Share

Villa Baru

Tuan Erdogen kian sibuknya mempersiapkan sambutan hangat untuk cucu juga calon istri cucunya. Dia memerintahkan seluruh pelayanan di villa untuk mengatur segalanya sesuai keinginannya.

Ketika mobil yang membawa Eliot dan Larrisa tiba, pintu pagar villa dengan cekatan dibuka oleh petugas jaga di pos.

Ramai-ramai pelayan berpakaian hitam putih menunduk serentak dan sejajar berdiri lalu membungkuk menyapa kedatangan mereka.

Tidak hanya sampai di situ saja, ketika pintu mewah menjulang tinggi itu terbuka lebar, barisan wanita dengan celemek putih kecil terikat di pinggang membungkuk seluruhnya. Sepanjang gelaran karpet merah di villa itu berjejer rapi pelayan-pelayan dengan senyuman ramah. Berdiri di ujung karpet itu seorang pria tua dengan jas rapi serta dasi bercorak abstrak.

"Selamat datang, Eliot … dan juga … calon istri cucuku nantinya, Larrisa Camory." Tuan Erdogan tersenyum lebar bersamaan dengan kibaran tangan yang membentang, dia menunggu dekapan hangat dari keduanya.

Larrisa melirik ke arah Eliot. Menunggu arahan dari pria yang tinggi badannya jauh di atas kepala Larrisa. Sayangnya, pria itu tampak sedang malu melihat kelakukan kakeknya sendiri. Eliot memegang pelipisnya dan bola matanya mengarah ke bawah, seolah tidak tahan melihat kakeknya.

"Apa yang dilakukannya?" decak Eliot pelan. Dia begitu malu hingga tak sanggup menatap sekeliling.

Larrisa berjalan lebih dulu meninggalkan Eliot, lalu dengan cepat memasang senyum lebar. Dia memeluk Tuan Erdogan hangat.

"Terima kasih sambutannya, Kakek," ucap Larrisa bersikap akrab. Tidak terlihat kecanggungan diantara keduanya. Hingga Eliot tercengang dengan situasi ini. Dia mengira bahwa Larrisa akan sulit beradaptasi dengan kakeknya yang sedikit aneh itu, ternyata kekhawatirannya terbantah. Dia baru ingat kalau kakeknya dan Larrisa sama-sama aneh, tentu tidak akan sulit untuk mempersatukan mereka. "Aku terlalu mengkhawatirkan mereka," tambah Eliot berdecak pelan.

"Sangat cantik seperti dugaan Kakek. Tuan Steven harus bersyukur karena punya putri semanis ini. Apa kau lelah? Bagaimana perjalanan kalian?" Tuan Erdogan tidak berhenti berbicara. Mulutnya terus mengeluarkan pertanyaan dan pernyataan. Sampai Larrisa sendiri tidak tahu harus menjawab bagian yang mana terlebih dahulu.

"Kapan kalian berencana akan menikah?"

Deg!

Larrisa membatu seketika. Senyumnya beku sejenak dan tidak bisa bergerak. Dia menoleh pelan menatap Eliot yang juga sama terkejutnya dengan pertanyaan Tuan Erdogan.

"Ka-Kami be-belum …."

"Secepatnya," timpal Eliot memotong.

"Tentu saja. Hahaha." Dengan tawa lepas, Tuan Erdogan menepuk pundak cucunya yang tinggi itu dengan jatahan tangan yang tidak sampai. "Kakek siapkan makanan di sana. Mari!" ajak Tuan Erdogan. Dia mengayun tangannya memanggil Larrisa secara khusus. Tatapannya pada Larrisa begitu tulus, dia menyukai Larrisa dan berharap akan menjadi pendamping cucunya kelak.

***

Hanya ada empat bauh kursi dan meja di tengahnya. Ruangan itu tidak terlalu besar, hanya memuat beberapa orang saja. Bahkan tempat itu begitu minimalis. Terlihat dari cat abu-abu dipadu putih itu baru saja dioleskan. Wangi begitu menyengat terendus hingga seluruh bangunan terasa masih basah.

"Villa ini masih baru, Kakek?" tanya Larrisa yang sudah akrab berbaur dengan Tuan Erdogen.

"Kau memang jeli. Aku baru membangun ini," jawab Tuan Erdogan selepas menyuapkan sesendok pasta ke mulutnya.

Eliot merasa diasingkan dan dikucilkan. Tampak mereka mengacuhkan keberadaan Eliot. Hanya dia satu-satunya manusia di ruangan itu yang tak ikut berbincang. Dia hanya duduk diam melahap makanan di hadapannya. Rasanya seperti seekor nyamuk diantara pasangan sejoli.

Eliot menelan makanan di depannya dengan sangat terpaksa. Ingin rasanya ikut berbincang, tapi kakek dan gadis itu tidak memberi celah baginya. Dia merasa tidak berguna di kursinya kini. Batinnya mengumpat," Siapa sebenarnya calon suami gadis itu?" gerutu Eliot cemburu.

Ketika sedang asik berbincang. Tiba-tiba Tuan Erdogan menyebut nama Eliot. Lantas dia senang, namun dengan sikap jual mahalnya, dia menoleh lambat seolah tidak peduli dengan percakapan mereka.

"Villa ini Kakek berikan pada Larrisa, hadiah karena sudah menjadi bagian keluarga kita." Dengan rada bangga, Tuan Erdogan melepaskan senyum tulus kepada Larrisa dan Eliot. Dia begitu polos hingga tak menyadari bahwa keduanya sedang berbohong padanya.

Dia memberikan kunci villa itu pada Larrisa tanpa hitung-hitungan. Tangannya begitu ringan memberikan villa mewah itu pada Larrisa.

Gadis itu mengedipkan matanya berulang, menjadi bodoh mendengar Tuan Erdogan akan memberikan dirinya villa mewah yang baru saja dibangun tersebut. Kemudian dia mencubit tangannya untuk memastikan bahwa sekarang dia berada di alam bawah sadar atau kenyataan. Dia terus berulang mencubit, memukul bahkan menampar pipinya.

Dia tidak merasakan sakit apa pun. Batinnya tersentak kaget hingga sekujur tubuhnya kaku tidak berasa. Indranya mati total dan berhenti merasa.

Larrisa masih kebingungan. Dia tidak merasakan sakit meski sudah berkali-kali dipukul bahkan digampar. Akhirnya Larrisa menatap Eliot. "Kita ada dimana?" tanya Larrisa membisik. Dia menutup bibirnya dari pantauan Tuan Erdogan.

"Ck, bodoh!" Eliot tidak memberikan sinyal apa pun.

Larrisa tersenyum. "Ini bukan mimpi, ini nyata," sambungnya.

Larrisa menatap dalam mata Tuan Erdogan sambil menggeser kunci yang diletakkan kakek Eliot di depannya. "Ini terlalu berlebihan, Kek. Aku tidak bisa menerima hadiah seperti ini." Larrisa mendorong kunci villa itu dengan sopan.

"Kenapa? Ini pemberian Kakek, tidak butuh penolakan, dan tidak menerima tolakan," tegasnya.

Hendak meminta pertolongan kepada Eliot, pria itu malah berpaling, sama sekali tidak menghiraukan Larrisa. Dia diam menonton Larrisa yang sedang tolak-menolak pemberian kakeknya.

"Mana hadiah untukku?" Eliot membuka pembicaraan.

Akhirnya Larrisa jauh dari cekaman Tuan Erdogan.

Eliot berhasil mengalihkan perhatian kakeknya dari Larrisa, akhirnya gadis itu bisa minum juga setelah daritadi belum meneguk air selepas makan. Dia langsung mengambil air dan menegukanya, hingga membasahi tenggorokannya yang kering.

Tuan Erdogan berenti tersenyum. "Kau memang serakah. Istrimu …."

Brust!

Larrisa menyeburkan air putih yang belum sempat diteguknya tepat mengenai wajah Eliot.

"Maafkan aku." Larrisa langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri kursi Eliot yang tepatnya berada di depannya. Dia mengambil kain bersih untuk mengeringkan wajah Eliot dari air semburan mulutnya.

Eliot menepis tangan Larrisa dan beranjak pergi dari ruang makan itu. Wajahnya tampak murka. Matanya yang tajam membuat Larrisa ketakutan tidak karuan.

Larrisa mengikuti Eliot sebagai tanda maafnya pada pria itu. Meski Eliot tengah kesal padanya, Larrisa tetap degil ingin menjumpai Eliot.

"Bagaimana dengan villa ini?" Tuan Erdogan menunjuk kunci villa di atas meja makan.

Larrisa berlari mundur ke belakang dan meraih kunci di meja tersebut. "Terima kasih, Kakek. Aku akan jaga villa ini. Tapi Eliot ku urus lebih dulu, kita bahas nanti." Larrisa berlari mengejar Eliot.

"Tampaknya Larrisa sangat peduli pada cucuku," kutip Tuan Erdogan sambil tersenyum melihat larian terburu-buru kaki Larrisa.

Eliot berhenti seketika, sampai Larrisa hampir menabrak bahu bidang Eliot. Untungnya dia dengan cepat berhenti sebelum tangannya menyentuh otot yang begitu sensual itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status