Share

Kedatangan Tamu Tak Diundang

Tidak ada kabar yang lebih membahagiakan dirinya selain daripada mendengar kabar tentang hubungan yang semakin erat antara cucunya dan putri Tuan Steven, yaitu Larrisa. Rasanya Tuan Erdogan sudah tidak sabar untuk menimang cicit, dia begitu terobsesi terhadap kebahagiaan cucunya, Eliot. Usianya tidak muda lagi, baginya keluarga adalah aset berharga, dan hanya Eliot lah satu-satunya keluarga yang tersisa dari keturunan Tuan Erdogan. Pintanya sebelum mati adalah melihat cucu kesayangannya itu hidup bahagia bersama keluarga baru, agar dia dapat meninggalkan Eliot dengan tenang pula. Dia tidak bisa meninggalkan Eliot sebelum memastikan kebahagiaan cucunya.

Cucunya itu tidak mendapat kasih dari orang tua. Baru saja berusia delapan tahun, dia sudah ditinggal ayah ibu. Dia tahu betapa sulit dan menyakitkan perjalanan hidup Eliot untuk tumbuh dewasa. Eliot tidak penuh merasakan dekapan hangat dari ibu dan ayahnya. Hati kakek mana yang tidak teriris melihat cucunya ditinggal mati oleh anak dan menantunya?

Jika diukur kasih sayang Tuan Erdogen belum lah sebanding , dan tentunya masih sangat kurang. Apalagi dia adalah seorang pebisnis, hari-harinya dihabiskan untuk mengurus perusahaannya. Akhirnya cucunya itu pun jauh dari perhatian darinya.

Namun kini bisnis Tuan Erdogan mulai dikerjakan oleh Eliot sehingga waktu luangnya begitu banyak. Sekarang saat Tuan Erdogan memberikan kasih sayang dan perhatian penuh pada cucunya, layaknya seorang kakek sekaligus pengganti rumahnya. Dia hanya ingin membuat Eliot bahagia, hanya itu impiannya saat ini. Semua akan dia berikan kepada sang cucu, sampai dia rela berkorban demi kebahagiaan sang cucu.

"Kapan kau berikan aku cicit?" tanya Tuan Erdogan menyeletuk sesak tidak bersabar.

Uhuk!

Air yang tengah diteguk Eliot seakan sulit ditelan. Dia menyapu bibirnya dengan kain putih bersih di sebelahnya. "Kami tidak akan menikah secepat itu," jawab Eliot dengan jantung yang berdetak laju. Telinganya terasa panas karena tidak menyukai pertanyaan kakeknya yang terlalu jauh. "Ba-Bagaimana mau punya anak, menikah saja masih andai-andai," sambungnya menggerutu. Pipinya memerah malu menjawab pertanyaan kakeknya.

"Aih, jaman sekarang punya anak baru menikah sudah biasa. Aku merestui hubungan seperti itu," ucap Tuan Erdogen tanpa menyaring perkataannya. Dia benar-benar sudah tidak sabar dengan kehadiran cicit, jalur ilegal pun dia rela.

"Kakek, aku ini pria yang bertanggung jawab, sesuai kode etik. Aku akan menjaga Nona Larrisa dengan baik. Jangan bahas ke sana lagi, kami baru saja memulai hubungan ini," jelas Eliot panjang lebar. Dengan cepat dia melerai kakeknya untuk tidak membahas apa pun tentang Larrisa.

"Dasar anak kolot," cemooh Tuan Erdogan. "Dimana Joan? Kenapa aku tidak melihatnya?" Tuan Erdogan menatap sekeliling. Biasanya manager cucunya itu sudah akan hadir di pagi hari menjemput Eliot. Hari ini dia tak melihat batang hidung Joan.

"Dia tidak akan datang," jawab Eliot.

"Tumben sekali?" Tuan Erdogen keheranan. "Dia tidak bekerja hari ini?" tanyanya lagi.

"Aku membawa mobilnya, dia tidak punya transport untuk menjemputku."

"Kenapa kau bawa mobil Joan? Kemana mobilmu?"

"Di gudang," jawabnya singkat.

"Lalu?"

Eliot langsung berdiri dari kurisnya. Dia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu merapikan dasi yang dia kenakan. "Aku permisi, Kek. Sudah jam kerja."

Dia meninggalkan Tuan Erdoga dikala masih banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan.

"Kakek masih belum selesai membahas Larrisa!" teriak Tuan Erdogan memanggil cucunya yang begitu pembangkang.

***

Dua hari telah berlalu. Kehidupan Larrisa tidak berubah sama sekali, dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Tanpa ada kekangan dari pihak manapun.

Meski tampak santai, dalam diamnya dia sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi Eliot dan Kakeknya. Semakin hari jantung Larrisa bertambah kencang berdegup. Seolah hari yang dia lewati terasa mengerikan karena frustasi mengingat perihal makan bersama Tuan Erdogan. Direktur Will Group itu tidak ada kabar dua hari sudah berlalu, atau bahkan hanya sekedar memberitahu jadwal makan malam bersama kakeknya pun tidak ada.

"Apa dia sudah lupa dengan kontrak itu?" batinnya kebingungan. "Aish, kenapa aku malah mempertanyakan hal itu? Bukankah itu bagus Larrisa?" Secepatnya Larrisa menghentikan lamunannya.

Tok-Tok!

Suara ketukan pintu berulang dan kasar dari luar kamarnya terdengar munusuk ke telinganya. Larrisa lantas membukanya langsung, melihat siapa yang begitu rusuh mengganggu keheningan kamarnya.

"Siapa yang menggedor pintu, ha?!" Tangannya menggenggam pintu dengan kuat lalu menariknya dengan kencang. Mukanya terlihat murka, tidak senang dengan orang yang sudah mengetuk pintu dengan keras. Sungguh dia sangat terganggu.

"Bi Sayi?" Larrisa memadamkan amarahnya sesaat melihat wanita paruh baya itulah yang telah menganggu lamunannya. Dia langsung tersenyum mengubah raut wajahnya.

"Nona Risa, Tuan Eliot berada di bawah menunggu Anda," kata Bi Sayi menyampaikan keadan rumahnya yang dihebohkan dengan kedatangan Eliot.

"Ke-Kenapa dia bisa datang ke sini?" Larrisa dengan panik tidak tahu harus apa, langsung menutup pintunya dan turun ke bawah. Dia tidak peduli dengan pakaian rumahan yang dia kenakan. Tangan baju yang menjuntai menutupi seluruh tangannya, dan celana panjang yang sangat longgar. Tampak pakaiannya terlalu besar di tubuh gadis ramping itu. Rambutnya juga begitu kusut. Hanya dijepit jedai kecil dan selebihnya terurai tidak beraturan.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Larrisa berteriak sambil menunjuk Eliot dengan jari lentiknya. Dia berjalan cepat ke arah Eliot dengan mata terbelalak kaget melihat kehadiran pria itu.

Tuan Steven yang duduk berbincang santai bersama Eliot langsung menelan ludah melihat penampakan putrinya yang begitu gaduh, tidak ada anggun-anggunnya.

"Larrisa, jaga sikap!" Tuan Steven menegur putrinya dengan sedikit senyum menekan. Dadanya sesak melihat putrinya datang dengan kondisi mengerikan itu di depan Eliot, si pria yang paling perfeksionis.

"Kenapa kau bisa ke sini?" Larrisa berdiri di samping Eliot yang tengah duduk dengan tampang tidak terusik melihat kebisingan yang diciptakan Larrisa. Dia menebalkan telinga dan matanya agar menghindari Larrisa yang membuat Eliot picing mata saat memandangi gadis rusuh itu.

"Eliot, Larrisa memang suka melantur sehabis bangun siang. Dia akan berkemas. Jangan ambil pusing," kata Tuan Steven pada Eliot. Harga dirinya seolah dipertaruhkan karena putrinya yang tidak tahu aturan itu. Tuan Steven begitu cemas jika sampai Eliot mengurungkan niatan menikahi Larrisa. Cepat-cepat dia menyuruh Bi Sayi membawa Larrisa pergi berkemas.

"Untuk apa aku berkemas? Hey! Hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini." Larrisa mencoba tetap berdiri di perpajakannya meminta penjelasan, meski Bi Sayi terus menarik Larrisa, mengajak gadis itu berkemas.

"Tunggu dulu, Bi! Kenapa aku harus berkemas begini?" Larrisa tetap saja banyak bertanya selama tangan Bi Sayi menarik Larrisa naik ke atas kamar gadis itu.

"Hari ini Tuan Erdogan mengajak Nona Larrisa makan di villa pribadi keluarga William," jelas Bi Sayi dengan rangkuman.

"Aku belum setuju! Kenapa langsung suruh aku berkemas?" Larrisa berontak ingin turun ke bawah lagi, untuk menyampaikan penolakan tersebut.

Dengan cepat Bi Sayi menahan gadis liar itu sekuat tenaga. Dia menarik tangan Larrisa lalu memasukkan ke dalam kamar bersama dengannya. Gadis yang sudah dianggapnya sebagai cucu sendiri itu memang sulit dikendalikan, bahkan dia, sebagai pengasuh Larrisa sejak kecil cukup letih menghadapi gadis itu.

"Nona Larrisa sebaiknya berkemas dengan cepat, jangan membuat Tuan Eliot menunggu di bawah. Tuan Steven akan marah pada Anda nantinya," terang Bi Sayi.

Meski berat melangkah, Larrisa dengan terpaksa mengganti pakaiannya dan berdandan.

"Anda tidak mandi?" tanya Bi Sayi saat melihat gadis itu memilah baju di lemari.

"Aku baru selesai mandi, Bi. Ada apa?"

"Ti-Tidak." Bi Sayi terdiam seketika.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahaya Karlina
panjangin dong thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status