Seminggu setelah Bram datang ke kantor, tidak ada kabar lagi. Apa dia masih tak percaya padaku? Jangan-jangan masih mesra dengan Laras.
Ah, sudahlah tunggu saja, untuk apa terlalu mikirin mantan suami yang tak jelas itu lebih baik aku pikirkan calon suami yang tampan, Sayid.
Ku perhatikan cincin berlian di jari manis, cincin ini sungguh indah berkilauan. Pasti mahal banget harganya, tapi bagi Sayid itu tak seberapa di banding kekayaannya.
Lagi asyik menatapi cincin, terdengar gawai ku berdering. Kulihat di layar tidak tercantum nama, siapa? Aku pun tak menghiraukan, tapi panggilan itu terus berbunyi. Hingga tiga kali baru ku angkat.
"Halo! Siapa ini?" tanyaku ketus.
"Kamu mbak Winda, kan!" Terdengar suara tidak asing di ujung sana. Laras?
"Ya, ada perlu apa? Dan tau dari siapa nomerku?"
"Dari siapa lagi kalo bukan Mas Bram, apa Mbak yang menyuruhnya menceraikan ku? Jahat kali kamu mbak, apa ha
Pukul 11.00 wib seperti biasa rapat selesai. Aku segera masuk ke kantor mengurus dokumen, baru saja duduk gawai berdering."Halo, Bram ada apa?" kataku usai mengangkat."Halo, Win. Kapan kita akan bahas proyek kerjasama?" tanyanya menunggu kepastian dariku."Apakah kamu sudah siap, Bram?" Sengaja sedikit penekanan untuknya."Ya," jawabnya."Dengan segala resikonya?" gertak ku."Maksudnya, Win?" tanyanya tak mengerti."Ya, mungkin saja kita batal kerjasama atau kemudian kamu bangkrut. Jadi aku tidak mau kamu salahkan!" "Ya, aku siap Win. Aku tidak akan menyalahkan kamu, saat ini karir dan hidupku di pertaruhkan," keluhnya."Aku mohon Win, dilihat dari hubungan kita sebagai suami istri dulu. Aku yakin kamu pasti masih ingat kebaikanku," katanya percaya diri.Kebaikan? Kebaikan apa yang sudah kamu perbuat untukku Bram, dengan menikahi ku itu kebaikan? Membe
Wajah kami kini sangat dekat, aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajahku. Aku berontak agar Bram menyingkir dariku, namun tenaga ku kalah."Lepaskan Bram, ku bilang lepaskan ..." teriakku."Aku kangen kamu, Win. Sekarang kamu cantik dan sungguh menggodaku. Hatiku selalu terbayang kecantikan mu," ucapnya sembari membelai wajahku.Huh, aku jijik sungguh jijik melihat kelakuannya. Namun, aku juga takut kalo Bram memperkosaku. Gimana nasib pernikahanku nanti, Sayid pasti akan membenciku.Kutatap kedua netra Bram dan terlihat disana Bram masih menginginkan diriku kembali. Kucoba melepaskan pelukan Bram, tubuhku yang di tindih tidak bisa bergerak hanya untuk sekedar menggeser. Bram pasti sudah dibutakan nafsu, aku harus segera mencari akal."Bram, boleh aku bertanya?" Sengaja ku lembutkan suaraku."Hu'um, apa?" katanya terus menatapku. Aku merasakan tidak nyaman karena sepertinya dia terus bergerak di atas
Semenjak pertemuan terakhir dengan Bram di Vila itu, tidak ada kabar darinya lagi. Apa mungkin dia sudah bangkrut dan jatuh miskin, sehingga tidak pernah lagi menghubungiku.Karena terus didera rasa penasaran, aku coba menghubungi sahabatku Nina. Sudah lama juga tidak mengobrol dengannya, anak itu pasti tau yang sebenarnya.Ku scrol gawai kebawah, untung saja aku masih menyimpan nomernya. Tak lama terdengar nada dering dari gawai Nina pertanda aktif."Halo, siapa ni?" tanya suara di ujung telepon."Halo, Nina. Apa kabarmu sekarang?" kataku menahan geli."Aku baik, Winda? Ini benar Lo?" jawabnya tak percaya."Iya, ini aku Winda. Sudah lama kita tak mengobrol lagi ya!""Kamu jahat, Win! Selama ini kamu kemana aja, kupikir kamu udah lupa padaku," Nina merajuk."Semenjak kamu pisah dari Bram, aku coba menghubungi nomer mu tapi gak aktif. Mau ku samperin di kampung tapi gak tau alamat
Kehidupan tenang beberapa waktu bukan berarti aku istirahat, justru aku terus di sibukkan dengan padatnya jadwal kantor. Banyak proyek dan kerjasama berdatangan dari perusahaan lain.Untuk sementara aku tak sempat lagi memikirkan Bram. Bahkan hari pernikahan juga semakin dekat, aku sudah menghubungi Nina. Aku minta tiga hari sebelum hari bahagiaku, dia mesti hadir.Nina sangat senang saat bertemu, di peluknya aku terus. Aku menjemputnya di bandara, bersama Pak Rudi supir pribadi. Lalu ku ajak dia pulang kerumah, berkenalan pada Mama dan Papa."Win, ini rumah Lo?" tanya Nina melongo.Aku cuma terkekeh melihat ekspresi Nina. "Sudah, itu mulut jangan lupa di tutup."Nina merasa malu, menundukkan wajahnya. Aku peluk dia dan menarik tangannya untuk masuk kedalam rumah."Ma ... Kemari, ini Nina sahabat Winda, sewaktu masih tinggal bersama Bram," ucapku memanggil Mama.Mama keluar dari ruangan
Sebulan setelah resepsi pernikahan di Indonesia, Sayid memboyongku dan keluarga ke Abu Dhabi. Sebenarnya bukan juga boyong tapi memang rumah kami ada di Abu Dhabi.Untuk kedua kalinya mengadakan resepsi di sana. Aku dan Sayid tidak berbulan madu karena sekalian saja setelah selesai sana sini baru kami akan bulan madu.Aku masih mengingat jelas, usai pernikahan di malam pertama aku dan Sayid masih malu-malu kucing. Walaupun aku sudah pernah menikah tapi bila menatap wajahnya, aku merasa tersipu.Ketampanan Sayid telah membius, apalagi jika dia sudah menatapku pasti aku jadi grogi. Sayid masuk ke kamar saat aku mau membuka pakaian, aku terkejut cepat-cepat ku pakai lagi."Kenapa? Kok malu, kan kita sudah jadi suami istri!" katanya dengan menautkan alis kemudian tersenyum."Nggak apa-apa, Mas. Aku masih malu," ucapku dengan wajah memerah."Humairo ku ternyata malu di malam pertama, gimana apa kita mau bertempur sek
Rencana seusai sarapan, Sayid akan mengajakku jalan-jalan. Aku bahagia banget, baru kali ini aku di ajak jalan cuma berdua bareng suami. Dulu saat bersuamikan Bram, ibunya akan selalu minta ikut kemanapun kami pergi. Aku tidak bisa melarang, karena Bram juga sehati dengan ibunya."Ma, kami pergi dulu ya! Cari angin sebentar, Mama mau ikut nggak?" kataku sambil bersiap."Nggak ah, Mama nggak mau mengganggu. Masa iya nanti Mama lihat kalian berciuman," seloroh Mama yang membuat kami tertawa."Ish, ya nggak gitu kali Ma. Masa' di tempat umum berciuman, kan Winda juga malu," ujarku cengengesan."Kalo Mama nggak mau, apa Mbok mau ikut," tanyaku beralih ke Mbok."Aduh, tiba-tiba perut Mbok mules. Mbok kebelakang dulu, ya!" sahut Mbok berlari kecil menuju dapur.Kami semua lagi-lagi tertawa melihat tingkah Mbok, aku mengerti mereka tidak ingin ikut. Begitulah indahnya kalo hidup saling pengertian, tidak ingin men
Sebuah foto di pantai dengan Sayid dan seorang penguntit yang berdiri tidak jauh dari kami, telah membuat aku penasaran. Siapa dia dan apa maunya.Lalu tanpa sepengetahuan Sayid yang sudah tertidur, aku keluar kamar dan menuju pantai seorang diri. Mungkin kalo aku sendiri, penguntit itu akan menunjukkan dirinya.Bau pasir basah begitu khas, dengan deburan ombak. Malam juga begitu dingin, aku merapatkan jaket yang ku kenakan. Berjalan menyusuri pinggir pantai dengan kaki telanjang.Setelah capek aku duduk, dan menatap pantai ke depan. Tidak banyak orang berlalu lalang selarut ini. Hanya ada beberapa pasangan yang berdiri agak jauh dariku.Saat asyik melamun, bahuku di tepuk dari belakang. Aku menoleh, dan refleks mundur kebelakang setelah tau siapa yang menepuk tadi.Penguntit itu kini berdiri di depanku. "Jangan takut, Win," katanya.Aku terkesiap, dia tau namaku. Tunggu, aku mengenal suara itu. Bukankah d
Semburat merah menghiasi langit pagi ini, selesai salat Subuh aku segera berkemas. Memasukkan semua baju ke dalam koper, begitu juga baju suamiku, Syaid. Setelah tiga hari berlibur di hotel pantai, kami berencana pulang.Aku sudah tak sabar untuk menyampaikan kabar gembira pada Mama dan Papa juga Mbok. Mereka pasti sangat gembira karena ini merupakan cucu pertama. Aku terus tersenyum sepanjang perjalanan pulang."Win, kamu terus tersenyum. Kamu bahagia kan, humairo!" kata Sayid sembari menggenggam jari tanganku."Aku bahagia, Mas. Sudah lama aku mendambakan kehadiran anak, kini buah hati kita sudah ada dalam rahimku. Makasih ya, sayang!" ujarku sambil mengecup tangannya.Kulihat wajah Sayid juga memancarkan aura, tak dipungkiri lagi dia pasti lebih bahagia. Walaupun senyum juga menghias bibirnya, Sayid tetap konsentrasi menyetir."Mas, apa Mama dan Papa kamu sudah di kabari perihal kehamilanku?" tanyaku penasaran.