil menggadaikan kalung emas yang beratnya puluhan gram.
Kalung yang pernah diberikan oleh almarhum Kakek Abimana terpaksa dia gadaikan demi bisa berlangganan di tempat fitness. Dia juga ingin perawatan wajah dan seluruh permukaan kulit tubuhnya supaya bisa cantik.
"Kek, maafin Nifa, ya. Suatu saat nanti Nifa bakal tebus kembali kalung itu." Hanifa lekas menyimpan uang tersebut ke dalam tas.
Setelahnya, ia gegas pergi ke tempat fitness baru itu. Untung saja pelayanan di sana sangat ramah dan justru begitu bersemangat untuk membantu Hanifa menurunkan berat badan, setelah mendengar keluh kesal gadis itu.
Terlebih lagi, Hanifa akan dilatih secara langsung oleh si pemilik tempat tersebut yang tampangnya sangat rupawan.
"Mbak Hanifa mulai besok bisa datang ke sini. Saya akan bimbing Mbak sampai punya berat badan ideal. Itu janji saya!" Lelaki tampan yang bernama Respati itu sama sekali tidak ilfeel ketika berdekatan dengan calon muridnya yang memiliki badan gembrot.
Hanifa bahkan merasa tersanjung sekaligus tersipu malu. Apalagi tidak bisa dipungkiri jika hati kecilnya mengatakan bila Abimana kalah jauh tampannya dari pelatihnya ini.
Walau begitu, Hanifa lekas sadar diri lantaran tujuannya ke sini bukan untuk mengagumi lelaki lain. Apalagi hatinya masih untuk Abimana seorang.
"Baik, Pak—"
"Panggil saja Mas. Saya belum setua itu untuk dipanggil Pak." Respati menyela dengan lembutnya. Mungkin memang bawaan lelaki itu yang tutur katanya sangat sopan dan lembut.
"Kalau begitu, panggil saya Nifa saja, Mas. Sepertinya usia saya lebih muda dari Mas!" Hanifa tersenyum malu-malu. Respati langsung terkekeh dan mengangguk.
Setelah menyelesaikan biaya administrasi, Hanifa memilih untuk pamit undur diri. Ia tak langsung pulang lantaran mampir dulu untuk belanja segala kebutuhan yang ia kenakan untuk besok.
Ia sampai di rumah ketika waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Senyuman yang tadinya merekah, kini langsung luntur kala mendapati sosok Widya yang ada di sana bak nyonya rumah itu.
"Kebetulan kamu sudah pulang. Keluyuran darimana sih? Kayaknya mau jual diri juga nggak bakal laku, deh!" Widya menatap rendah ke arah Hanifa. "Ah, lupakan soal itu. Aku mau kasih sesuatu sama kamu. Ini, jangan lupa nanti malam dipakai, ya, Nifa gembrot!"
Hanifa menerima uluran paper bag dari Widya. "Apa ini?" Gadis itu menyerngit keheranan ketika melihat isi paper bag tersebut yang ternyata sebuah gaun berwarna ngejreng dan juga sepasang flat shoes yang warnanya senada.
"Nanti malam ada acara Anniversary pernikahan Omnya Mas Abi. Pokoknya nanti malam bakal ramai banget. Kamu harus hadir. Ini kesempatan kamu buat buktiin kalau kamu itu pantes bersanding dengan Mas Abi. Sebenarnya, sih, aku yang akan dipasangkan dengan Mas Abi. Tapi, aku ngerasa nggak pantes!" ujar Widya dengan tampang sendunya.
Hanifa bahkan sampai memicingkan mata. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Widya justru terlihat aneh begini.
"Maksudnya gimana?" Hanifa bertanya dengan heran. Apa pelakor satu ini sudah tobat?
"Aku sadar kalau selama ini aku salah. Aku nggak mau jadi pelakor. Hari ini mungkin terakhir kalinya aku di sini, soalnya aku mau pulang kampung. Nah, makanya, aku mau nebus semua kesalahanku ke kamu."
Hanifa bingung. Di sisi lain, dia ingin sekali hadir, tapi dia minder. Selama ini keluarga besar Abimana banyak yang tak menyukai dirinya. Hanya Papa mertuanya yang begitu baik padanya.
"Aku nggak mau hadir. Aku nggak diundang. Bahkan, acara keluarga seperti ini saja aku nggak tau!" Hanifa memilih untuk berlalu. Tapi, sebelum itu terjadi, Widya pun langsung menahan.
"Aku mohon sama kamu. Aku cuma mau nebus kesalahan aku. Tante Santi kekeuh pengen aku sama Mas Abi yang datang, tapi aku maunya kamu yang temani Mas Abi. Dia, kan, suamimu. Please, tunjukkan pada dunia kalau kamu pantes sama Mas Abi. Aku bakal dandanin kamu biar cantik melebihi aku. Mau, ya?"
Hanifa berpikir sejenak dan karena keinginannya untuk tetap bertahan dengan Abimana, pada akhirnya dia menyetujui. Widya yang melihat hal itu langsung menyeringai puas.
Malam pun tiba. Hanifa sudah berdiri di depan rumah mewah yang sudah ramai sekali. Tiba-tiba dia merasa tidak pede. Apalagi ketika melihat penampilannya sendiri yang sekarang ini sedang menggunakan gaun ketat hingga membuat lemak tubuhnya tumpah-tumpah.
"Nggak papa sekarang gendut. Bentar lagi juga pasti kurus dan bikin Mas Abi kepincut," monolognya untuk menghibur diri.
Widya tadi bilang jika dia harus tampil seksi dan aduhai. Dandanannya juga sangat menor. Hanifa sangat tidak nyaman dengan semua ini. Terlebih lagi, dia datang seorang diri lantaran sejak siang tadi Abimana tak pulang karena sibuk membantu di sini.
Ting!
Ponselnya berbunyi dan itu adalah pesan dari Widya yang menyuruhnya untuk segera masuk lantaran sudah ditunggu oleh Abimana. Hanifa bahkan tak percaya ketika tadi dengan tiba-tiba Widya meminta nomor teleponnya.
Seketika, kedua sudut bibir Hanifa melengkung ke atas ketika membayangkan pangeran kesayangannya sedang menunggu di dalam sana.
"Mas Abi. Tunggu aku, Sayang!" ujar Hanifa cekikikan.
Ia pun memilih untuk masuk. Langsung saja kehebohan terjadi. Semua orang menertawakan dirinya. Gadis itu merasa tak nyaman, tapi tetap melangkah masuk ketika matanya tak sengaja mendapati keberadaan Abimana.
"Mas Abi!" panggil Hanifa. Namun, senyumnya langsung luntur ketika melihat lengan Abimana yang dipeluk manja oleh Widya.
Widya tersenyum miring dan menatap remeh pada Hanifa.
"Astaga, Abi! Kenapa kamu undang dia, hah? Pakaiannya? Ya ampun!" Santi langsung histeris di tempat. Wanita paruh baya itu malu sekali.
"Mas Abi. Katanya kamu mau kenalin aku ke keluarga besar, kok malah nyuruh dia datang, sih?" rengek Widya manja.
"Ya ampun. Kok, ada gajah lepas dari kandangnya, sih?"
"Ini bini Abimana ngelawak atau gimana, sih? Astaga, percuma ganteng, tapi punya bini jeleknya kayak gini. Lebih cantik pemulung dekat jembatan sana!"
"Obesitasnya terlalu. Eneg banget lihat orang kayak gini! Lemak ada di mana-mana!"
"Dandanannya kayak badut lagi. Iyuh!"
Air mata Hanifa berlomba-lomba untuk jatuh. Ucapan mereka semua sangat menyayat hati. Terlebih lagi, kebanyakan dari mereka yang mengatainya adalah para sepupu Abimana. Ada juga beberapa anak dari rekan kerja Omnya Abimana yang di undang.
Ketika dia berharap dilindungi oleh Abimana, tapi sayangnya harapannya pupus. Dia juga merasa dipermainkan oleh Widya yang ternyata hatinya sangat busuk.
"Saya nggak ada nyuruh kamu datang ke sini, ya. Bikin kacau!" bentak Abimana yang langsung menyeret tubuh Hanifa ke tempat sepi. Santi pun juga ikut. Begitu pula dengan Widya yang selalu mengekor.
"Mas Abi. Ini sakit sekali. Hati aku juga sakit!" Hanifa menangis sesenggukan. Sayangnya, siapa yang akan peduli dengan si gembrot ini?
"Ini nggak bisa ditoleransi! Si gembrot ini sudah bikin malu. Mau ditaruh mana muka Mama, hah?" bentak Santi merasa tak terima.
"Mas Abi. Pasti dia pernah nguping pembicaraan kita yang mau datang bareng ke sini sebagai pasangan. Pasti dia mau ngerusak moment indah kita berdua. Hukum dia, Mas!" tunjuk Widya seraya tersenyum miring.
"Kamu wanita jahat!" Hanifa yang ingin menyerang Widya pun langsung dihentikan oleh Abimana. Rambutnya bahkan dijambak dan tubuhnya didorong kuat.
Namun, Hanifa sama sekali tak merasakan dinginnya lantai keramik di rumah ini, melainkan dekapan hangat dari seseorang.
"Apa begini caranya memperlakukan seorang perempuan?" Suara dingin itu langsung membuat bulu kuduk ketiga orang jahat itu meremang.
"Nyonya, saya mohon ampun. Saya di sini hanya di suruh oleh Tante Santi untuk membuat rumah tangga Hanifa dan Mas Pati berantakan!"Pada akhirnya, Maya mengaku juga. Wanita itu sudah tidak kuat menahan segalanya. Terlebih lagi, Santi terlalu cerewet. Bukan hanya itu saja yang menjadi pertimbangan Maya dalam mengungkapkan semua ini. Dia tau betul jika Santi sudah membeli mobil baru. Mungkin saja sebentar lagi sudah pasti akan bisa menaiki mobil tersebut.Maya jadi pesimis, dia takut jika Santi sudah tak memiliki uang lagi untuk dirinya. Alhasil, jalan satu-satunya adalah dengan cara mengaku. Dengan begitu, dia tak akan takut lagi kehilangan pekerjaan.Sayangnya, pikiran Maya kali ini meleset. Anisa tak akan segan-segan mengusir wanita licik itu. "Oh, jadi kamu dan wanita itu biang keladinya. Saya akan tetap memecat kamu. Kamu dari awal sudah toxic dan saya tidak sudi menampung perempuan seperti kamu lagi. Satu lagi, mungkin saya akan membawa permasalahan ini ke jalur hukum. Sampai be
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART