Share

Perjalanan Jauh

Kaki putih mulus milik gadis liar itu turun dari tangga dengan bungkusan heels panjang. Hentakan kakinya begitu ramah terdengar di tiap langkah. Sorotan mata langsung tertuju padanya. Sempat mereka terbelalak melihat gadis lusuh tidak beraturan tadi berubah menjadi putri anggun nan cantik.

Dress hitam berpadu manik putih di lingkaran lengan bajunya membuat pesonanya kian bertambah. Di lehernya melingkar liontin bermata satu dan juga sepasang anting kecil yang menjadi aksesoris Larrisa. Rambutnya diikat dengan model ponytail hingga meracik aksen menggemaskan dan menawan dalam sekali gus. Dress hitam yang menutupi garis bahu hingga lutut itu membuat Eliot terperanjat dari diam.

Deg!

Eliot menyukai warna hitam itu. Apalagi Larrisa begitu pantas mengenakannya, melihat dress hitam dan juga heels hitam yang dipadukan dengan liontin serta sepasang anting, membuat dirinya menikmati gelap Larrisa sejenak.

"Putri Ayah memang cantik. Pantas Eliot langsung jatuh cinta pada pandangan pertama."

Lelucon Tuan Steven menegur Eliot dari kekagumannya. Dia langsung mengalihkan bola matanya ke arah berlainan dan menunduk kemudian. Sebisa mungkin Eliot menutup kekagumannya.

"Ehm." Eliot mendeham untuk menghilangkan gugupnya. Dia langsung membuka kancing tangan bajunya dan melipat hingga ke siku.

Larrisa langsung menjegilkan matanya ke arah Eliot. Bibir yang sudah dibalur lipstik merah merona itu mengerucut samar-samar karena perangai Eliot. Sudah lelah berdandan, tapi pria itu sama sekali tidak menoleh padanya. "Ck," decaknya kesal.

"Ayo, kalian berangkat sekarang. Tuan Erdogan sudah menunggu lama," ucap Tuan Steven menghancurkan keheningan.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, Tuan Steven." Eliot dengan formalnya membungkuk pada ayah Larrisa.

"Jangan terlalu kaku begitu. Kau panggil ayah saja," gurau Tuan Steven sambil menepuk bahu pria yang tingginya tidak setara dengannya.

"Tentu saja, Ayah."

Deg!

Larrisa langsung ternganga mendengar mulut ringan Eliot dengan mudahnya memanggil ayah pada Tuan Steven, tentu dengan panggilan yang sama seperti dia. Larrisa tak habis pikir kalau pria itu dengan berani melakonkan sandiwara yang amat sempurna. Bahkan dia saja sampai bergetar hatinya melihat sandiwara Eliot.

Keduanya kemudian dihantarkan Tuan Steven dan juga Bi Sayi sampai naik ke dalam mobil. Mereka melambai bahagia ketika Larrisa, putrinya pergi bersama Eliot.

"Entah kebaikan apa yang kulakukan di masa lalu, sampai bisa punya menantu seperti Eliot," syukur Tuan Steven tersenyum.

Bi Sayi hanya bisa membalas dengan senyuman.

***

Di dalam mobil, keduanya duduk di belakang supir pribadi kakeknya Eliot. Tidak ada perbincangan diantara mereka. Larrisa terus menatap ke samping memandang jalan, sedangkan Eliot terus memainkan ponsel genggam miliknya tanpa henti.

"Tuan Erdogan sudah sampai di villa, Tuan," lapor sopir pribadi kakeknya itu.

"Hmm," angguk Eliot tanpa menatap supir itu. Matanya terus fokus memainkan ponsel genggam miliknya dan tak peduli dengan sekeliling.

Jengkel dengan Eliot, Larrisa menepuk tangannya sekali dengan sangat keras, hingga Eliot menatap ke arah gadis itu.

Plak!

Sekali lagi dia menepuk tangannya. Kali ini dia mengangkat agak sedikit jauh dari tepukan yang pertama.

"Apa yang kau lakukan?" Eliot menatap Larrisa dengan heran. Dia menaikkan sebelah alisnya merasa aneh melihat Larrisa.

"Tidak, ada nyamuk," jawab Larrisa cepat. Matanya tidak berkedip sama sekali. Dia melebarkan matanya sedikit ke arah Eliot lalu tersenyum kaku pada pria itu. Seolah sedang melemparkan kemarahan pada Eliot.

"Nyamuk? Apa mengganggu Anda, Nona?" tanya sopir itu panik.

"Tentu." Tatapa nmata Larrisa kembali dilemparkan pada Eliot. "Aku sangat terganggu," sambungnya lagi. Larrisa menyipitkan matanya hingga sudut tajam tatapannya jelas menusuk Eliot. Dia seakan mengecam Eliot tanpa jera.

Ponsel yang tengah dipegang Eliot langsung dimasukkannya ke dalam saku. Dia menggulir bola matanya ke arah jendela mobil karena merasa terancam dengan tatapan wanita itu.

Larrisa membuka kaca mobil dan kemudian mengeluarkan kepanya sedikit ke arah jalan. Dia menikmati angin sejuk yang menghembus wajahnya. Senyum tipis pun terukir sempurna di wajah Larrisa, dia begitu senang dengan suasana saat ini. Begitu tenang, hingga sejenak dia lupa dengan masalah hidupnya.

"Pak, naikkan kaca mobilnya!" perintah Eliot.

Larrisa melirik Eliot dan kemudian perlahan memasukkan wajahnya. Dia cemberut berat sampai raut wajahnya terlihat menyebalkan. Larrisa begitu marah di dalam hatinya, karena Eliot mengganggu kesenangannya.

Kaca mobil itu kemudian tertutup rapat hingga angin tak dapat menembus. Larrisa meremuk dress hitam yang sedang dia kenakan karena merasa kesal dengan tingkah Eliot. Rasanya ingin memukul kepala pria itu hingga jatuh pingsan. Tangan gadis itu sudah terkepal kuat seolah bersiap melemparkan tinjuan maut ke arah Eliot. Dia mengeraskan rahangnya dan menggerutu hebat di dalam hatinya.

"Bajingan kurang kerjaan," benaknya merutuk pria yg duduk di sebelahnya.

Perjalanan mereka begitu jauh, sudah hampir satu jam belum juga sampai ke tujuan. Mata Larrisa sudah sangat berat hingga tidak mampu menahan kantuk. Dia menyenderkan kepalanya ke samping jendela lalu tertidur dengan pulas.

Duk!

Duk!

Suara ketukan kepala Larrisa ke kaca jendela mobil terdengar. Terus menganggu telinga Eliot dengan suara yang ditimbulkan Larrisa. Dia menarik nafasnya panjang, lalu meletakkan telapak tangannya di kepala Larrisa, hingga kepalanya tidak lagi terbentur ke kaca jendela tersebut. Dia merasa bising dan terganggu dengan suara itu.

Namun kini setelah menyalipkan telapak tangannya di kepala Larrisa, dia malah menyesal, tangannya keram karena terlalu lama menggantung menahan kepala Larrisa. Tangannya kini benar-benar kesemutan, karena sudah tak tahan lagi, Eliot tidak sengaja menarik tangan panjangnya dari sisi Larrisa.

Dug!

Benturan keras terdengar dari kepala Larrisa.

"Auh!" Larrisa merintih kesakitan. Dia terbangun dari tidurnya dan dengan mata sayu melihat sekeliling. Tidak ada yang berbeda sejak saat matanya terpejam hingga terbuka kemabli, mereka tetap berada di dalam mobil, dengan keheningan yang begitu menusuk. Larrisa menatap Eliot, dan kemudian sopir yang membawa keduanya.

Eliot langsung mengalihkan pandangannya. Dia takut jika gadis itu menyadari perbuatan yang telah dia lakukan. Dia takut jika Larrisa menyadari bahwa Eliot sudah diam-diam melindunginya.

"Ini kapan sampainya?" tanya Larrisa bosan.

"Sebentar lagi, Nona," jawab Sopir itu.

"Lama sekali," tambah Larrisa. "Berapa menit lagi?" Larrisa terus menanyai sopir itu dengan pertanyaan beruntun.

Eliot dengan nada datar dan dingin ikut menimpali. "Turun saja dari sini! Berisik."

Larrisa terdiam tidak berani berkutik. Meski dalam hatinya sudah antri mengutuk pria kejam tak berperasaan itu. Hatinya yang lemah itu seakan teriris dengan perkataan Eliot.

Dia menyandarkan badannya dan membuang wajah dari Eliot.

"Aku mau pipis," desis Larrisa dalam hati. Dia menggenggam tangannya lalu menekan sedikit perutnya, sejajar dengan kantung kemihnya. Dia menggigit bibirnya keras untuk menahan rasa ingin buang air itu.

"Pak, masih lama, tidak?" tanya Larrisa dengan muka kaku menahan rasa ingin buang air kecil.

Eliot langsung menangkap raut wajah Larrisa namun tidak terlalu menanggapi. Dia terus fokus ke arah jalan tanpa menghiraukan gadis itu.

Larrisa sudah benar-benar tidak tahan. Seakan sekantong air akan menerobos keluar dari dalam sana. Dia memegang tangan Eliot spontan dan dengan muka memelas mengadu pada pria itu. "Aku tidak tahan lagi." Larrisa meremas lengan baju Eliot dan sedikit menjepit kedua pahanya.

Eliot terkejut dengan sentuhan tangan kecil wanita itu. Lekas dia menyuruh sopir pribadi kakeknya itu berhenti di sebuah kedai kecil di pinggir jalan.

Saat mobil itu berhenti, Larrisa melompat dan berlari dengan kencang ke toilet di kedai itu. Tanpa basa-basi dia mendobrak pintu kedai dan masuk ke dalam.

"Ehm." Larrisa tersenyum lega saat seluruh air itu keluar. Dia kini kembali nyaman dan tidak merasa kesulitan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status