Share

Bab III

"Sakit.." Mia mengerang merasakan pusing di kepalanya. Entah sudah berapa lama dia tidur, yang jelas dia sekarang perlu bangun. Mia membuka matanya perlahan. Kenapa langit-langitnya bukan putih? Bukannya biasanya rumah sakit catnya serba putih, ya? Mia kembali memejamkan mata, namun ketika matanya kembali terbuka, dia masih melihat warna krem, bukan putih.

"Tidaaak!" Mia bangkit dengan nafas terengah. Dia melihat sekitar dan mendapati dirinya terbangun di ruangan serba asing. Di manakah dirinya kini berada?

Mia memukul-mukul pelan keningnya, mencoba memaksa otaknya bekerja. Sayangnya, hingga keningnya memerah, dia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Dia pun menyerah, memilih kembali merebahkan badan di atas kasur.

Tunggu, aku kan nggak boleh nyerah gitu aja? Mia kembali mendudukkan tubuhnya, bersiap memikirkan apa yang terjadi. "Oke, mari kita pikirkan ini dari awal. Seingatku tadi kan lagi kerja, cafe pas lagi rame. Terus aku ngelayani pembeli cafe. Terus tiba-tiba ada yang mukul dari belakang. Terus..." Mia membelalakkan mata ketika suatu kesimpulan sampai di otaknya. "Jangan bilang… aku diculik?"

Pintu kamar terbuka, menampilkan seorang pria berpakaian formal. Jas dengan ekor di belakangnya membungkus rapi tubuh pria itu. Rambut hitam legamnya tampak rapi dan wajah itu… Mia membelalakkan mata ketika menyadari satu hal. Itu adalah pengunjung yang ditemuinya tadi! Jadi pria tampan itu yang menculiknya? Tampan sih tampan, tetapi buat apa kalau kerjanya jadi penculik?

Mia semakin membelalakkan mata ketika pria itu melangkah masuk dengan tenang. "Selamat pagi, Nona. Saya harap tidur Nona semalam cukup nyenyak. Perkenalkan nama saya Sean. Apa Nona Mia sudah bangun?"

"Belum!" Ups… Mia menutup mulut dengan cepat, sadar dirinya telah keceplosan menjawab asal pada pria di hadapannya.

"Sepertinya Nona benar-benar bersemangat. Mari saya tunjukan isi kamar ini." Dengan mudah Sean menyibak selimut Mia, membuat perempuan itu memekik histeris.

"Apa yang kamu lakukan? Aku ini perempuan! Kamu tidak bisa berlaku seenakmu. Bagaimana kalau…"

"Silahkan turun, Nona."

Mia membuka mulut mendengar Sean menyela kalimatnya. Mulutnya semakin menganga ketika menyadari kasurnya telah tertata rapi, seolah tidak pernah ditiduri. Memang kapan pria ini merapikannya? Bagaimana bisa?

"Kamu… bukan siluman, kan?"

"Bukan, tapi Nona boleh menganggap saya seperti itu."

***

Mia merasakan tubuhnya perlahan merileks setelah beberapa saat berendam di air hangat. Setidaknya dia bersyukur, berhasil mengusir tiga orang yang katanya bertugas untuk membantunya mandi itu. Dia sudah besar, dan sudah bertahun-tahun juga merasakan mandi sendiri. Akan terasa sangat aneh kalau tiba-tiba harus dibantu oleh orang lain.

Ah, jangan lupakan pria berpakaian kelewat formal itu. Bisa-bisanya dia dengan santai membuka-buka lemari di kamar ini. Dia mengatakan itu pakaian yang bisa Mia pakai. Sekali lagi, itu pakaian untuk Mia. Pakaian perempuan! Apa dia tidak merasa malu telah membuka-buka lemari berisi pakaian untuk perempuan?

Diedarkan pandangan ke sekelilingnya, mengamati kamar mandi yang luas itu. Ralat, sangat luas! Lihat saja, bath tub ini lebih mirip kolam renang dari pada sekedar tempat untuk berendam. Mungkin jika ketiga orang berpakaian hitam putih khas pelayan tadi masuk, mereka semua masih bisa duduk dengan nyaman tanpa merasa berdesakan.

Di sudut ruangan, tampak shower—ketiga orang tadi menyebutnya itu tempat membilas—dengan bagian kepala berbentuk persegi. Mia masih mengingat jelas bagaimana shower itu mengeluarkan air yang memberi efek seperti tengah mandi hujan. Ah, jangan lupakan lampu-lampu yang katanya menunjukan suhu air yang dikeluarkan shower itu.

Di sisi lain, tampak berbagai produk berjejer. Mia sempat membaca nama-nama di situ, meskipun dia tidak mengerti satu pun selain sabun dan sampo. Lagi pula, kita semua hanya memerlukan dua produk itu untuk membersihkan diri, bukan? Lalu untuk apa ada conditioner, masker, scrub, lotion, dan sebagainya itu?

“Haah… Aku diculik, tetapi kenapa rasanya menyenangkan sekali, ya? Padahal harusnya aku sekarang sedang ketakutan,” gerutu Mia, heran dengan dirinya yang malah menikmati sesi mandinya dengan tenang.

Tok! Tok!

“Nona Mia, apa Nona sudah selesai membersihkan diri?”

Mia mendengus mendengar ketukan itu untuk kesekian kalinya. Ya, inilah konsekuensi dirinya menolak dimandikan. Setiap beberapa menit, orang-orang di luar sana mengetuk pintu hanya untuk memastikannya baik-baik saja. Mia ulangi sekali lagi, dia itu sudah besar dan sudah biasa mandi sendiri!

“Aku akan membilas badan,” balas Mia sedikit berteriak.

“Apa kami boleh masuk?”

Mia membelalakan mata. Yang benar saja, setelah semua usaha untuk mengusir mereka, kini mereka berusaha masuk dan kembali melihatnya seperti ini?

“Tidak!”

***

"Dari mana aja kamu?" tanya Mia dengan telunjuk mengarah tepat ke hidung Sean.

"Saya baru saja memastikan sarapan Nona siap. Bagaimana, apa Nona menyukai penampilan ini?"

"Suka? Suka katamu?" dengan suara menggelegar Mia mengeluarkan semua kejengkelannya. "Apa maksudnya ada orang-orang yang tugasnya bantuin aku mandi? Terus ganti baju juga? Aku masih bisa ganti sendiri! Apa menurutmu aku mirip anak lima tahun?"

Mia melotot penuh peringatan ketika Sean membuka mulut, membuat pria itu mengurungkan niat untuk membalas ucapan Mia. "Ini juga. Kenapa aku harus pakai rok panjang begini? Dilarang pakai celana, juga. Sebenarnya kalian punya aturan apa aja? Apa aku juga harus diet makan sayur-sayur setiap hari? Aku suka permen, daging, nasi. Bukan sayur aja!"

"Kami memang memiliki beberapa aturan. Tenang saja, Nona akan belajar semua itu pelan-pelan. Jadi…"

"Terus setelah ini kalian mau ngajarin aku table manner, gitu? Kalian mau nyulik aku terus dijual ke aki-aki perut buncit, hah?"

Sean memejamkan mata, merasakan telinganya mulai berdengung akibat teriakan tanpa henti Mia. Dalam hati dia sibuk merutuki. Mau mengusap telinga pasti dianggap tidak sopan, tetapi teriakan nonanya ini benar-benar menggelegar. Ini bahkan lebih keras dari teriakan pelatih beladirinya dulu.

"Setelah ini Nona memang akan mendapat pelajaran table manner dari guru etika, pelajaran dansa, dan beberapa pelajaran lainnya. Tetapi tidak usah khawatir karena…"

"Nah kan, kalian akan menjualku!"

***

"Teriakan cucuku terdengar jelas, bahkan hingga sini."

"Anda benar sekali, Tuan Adam. Suara Nona terdengar kencang dan bersemangat."

Adam tertawa kencang mendengar ucapan butlernya. Matanya menyipit hingga nyaris tampak terpejam. Rambutnya yang telah seluruhnya memutih tidak melunturkan sisa kharisma dan ketampanan yang dimilikinya. Dengan isyarat tangan, dia meminta butlernya menggerakkan kursi rodanya untuk berbalik.

"Ah, cucuku. Aku sudah tidak sabar menemuimu. Mari kita lihat, apakah kamu cukup mampu dilatih untuk meneruskan kesuksesanku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status