"Sejak kapan hamil di luar nikah itu bisa buat iri orang lain, Mbak? Yang ada bikin malu dan bukannya itu aib, ya?" kekeh Hanifa dengan tampang mengejek.Jika dulu dia bisa diinjak sedemikian rupa dan hanya bisa menangis, maka berbeda dengan sekarang. Dia akan membalas jauh lebih kejam jika ada yang mengusik dirinya. Contohnya seperti Widya. Hanifa akan memperlakukan orang lain jauh lebih baik jika orang itu bisa baik padanya. Namun, jika ada orang kejam yang suka menginjak-injak harga diri orang lain, maka dia akan menanggapinya dan membalasnya. "Heh sembarangan. Aku sama Mas Abi itu mau nikah, bukannya belum nikah. Kita ini bentar lagi mau ngadain pesta jauh lebih mewah ketimbang pestamu yang kampungan itu!" sinis Widya yang masih tak mau kalah.Abimana bahkan sudah memberi kode pada sang kekasih supaya bisa menjaga perkataannya. Sayangnya, sepertinya wanita itu tak peduli dan terus saja mengoceh tak jelas. "Masih mau nikah, kan, Mbak? Tapi, nyatanya sudah nyicil anak. Ck, Mas Ab
Respati sejak tadi menghela napas ketika melihat wajah kesal dari Anisa. Bukan tanpa sebab wanita paruh baya itu merajuk seperti itu. Hal ini di karenakan menantu kesayangannya belum juga meminum jamu buatannya, tapi sudah muntah-muntah. Dia kira tadi Hanifa positif hamil, tapi ternyata mabok aroma jamu. Kusuma yang melihat bagaimana tersiksanya sang ipar bahkan tadi langsung berpamitan untuk pulang. Tak lupa dia membawa jamu buatan sang Mama supaya wanita paruh baya itu tak sedih. Mungkin nanti di tengah jalan ia akan membuang jamu tersebut. Bukannya durhaka, tapi ini demi keselamatan tubuhnya yang mungkin saja akan mual parah ketimbang Hanifa tadi. Anisa sendiri malah uring-uringan. Hendak memarahi Hanifa, tapi dia tak setega itu dengan menantu kesayangannya. Alhasil, Respati yang harus menanggung semuanya. "Ma. Di buang saja, ya? Rasanya benar-benar tidak enak!" Respati memohon dengan wajah lesunya. Sementara Hanifa hanya menatap miris ke arah sang suami dari kejauhan lantaran d
"Mama cuma kasihan, dia tadi jatuh di depan pagar rumah. Setelah Mama tanya, eh, katanya karena kelaparan!" balas Anisa sedikit cuek.Respati yang melihat itu tentu saja merasa kesal bukan main. Sementara Hanifa sama sekali tak berminat untuk menatap mantan suaminya yang sekarang ini persis seperti orang yang tak terurus. "Apa salahnya, sih, Nak, kita kudu nampung dia pagi ini. Anggap saja sedekah makanan, biar rezeki kita makin banyak. Siapa tau, dia sedang tidak punya uang untuk beli makan!"Anisa mendekati sang putra yang wajahnya masih masam sejak kedatangan Abimana. Apalagi, ketika melihat lelaki itu yang dengan tidak tau dirinya mulai mengambil tempat duduk di dekat Hanifa yang berseberangan dengan Respati. Harusnya itu tempatnya Anisa, tapi si tamu tidak tau diri ini justru duduk di sana supaya bisa berdekatan dengan Hanifa. "Buat dia jadi cacing kepanasan, Nak. Buat dia cemburu sampai mampus. Ini kesempatan, loh. Masa mau kalah sama duda jelek modelan kayak dia, sih?" bisi
"Halo, maaf saya yang mengangkat, Abimana baru saja keluar. Tasnya ini ketinggalan di rumah saya!" ujar Anisa setelah mengangkat telepon dari Widya. "Share lokasi cepat! Aku mau labrak kamu. Berani-beraninya cewek murahan kayak kamu didatangi Mas Abi. Mas Abi itu kekasihku!" teriak Widya kepalang emosi. Mudah sekali membuat wanita itu marah. Anisa bahkan sampai menahan tawa. Sementara Handoko hanya membiarkan saja tingkah istrinya yang begitu jahil ini.Respati pula langsung pergi ke kamar. Tak lupa lelaki itu membawa makanan lantaran istrinya tadi belum sempat makan, tapi sudah tak selera duluan karena kehadiran Abimana. "Langsung datang ke kantor saja, ya, Mbak. Saya tidak mau berurusan dengan Mbak. Yang saya tau intinya tadi Abimana datang ke sini meminta sarapan. Sebagai perempuan baik, saya beri dia sarapan. Masalah tasnya yang ketinggalan, nanti biar saya suruh orang untuk mengantar di rumahnya, ya!"Tut!Anisa menyeringai pelan. Sudah pasti nanti Widya akan membuat keributa
Abimana pulang ke kediaman kedua orang tuanya dengan membawa barang-barang miliknya semasa bekerja di kantor. Lelaki itu benar-benar didepak oleh Om-nya sendiri karena perbuatan Widya yang membuat onar di kantor. "Loh, baru jam segini kok malah keluyuran ke sini, Bi?" heran Banu yang lebih dulu melihat kedatangan sang anak. Abimana belum menjawab dan justru langsung menangis setelah duduk di sofa ruang tamu. Tak lupa lelaki itu meletakkan satu kardus besar barang-barang miliknya. "Kamu itu kenapa? Masa lelaki menangis? Apa tidak malu?" tanya Banu lagi, tapi justru membuat tangisan Abimana semakin kencang. Banu yang merasa ada yang tak beres dari sang anak pun gegas saja pergi dari ruang tamu untuk memanggil sang istri.Beberapa saat kemudian, pria paruh baya itu kembali ke ruang tamu bersama Santi yang seketika syok bukan main. "Kamu kenapa, Bi? Bilang sama Mama! Siapa yang buat anak jantannya Mama nangis kayak gini, hah?" panik Santi.Banu yang melihat tingkah istrinya hanya bi
Widya tak mau disalahkan begitu saja. Baginya, yang menanggung semua ini adalah Ibu mertuanya Hanifa yang dengan kurang ajarnya tega bersandiwara hingga membuat dia salah paham. Alhasil, wanita itu nekad untuk mendatangi kediaman keluarga Respati untuk melabrak Hanifa sekaligus melabrak Anisa yang menurutnya adalah biang kerok dari semua permasalahan yang menimpa dirinya.Tak membutuhkan waktu lama, Widya telah sampai di depan rumah mewah itu. Jangan lupakan tangan kirinya tengah membawa tongkat kasti yang tadi sempat dia pinjam pada tetangga dekat rumah Abimana. "Maaf, Mbak. Ada urusan apa, ya? Kok, sampai bawa tongkat itu segala!" Pak satpam yang berada di pos satpam depan rumah mewah itu pun mulai mendekati pagar. "Saya ingin bertamu, Pak. Saya sudah buat janji sama Hanifa. Saya ini temannya Hanifa. Kita berdua mau main kasti supaya lemak badan hilang!" ujar Widya seraya memasang senyum palsu. Mana ada, sih, teman yang makan teman? Widya bahkan tak sudi berteman dengan mantan i
Widya yang melihat sosok tampan itu datang sontak saja membuat air liurnya sedikit menetes. Bahkan, wanita itu melupakan rasa sakit yang mendera perutnya akibat kekejaman Anisa. Anisa sendiri hanya bisa menghela napas ketika harus menghentikan aksinya. Dia menatap pelan ke arah Respati yang baru saja datang setelah sibuk di tempat fitness milik lelaki itu. "Kenapa Mama jadi kayak gini, sih?" omel Respati yang seketika membuat jantung Widya berdetak dua kali lipat. Wanita itu merasa jika suaminya Hanifa ini sedang membela dirinya. Tentu saja kesempatan ini harus dia gunakan sebaik mungkin untuk menarik simpati Respati. Siapa tau, lelaki itu kecantol dengan pesonanya. Tidak masalah jika lebih cantik Hanifa ketimbang dirinya. Asal dia bisa agresif saja sudah pasti lelaki berduit macam Respati akan tergoda. Begitulah pikir Widya. "Mas. Kita bisa jelasin—""Mas. Ibumu sama istrimu tiba-tiba nyerang aku. Padahal di sini tuh aku tamu. Aku cuma mau ambil tasnya Mas Abi yang ketinggalan!
"Mas. Kenapa nggak pernah bilang soal pembangunan rumah?" todong Hanifa ketika ia dan sang suami sudah memasuki salah salah satu unit apartemen mewah milik Respati.Bahkan, wanita itu baru tau jika sang suami memiliki apartemen seperti ini. Sungguh, ada begitu banyak hal yang ternyata belum diketahui Hanifa mengenai sang suami. "Harusnya ini kejutan buat kamu, tapi tadi saat di meja makan, Mas malah keceplosan. Bukan maksud Mas untuk menyembunyikan hal seperti ini ke kamu. Mas hanya ingin memberikan kejutan untuk istri Mas yang paling cantik ini." Respati mengusap lembut pipi Hanifa untuk menenangkan wanita itu. Ia takut jika sang istri akan berpikir buruk dan merasa tak dihargai karena pembahasan sebesar ini justru tidak diberitahu sebelumnya. Hanifa menghela napas. "Aku tinggal serumah dengan mertua pun nggak masalah, Mas. Yang penting ada kamu di dalamnya." Wanita itu hanya terlalu sayang dengan uang suaminya. Membangun rumah perlu biaya yang sangat besar.Terlebih lagi, dia tak
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat