"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa.
"Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—"
"Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati.
Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.
Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti.
"Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"
Plak!
Tangan Hanifa sudah gatal dan langsung menampar pipi Abimana. Bahkan, tamparan itu sama sekali tak terasa karena memang tangan Hanifa sejak tadi sudah gemetar.
"Cukup, Mas! Kamu jahat. Aku bahkan masih terus menjaga kesucianku cuma buat kamu. Tapi, ini balasannya, Mas? Aku benci sama kamu. Kamu mau cerai, kan, sama aku? Oke, pulang dari sini, aku bakal tandatangani surat gugatan cerai dari kamu. Puas kamu, hah?" teriak Hanifa kepalang frustasi.
Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat acara dengan diikuti oleh Respati.
Di sisi lain, Abimana terdiam. Persis seperti orang linglung.
"Bagus. Sebentar lagi sampah itu akan pergi dari kehidupan kita, Abi!" ujar Santi yang sangat puas dengan semua ini.
"Itu artinya, bentar lagi aku bisa nikah sama Mas Abi, dong, Tan?" tanya Widya dengan centilnya.
"Sabar. Ngurus perceraian itu butuh waktu. Setidaknya kurang lebih enam bulan baru benar-benar selesai. Kalau kamu sama Abi memang kebelet, mending nikah siri saja. Kalau Abi sudah mengantongi akta cerai, baru kalian bisa urus pernikahan sah di mata hukum juga," balas Santi yang di balas dengusan oleh Widya.
***
Respati sudah mendengarkan semua cerita Hanifa yang ternyata hidupnya sangat miris. Lelaki itu semakin merasa iba. Namun, tekadnya juga semakin kuat untuk membantu gadis malang ini.
"Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Sebenarnya aku punya keluarga di kampung, tapi aku nggak mau ngerepotin mereka. Apalagi Paman sama Bibi bukan orang berada. Aku harus bertahan di sini apapun caranya!" Hanifa menunduk.
Gadis itu masih terpuruk. Berpisah dengan Abimana sama sekali tak ada di dalam kamus hidupnya. Hanya saja, jika terus menerus bertahan, dia tak yakin bisa menjaga kewarasan diri. Terlebih lagi, Abimana dengan tega menuduhnya menjual diri. Itu yang tidak bisa Hanifa toleransi.
"Keluar dari rumah itu. Tinggal di rumah kontrak milik saya. Mulai besok, kamu harus latihan dan harus semangat. Buktikan pada dunia kalau kamu bisa merubah hidupmu. Masalah biaya hidup, kamu bisa kerja paruh waktu di tempat adik saya. Kami harus keluar dari zona nyaman!" tegas Respati.
Hanifa mengangguk. Tekadnya sudah bulat. Dia harus merubah nasib supaya tidak ditindas terus menerus oleh orang lain.
Keesokan harinya, Hanifa menatap nanar surat gugatan cerai yang sudah dia tandatangani.
"Mas Abi. Kamu memang cinta pertamaku. Tapi, kamu juga luka terbesar dalam hidupku. Aku harap, kamu dapat balasan setimpal atas rasa sakitku selama ini. Nggak bakal ada perempuan tulus sama kamu kecuali aku!" monolog Hanifa seraya meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas nakas kamarnya.
Setelahnya, Hanifa benar-benar keluar dari rumah yang menyisakan banyak kenangan itu.
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa, bulan pun berganti. Hanifa sudah menjalani serangkaian persidangan walau tidak pernah bertemu dengan Abimana lantaran lelaki itu tak pernah hadir.
Hanifa berusaha untuk tetap tegar. Ia begitu semangat latihan dengan Respati sebagai pelatihnya.
"Mas. Aku nggak sanggup makan beginian. Hoek ...."
Ini bukan kali pertamanya Hanifa muntah lantaran makan rebusan. Biasanya dia lebih suka makanan cepat saji. Namun, sudah tiga bulan ini dia terus diberikan makanan sehat. Entah itu buah, atau sayuran dan umbi-umbian rebus.
"Ayo semangat. Makan rebusan itu sehat. Masa sudah tiga bulan belum juga terbiasa? Kamu pasti bisa. Mau, kan, timbangan turun lagi kayak sebelumnya?" tanya Respati memberikan dorongan pada Hanifa.
Sang empu mengangguk. Dia kembali bersemangat dan mulai menjajali alat olahraga. Hanifa juga rutin melakukan senam zumba. Di pagi hari dia akan lari pagi, setelahnya pergi ke tempat fitness milik Respati dan latihan di sana. Siangnya akan ikut kelas zumba. Sementara jam tiga sore sampai jam sembilan malam, Hanifa akan bekerja sebagai asisten pribadi adik dari Respati yang memiliki sebuah klinik kecantikan.
Kegiatan itu terus menerus Hanifa lakukan. Dia sangat berusaha keras untuk menyambung hidup sekaligus mewujudkan impiannya yaitu memiliki badan ideal.
"Minum dulu. Kalau capek jangan lupa rehat. Tubuh kamu bukan robot. Nanti juga kamu kudu kerja. Jangan lupa nyemil buah!" Respati memang sangat perhatian hingga membuat Hanifa sedikit melupakan rasa galaunya.
"Terima kasih, Mas. Berkat Mas dan keluarga Mas, aku bisa bertahan sejauh ini!"
"Tidak perlu berterima kasih. Anggap saja saya ini perantara supaya kamu bisa menjalani pola hidup sehat. Oh iya, kata adikku, jangan lupa terus rutin pakai skincare. Kulitmu sudah mulai bersih dari jerawat. Jangan lupa kalau gajian, ikut perawatan di klinik itu!"
Hanifa mengangguk bersemangat. Gadis itu kembali latihan sampai jam menunjukkan pukul setengah dua. Barulah dia pergi ke tempatnya bekerja.
Tubuh Hanifa sebenarnya lelah sekali, tapi dia sangat enjoy melakukan semuanya. Apalagi semakin ke sini, dia merasakan perubahan yang sangat pesat di tubuhnya. Lemak mulai hancur lebur dan perut buncitnya mulai menyusut.
"Hanifa, tolong bantu cekkan jadwal saya sampai nanti malam, ya. Setelah itu, bantu saya menangani pasien yang mau perawatan wajah, ya. Sekalian saya training kamu supaya bisa terjun langsung menangani pasien!" ujar wanita cantik bernama Kusuma. Dia adalah adik kandung dari Respati yang berprofesi sebagai dokter kecantikan.
"Apa tidak berlebihan, Mbak? Saya bahkan nggak sekolah tinggi—"
"Kamu itu cekatan orangnya. Punya bakat juga. Akhir bulan nanti saya traktir kamu ke salon, ya. Soalnya mau traktir kamu ke restoran takut Mas Pati marah. Dia, kan, posesif banget pada muridnya kalau sudah urusan makanan!" Kusuma terkekeh sementara Hanifa hanya tersenyum canggung.
Pada akhirnya, keduanya pun mulai mengerjakan bagian masing-masing dengan dibantu oleh beberapa karyawan Kusuma yang lainnya.
Sampai pada akhirnya, Hanifa melihat kedatangan Widya dan Abimana yang sedang mendaftar di tempat resepsionis.
"Saya mau perawatan seluruh tubuh supaya calon suami saya nanti bisa puas!"
"C-calon suami? Bahkan sidang terakhir saja belum dilaksanakan," lirih Hanifa.
"Nyonya, saya mohon ampun. Saya di sini hanya di suruh oleh Tante Santi untuk membuat rumah tangga Hanifa dan Mas Pati berantakan!"Pada akhirnya, Maya mengaku juga. Wanita itu sudah tidak kuat menahan segalanya. Terlebih lagi, Santi terlalu cerewet. Bukan hanya itu saja yang menjadi pertimbangan Maya dalam mengungkapkan semua ini. Dia tau betul jika Santi sudah membeli mobil baru. Mungkin saja sebentar lagi sudah pasti akan bisa menaiki mobil tersebut.Maya jadi pesimis, dia takut jika Santi sudah tak memiliki uang lagi untuk dirinya. Alhasil, jalan satu-satunya adalah dengan cara mengaku. Dengan begitu, dia tak akan takut lagi kehilangan pekerjaan.Sayangnya, pikiran Maya kali ini meleset. Anisa tak akan segan-segan mengusir wanita licik itu. "Oh, jadi kamu dan wanita itu biang keladinya. Saya akan tetap memecat kamu. Kamu dari awal sudah toxic dan saya tidak sudi menampung perempuan seperti kamu lagi. Satu lagi, mungkin saya akan membawa permasalahan ini ke jalur hukum. Sampai be
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m