"Kamu siapa? Nggak usah ikut campur. Ini urusan keluarga!" sewot Widya yang sebenarnya tak terima ketika ada lelaki tampan yang membela Hanifa.
"Bukan begini caranya berbicara dengan perempuan yang kata kalian keluarga—"
"Mas. Mending kita pergi saja!" Hanifa memotong ucapan lelaki tampan yang ternyata adalah Respati.
Lelaki itu memilih untuk menurut lantaran sudah tak tega saat melihat air mata Hanifa. Perempuan bertubuh gempal ini sangat menyedihkan. Respati bahkan sejak tadi sudah menyaksikan bagaimana para tamu undangan menghina fisik Hanifa.
Ia sejak tadi ingin membela, tapi sadar diri bila dia hanya tamu undangan di sini. Terlebih lagi, dia bukan siapa-siapanya Hanifa. Namun, ketika wanita itu digiring secara kasar, Respati tentu saja langsung mengikutinya lantaran sudah tak tahan bila harus melihat wanita lugu itu disakiti.
"Oh, jadi gini kelakuan kamu, Nifa! Tubuh gembrotmu ternyata laku juga, ya. Dibayar berapa kamu sama dia, hah? Sudah tidur, kan, sama dia? Ngaku kamu!"
Plak!
Tangan Hanifa sudah gatal dan langsung menampar pipi Abimana. Bahkan, tamparan itu sama sekali tak terasa karena memang tangan Hanifa sejak tadi sudah gemetar.
"Cukup, Mas! Kamu jahat. Aku bahkan masih terus menjaga kesucianku cuma buat kamu. Tapi, ini balasannya, Mas? Aku benci sama kamu. Kamu mau cerai, kan, sama aku? Oke, pulang dari sini, aku bakal tandatangani surat gugatan cerai dari kamu. Puas kamu, hah?" teriak Hanifa kepalang frustasi.
Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat acara dengan diikuti oleh Respati.
Di sisi lain, Abimana terdiam. Persis seperti orang linglung.
"Bagus. Sebentar lagi sampah itu akan pergi dari kehidupan kita, Abi!" ujar Santi yang sangat puas dengan semua ini.
"Itu artinya, bentar lagi aku bisa nikah sama Mas Abi, dong, Tan?" tanya Widya dengan centilnya.
"Sabar. Ngurus perceraian itu butuh waktu. Setidaknya kurang lebih enam bulan baru benar-benar selesai. Kalau kamu sama Abi memang kebelet, mending nikah siri saja. Kalau Abi sudah mengantongi akta cerai, baru kalian bisa urus pernikahan sah di mata hukum juga," balas Santi yang di balas dengusan oleh Widya.
***
Respati sudah mendengarkan semua cerita Hanifa yang ternyata hidupnya sangat miris. Lelaki itu semakin merasa iba. Namun, tekadnya juga semakin kuat untuk membantu gadis malang ini.
"Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Sebenarnya aku punya keluarga di kampung, tapi aku nggak mau ngerepotin mereka. Apalagi Paman sama Bibi bukan orang berada. Aku harus bertahan di sini apapun caranya!" Hanifa menunduk.
Gadis itu masih terpuruk. Berpisah dengan Abimana sama sekali tak ada di dalam kamus hidupnya. Hanya saja, jika terus menerus bertahan, dia tak yakin bisa menjaga kewarasan diri. Terlebih lagi, Abimana dengan tega menuduhnya menjual diri. Itu yang tidak bisa Hanifa toleransi.
"Keluar dari rumah itu. Tinggal di rumah kontrak milik saya. Mulai besok, kamu harus latihan dan harus semangat. Buktikan pada dunia kalau kamu bisa merubah hidupmu. Masalah biaya hidup, kamu bisa kerja paruh waktu di tempat adik saya. Kami harus keluar dari zona nyaman!" tegas Respati.
Hanifa mengangguk. Tekadnya sudah bulat. Dia harus merubah nasib supaya tidak ditindas terus menerus oleh orang lain.
Keesokan harinya, Hanifa menatap nanar surat gugatan cerai yang sudah dia tandatangani.
"Mas Abi. Kamu memang cinta pertamaku. Tapi, kamu juga luka terbesar dalam hidupku. Aku harap, kamu dapat balasan setimpal atas rasa sakitku selama ini. Nggak bakal ada perempuan tulus sama kamu kecuali aku!" monolog Hanifa seraya meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas nakas kamarnya.
Setelahnya, Hanifa benar-benar keluar dari rumah yang menyisakan banyak kenangan itu.
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa, bulan pun berganti. Hanifa sudah menjalani serangkaian persidangan walau tidak pernah bertemu dengan Abimana lantaran lelaki itu tak pernah hadir.
Hanifa berusaha untuk tetap tegar. Ia begitu semangat latihan dengan Respati sebagai pelatihnya.
"Mas. Aku nggak sanggup makan beginian. Hoek ...."
Ini bukan kali pertamanya Hanifa muntah lantaran makan rebusan. Biasanya dia lebih suka makanan cepat saji. Namun, sudah tiga bulan ini dia terus diberikan makanan sehat. Entah itu buah, atau sayuran dan umbi-umbian rebus.
"Ayo semangat. Makan rebusan itu sehat. Masa sudah tiga bulan belum juga terbiasa? Kamu pasti bisa. Mau, kan, timbangan turun lagi kayak sebelumnya?" tanya Respati memberikan dorongan pada Hanifa.
Sang empu mengangguk. Dia kembali bersemangat dan mulai menjajali alat olahraga. Hanifa juga rutin melakukan senam zumba. Di pagi hari dia akan lari pagi, setelahnya pergi ke tempat fitness milik Respati dan latihan di sana. Siangnya akan ikut kelas zumba. Sementara jam tiga sore sampai jam sembilan malam, Hanifa akan bekerja sebagai asisten pribadi adik dari Respati yang memiliki sebuah klinik kecantikan.
Kegiatan itu terus menerus Hanifa lakukan. Dia sangat berusaha keras untuk menyambung hidup sekaligus mewujudkan impiannya yaitu memiliki badan ideal.
"Minum dulu. Kalau capek jangan lupa rehat. Tubuh kamu bukan robot. Nanti juga kamu kudu kerja. Jangan lupa nyemil buah!" Respati memang sangat perhatian hingga membuat Hanifa sedikit melupakan rasa galaunya.
"Terima kasih, Mas. Berkat Mas dan keluarga Mas, aku bisa bertahan sejauh ini!"
"Tidak perlu berterima kasih. Anggap saja saya ini perantara supaya kamu bisa menjalani pola hidup sehat. Oh iya, kata adikku, jangan lupa terus rutin pakai skincare. Kulitmu sudah mulai bersih dari jerawat. Jangan lupa kalau gajian, ikut perawatan di klinik itu!"
Hanifa mengangguk bersemangat. Gadis itu kembali latihan sampai jam menunjukkan pukul setengah dua. Barulah dia pergi ke tempatnya bekerja.
Tubuh Hanifa sebenarnya lelah sekali, tapi dia sangat enjoy melakukan semuanya. Apalagi semakin ke sini, dia merasakan perubahan yang sangat pesat di tubuhnya. Lemak mulai hancur lebur dan perut buncitnya mulai menyusut.
"Hanifa, tolong bantu cekkan jadwal saya sampai nanti malam, ya. Setelah itu, bantu saya menangani pasien yang mau perawatan wajah, ya. Sekalian saya training kamu supaya bisa terjun langsung menangani pasien!" ujar wanita cantik bernama Kusuma. Dia adalah adik kandung dari Respati yang berprofesi sebagai dokter kecantikan.
"Apa tidak berlebihan, Mbak? Saya bahkan nggak sekolah tinggi—"
"Kamu itu cekatan orangnya. Punya bakat juga. Akhir bulan nanti saya traktir kamu ke salon, ya. Soalnya mau traktir kamu ke restoran takut Mas Pati marah. Dia, kan, posesif banget pada muridnya kalau sudah urusan makanan!" Kusuma terkekeh sementara Hanifa hanya tersenyum canggung.
Pada akhirnya, keduanya pun mulai mengerjakan bagian masing-masing dengan dibantu oleh beberapa karyawan Kusuma yang lainnya.
Sampai pada akhirnya, Hanifa melihat kedatangan Widya dan Abimana yang sedang mendaftar di tempat resepsionis.
"Saya mau perawatan seluruh tubuh supaya calon suami saya nanti bisa puas!"
"C-calon suami? Bahkan sidang terakhir saja belum dilaksanakan," lirih Hanifa.
Hanifa sengaja mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Abimana dan Widya. Gadis itu sekarang ini sedang membantu Kusuma untuk menangani dua pasiennya. Sebab, bukan hanya Widya yang akan menjalani perawatan, tapi juga Abimana yang dipaksa oleh si calon untuk menjalani perawatan wajah."Mbak, tolong buat wajah saya makin kinclong, ya. Supaya calon istri saya makin kesemsem sama saya!" ujar Abimana yang kini sudah berbaring di tempat ketika Hanifa sedang menutup tirai pembatas antara Abimana dan Widya.Gadis itu sama sekali tak bersuara dan memilih mengangguk saja. Dia tak ingin Abimana mengenali suaranya.Entahlah, kebetulan macam apa ini? Niat hati hanya ingin bekerja dengan tentram, tapi dia harus kembali berhadapan dengan Abimana. Walau begitu, Hanifa berusaha keras untuk tetap profesional. Bagaimana pun juga, dia sedang bekerja dan harus mengesampingkan masalah pribadi. Toh juga antara dirinya dan Abimana sebentar lagi akan benar-benar berakhir."Tangan Mbak lembut, tapi kenap
Abimana membawa Widya pulang ke kediaman orang tuanya. Ini dia lakukan supaya Widya tak banyak menguras uangnya. Bisa tekor dia nanti jika belum menikah saja, Widya sudah banyak maunya. Sudah dikasih perawatan gratis dari ujung rambut hingga kaki, tapi masih saja ingin tas mahal dan barang mewah lainnya. Sayangnya, sepertinya Abimana melupakan sesuatu. Mereka sudah janjian pada seseorang yang akan menghandle segala keperluan pernikahan. Widya dengan seenaknya bahkan memberitahukan orang tersebut supaya segera datang di kediaman calon mertuanya. Alhasil, belum ada setengah jam, rumah Santi sudah kedatangan tamu dan hal tersebut membuat Widya senang bukan kepalang. "Bisa tidak bahasnya nanti saja?" tanya Abimana yang masih belum terima jika uangnya akan kembali melayang."Nanti kapan, sih, Mas? Bentar lagi kita mau nikah loh ini. Tante nggak keberatan, kan?" tanya Widya meminta pendapat kepada Santi.Santi meneguk ludah dengan susah payah. Wanita paruh baya itu melirik ke arah sang
"Memangnya, Mas mau minta apa?" tanya Hanifa terlampau penasaran."Tetap di sisi saya walau tujuan kamu sudah berhasil tercapai. Maksud saya, kamu tetap boleh tinggal di rumah kontrakan dan bekerja di klinik adik saya. Jangan mencari tempat lain, kami sudah nyaman dengan kehadiranmu!"Sebenarnya, bukan ini yang hendak Respati utarakan. Hanya saja, mungkin moment-nya belum tepat. Dia tak mau jika Hanifa mulai menjauh jika sampai tau apa yang sebenarnya Respati rasakan. Dengan kata lain, lelaki itu memiliki perasaan lebih terhadap Hanifa. "Mas. Aku nggak mungkin pergi begitu saja setelah aku sudah bergantung penuh sama Mas. Mungkin nanti kalau semisal Mas Pati sudah berkeluarga, aku bakal pergi. Soalnya nggak enak sama istrinya Mas nanti!""Kenapa harus tidak enak kalau semisal kamu yang menjadi orangnya?" kekeh Respati yang seketika langsung gelagapan sendiri."Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa yang masih belum paham ketika diberi kode oleh lelaki gagah pemilik tempat fitness itu.Respati
"Dengan berat hati saya mengatakan jika warisan ini lima puluh persen akan jatuh di tangan Mbak Nifa. Lima puluh persennya lagi akan disumbangkan di panti asuhan!""Nggak bisa gitu, Pak! Enak saja main disumbangun ke panti. Apalagi mau dikasih ke si gembrot! Enak saja. Hidup cuma sekali, masa iya harta mertua saya jatuh di tangan orang asing? Nggak bisa gitu! Nggak sudi saya!" Santi langsung mengamuk di tempat.Beberapa orang bahkan sampai merekam aksi wanita paruh baya itu. Sedangkan Abimana sudah malu bukan main dengan tingkah sang ibu. Dia juga sebenarnya ingin mengamuk, tapi berusaha ditahan. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Bu Santi. Saya hanya menyampaikan wasiat almarhum!" Bapak pengacara dengan sabar menjelaskan.Hanya saja, Santi yang kepalang murka bahkan langsung menangis sesenggukan di sini. "Saya susah payah ngelahirin cucu untuk mertua. Kenapa justru orang lain yang akan mendapatkan warisan? Kenapa dunia tidak adil?" Abimana sampai menutup wajahnya menggunakan buku m
"Maksudnya, Mas?" tanya Hanifa dengan jantung yang berdebar hebat.Sebenarnya, gadis itu tau apa yang di maksud oleh Respati. Hanya saja, dia berusaha keras untuk menyangkal, walau sejujurnya dia juga sudah merasa sangat nyaman dengan semua ini.Namun, perlu diingat, Hanifa masih menyimpan nama Abimana di hatinya lantaran lelaki itu adalah cinta pertamanya. Melupakan masa lalu bukanlah hal yang gampang. Terlebih lagi, masa lalu menyakitkan yang pernah dia dapat dari mantan suaminya. Ibarat, cinta itu masih ada, walau hanya tersisa secuil di relung hati. Mungkin seiring berjalannya waktu, cinta itu akan menghilang. "Saya cin—"Ting!Respati memejamkan mata sejenak. Sedetik lagi dia bisa mengungkapkan rasa cintanya pada Hanifa, tapi bunyi notif ponselnya menghentikan semuanya. Ia pun menghela napas dan mulai membuka ponsel."Nifa. Saya harus pulang. Ada sesuatu yang harus saya urus. Saya pamit dulu, ya. Jangan lupa dibuka hadiah dari Ibu saya!" pamit Respati. Lelaki itu bahkan menyem
"Ma. Mama. Aku pusing, Ma. Ini gimana?" teriak Abimana yang kini sudah memasuki pekarangan rumah kedua orang tuanya.Santi yang mendengar teriakan sang anak pun gegas keluar rumah seraya berkacak pinggang. Sebal sekali rasanya ketika terus menerus direcoki oleh Abimana."Kamu kenapa, sih? Jangan bikin malu, ah! Nggak enak didengar tetangga. Kalau ada masalah yang mau dibicarakan, masuk rumah!" hardik Santi seraya menatap tajam ke arah sang anak.Abimana pun langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kusutnya. Entahlah, akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa calon duda itu. Hidupnya seolah tak tenang dan semuanya berantakan.Jika bukan karena harta warisan sialan itu, sudah pasti Abimana tak akan seperti ini."Aku capek, Ma!" keluh Abimana yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. "Kalau capek, ya, istirahat. Widya mana?" tanya Santi celingukan ketika tak melihat keberadaan calon menantu cantiknya. "Widya marah sama aku karena izin rujuk sama Hanifa. Mau di ajak nik
Abimana terpaksa mengeluarkan banyak uang demi membelikan kalung emas seberat 10 gram untuk Widya. Saldo ATM miliknya semakin menipis. Apalagi, bulan ini dia bahkan sudah tak mendapatkan gaji dari kantor lantaran terlalu banyak libur. "Nggak usah cemberut gitu wajahnya. Emas bisa buat investasi, Mas. Kamu baru beli emas 10 gram saja mukanya sudah ngenes. Nanti juga aku bakal minta mahar jauh lebih gede dari ini!" celoteh Widya seraya mengusap lembut kalung yang sudah melingkar di lehernya.Wanita itu bahkan sampai mengikat rambutnya yang semula tergerai. Dia hanya ingin pamer pada Hanifa ketika sudah sampai di kantor pengadilan.Wajah Santi sejak tadi sudah sepet bukan main. Wanita paruh baya itu tentu merasa iri. Dia juga ingin dibelikan kalung oleh anaknya."Abi. Harusnya tadi beli dua. Mama juga mau!" bisik Santi, tapi di abaikan oleh Abimana.Beli satu kalung seberat 10 gram saja sudah membuat kantongnya semakin menipis. Apalagi jika membeli dua? Bisa habis total tabungan Abimana
Tiga kali ketuk palu menandakan berakhirnya pernikahan antara Hanifa dan Abimana. Wajah semua orang yang ada di sana menunjukkan reaksi berbeda. Ada yang senang dengan hasil akhirnya. Ada pula yang merasa panas dan tak terima. Hanifa menitikkan air mata. Bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia lantaran dia sudah sampai di titik ini. Sudah sepenuhnya terlepas dari lelaki toxic seperti Abimana. Wanita itu bangkit dan berjalan mendekat ke arah Respati dan Kusuma yang memang sejak awal sudah menemaninya sejauh ini. "Terima kasih, Mas. Karena Mas dan keluarga, aku bisa sekuat ini," bisik Hanifa yang tak sungkan memeluk Respati di ruang persidangan."Foto dulu dong. Tunjukkan pada dunia kalau kamu sekarang ini janda perawan!" ujar Kusuma membuat pelukan antara saudara lelakinya dan Hanifa pun terlepas.Hanifa bahkan sudah mengantongi akta cerai. Dia sengaja menggandeng mesra lengan kekar Respati dan keduanya tersenyum di depan kamera.Lain halnya dengan Hanifa yang berbahagi
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s