Share

Pria Misterius

Dalam dua hari, Larrisa memecahkan rekor terbaru. Dia mengencani pria sebanyak lima belas orang. Entah kekuatan apa yang dia miliki, hingga bisa membuat semua pria menolaknya.

"Bukan salahku," kata Larrisa pada Ayahnya.

"Bagaimana bisa semua menolak putriku yang cantik?" tanya Tuan Steven keheranan.

"Tidak tahu, Ayah."

"Atau kau berbuat sesuatu hingga semua menolakmu?" tuduh Tuan Steven curiga.

Larrisa menggeleng kepala menangkis tuduhan ayahnya itu. Dia segera membakar hangus pemikiran ayahnya, meski memang benar firasat Tuan Steven tentang Larrisa.

"Aku akan pergi kencan hari ini," kata Larrisa.

"Tersisa satu lagi. Kalau tidak cocok, ayah akan menjodohkanmu dengan pria luar negeri. Yang ada di kota ini sudah habis kau tolak semua."

"Bukan salahku, Ayah. Standar mereka terlalu tinggi. Aku mungkin saja berada dibawah rata-rata, sebab itu tidak diterima oleh mereka," jelas Larrisa menolak disalahkan.

Larrisa hendak beranjak keluar dari ruang kerja ayahnya untuk bersiap mengganti pakaian. Dia akan mengakhiri perjodohan ini setelah membuat pria yang tersisa itu menolaknya.

"Tinggal satu lagi," berulang Larrisa mengatakan dengan suara pelan. Dia bahkan bersenandung dan menari ketika mengatakannya.

"Tidak perlu bersiap." Tuan Steven menghentikan langkah putrinya.

"Kenapa?" tanya Larrisa kebingungan. Tarian kecilnya terhenti dan fokus pada ayahnya.

"Eliot William sibuk hari ini. Dia bisa pada hari minggu saja."

"Apa? Dia mengatur jadwal? Tidak mungkin?" Larrisa kaget hingga mengeluarkan nada melengking. "Lalu Ayah mengizinkan dia mengatur jadwal untukku?" tanya Larrisa.

"Ya," angguk Tuan Steven polos.

"Sukar dipahami," celetuk Larrisa. Dia merasa ditolak oleh pria itu. Entah siapapun dia, Larrisa membencinya. "Sungguh menjengkelkan," tambahnya mengumpat.

Lantas, gadis itu menunggu hingga pekan tiba agar bisa bertemu pria menjengkelkan itu. Sebelum menemui teman kencannya, seperti biasa, Larrisa melihat latar belakang dan berita terkait tentang orang-orang itu.

"Eliot William." Larrisa membuka internet mencari petikan kisah hidup pria itu.

Saat membuka biografi pria itu, Larrisa sama sekali tidak mendapat foto Eliot yang jelas. Tampak bahwa semua hasil foto merupakan kiriman paparazi ilegal. Hanya ada foto tampak muka samping bahkan hanya punggung. Selainnya tertutupi topi dan kacamata hitam, yang terekspos hanya wajahnya memakai masker.

"Apa dia teroris? Satu pun tidak ada yang kelihatan wajahnya." Larrisa berdecak kesal.

Dia berhenti mencari foto pria itu dan mulai membaca latar belakang keluarga pria tersebut.

Eliot William. Entrepreneur muda, kaya raya dan tersohor di dunia bisnis, sekaligus direktur Will Group, perusahaan retail yang berpusat di New York. Memiliki rupa menawan dan latar belakang yang disegani. Dia sibuk di luar negeri, hingga jarang sekali orang yang mengenal sosoknya.

Dia adalah cucu dari Erdogan William, pemegang pasar saham dan merupakan pendiri Will Group.

"Aku kenal kakeknya!" teriak Larrisa sambil tertawa keras.

Larrisa mencari lebih dalam, hingga menemukan di pertengahan bait yang berisi berita kematian ayah dan ibu Elliot. Usianya baru delapan tahun, namun sudah hidup bersama kakeknya yang sudah berusia enam puluh lebih.

"Menyedihkan," batinnya iba.

Cukup mengenai latar belakang pria itu, Larrisa menutup ponselnya dan tidur usai melewati hari yang cukup melelahkan.

Dia berucap syukur karena semua pria itu telah menolaknya. Perjodohan tidak akan dilakukan jika pihak pria tidak menyetujui. Dia bisa tidur dengan tenang, tanpa beban apa pun. Dia bisa bersantai beberapa hari sebelum kencan buta dengan Eliot William.

***

Suara gaduh melengking terdengar keras dari seruak celah di kamar Larrisa. Tempat itu lebih berisik di banding pasar pagi, bila Karlina, sahabatnya datang berkunjung.

"Eliot?!" Karlina membelalakkan matanya dengan ekspresi tidak menyangka. "Kau akan menolaknya?!" lanjutnya. Karlina spontan menepuk kuat bahu Larrisa, kemudian mempelototi temannya sejak SMP itu. "Kau gila! Kau gila!" Tangannya terus menepuk sepanjang kalimat itu terlontar. Dia bahkan menggigit bibirnya karena kesal dengan Larrisa.

"Sakit, akh!" balas Larrisa menghindar dari amukan Karlina. "Kenapa kau pukul aku, woy?!"

"Kau benar-benar gila! Larrisa Camory, dia itu pria top nomor satu di kota, bahkan dia tekenal di negeri ini. Jangan bodoh, menolaknya adalah kesalahan terbesar di hidupmu, aku menjamin itu," ungkap Karlina kesal.

Betapa bodoh temannya itu, menyia-nyiakan pria sempura seperti Elliot William. Semua orang memperebutkan pria angkuh dan terkenal kejam itu. Parasnya adalah fasilitas yang sangat dipertimbangkan oleh wanita. Tentunya pengusaha muda itu adalah bintang yang terus bersinar.

"Aku baca berita dia itu tidak pernah berpacaran," jelas Larrisa singkat dengan muka serius dan mendekat ke arah Karlina.

"Itu hanya rumor."

"Rumor? Buktinya tidak ada skandal tentang dia dimanapun."

"Lagian, bukannya bagus jika dia tidak pernah bermain wanita?" tanya Karlina yang masih kesal dengan kebodohan temannya itu.

"Aku rasa dia pencinta pria juga," tebak Larrisa.

Pluk!

Karlina menoyor kepala temannya itu hingga Larrisa terdongak ke belakang. Badannya terjal hampir terlentang di ranjang. Untungnya dia kokoh kemudian kembali duduk seperti posisi semula.

"Mulutmu memang, aish." Karlina benar-benar salut melihat temannya yang begitu dangkal dan terus menilai buruk setiap pria. "Aku tahu kau trauma dengan cinta pertama, tapi tidak perlu nilai buruk semua pria." Karlina menepuk bahu Larrisa.

"Jangan bahas masa lalu, ck," kesal Larrisa yang tidak suka bila masa lalunya dikorek meski sedikit. "Ah, aku pusing. Bagimana kalau kita pergi," ajak Larrisa. Sambil membisik ke telinga Karlina," Bermain skating misalnya," sambungnya.

Karlina tersenyum. Dia pun sudah lama tidak menari di atas lapisan es bersama Larrisa semenjak kecelakaan waktu itu. Meski tidak sehebat Larrisa, Karlina begitu menyukai skating, apalagi bila bermain bersama sahabatnya itu.

"Tidak!" tegas Karlina menolak.

"Ayolah," bujuk Larrisa. "Hanya sekali ini. Aku sudah rindu main bersama sahabatku yang cantik ini," sambung Larrisa sedikit mengubah suaranya hingga terdengar seperti suara anak kecil. Dia mencubit pipi Karlina pelan, merayu hingga Karlina tidak bisa menolak permintaan temannya.

Karlina takut Tuan Steven mengetahui kalau sahabatnya itu bermain skating lagi. "Kau bisa dipasung," decak Karlina menatap iba Larrisa.

Larrisa tertawa. Dia menarik tubuh Karlina turun dari ranjang, agar segera berangkat ke arena es, bermain skating bersama.

"Let's go!" teriak antusias Larrisa saat sudah berada di dalam mobil putih milik Karlina.

***

Selama dua hari penuh, Larrisa diam-diam pergi bermain skating bersama Karlina. Meski sahabatnya sudah mengingatkan Larrisa, bahkan setelah mulutnya berbuih menceramahi Larrisa, dia sama sekali tidak mendengarkan. Seperti kata Tuan Steven, dia putri yang keras kepala.

Di dalam kamarnya, Larrisa masih tidur pulas dengan piyama panjang berwarna merah muda. Rambutnya kusut tidak terurus, kakinya melintang berbeda arah antara kanan dan kiri. Dia terlihat hancur.

"Nona Larrisa, Anda harus bangun," ganggu Bi Sayi menggoyangkan tubuh ramping Larrisa.

"Baru jam segini," balasnya bermalas-malasan. Dia membuka mata sedikit dan melihat jam yang tergantung di dinding. "Banguni aku jam sebelas, Bi!" Suaranya serak dan berat. Tenggorokannya bahkan belum dilumasi saliva. Memang dia adalah lambang wanita pemalas.

"Anda akan kencan jam 9 nanti," sambung Bi Sayi.

Drap!

Dia tiba-tiba bangkit dengan nyawa terkumpul seluruhnya. Matanya terbelalak lurus ke depan. Jiwanya seakan kosong.

"Kenapa sepagi itu?"

"Sesuai permintaan Tuan Elliot, Nona."

"Kenapa dia membuat aku semakin kesal," decak Larrisa sambil menekuk kemudian menengadahkan kepala, menghilangkan pegal pada lehernya. "Pembuluh darah ku bisa pecah karena sifatnya yang angkuh," lanjut Larrisa mengumpat. Dia kembali memutar kepalanya ke arah kanan dan kiri.

"Ini pakaian yang akan Anda kenakan." Bi Sayi meletakkan sebuah kotak berwarna biru tua, dengan pita besar sebagai pengikatnya. "Jangan terlambat, Nona." Bi Sayi lantas keluar setelah memberi kotak tersebut.

Larrisa membuka kotak itu. "Apa?! Warna hitam?" Dia mengangkat dress berwarna hitam seluruhnya, tanpa ada hiasan warna lain. Hanya ada manik-manik senada dengan warna dress itu. Bahkan sepatu boots bertapak 7 senti di dalam kotak berwarna hitam juga.

"Seperti ingin melayat saja," hina Larrisa menepis baju hitam itu.

Dia mengenakannya setelah habis mandi dan mengoleskan lotion di tubuhnya. Meski tidak sesuai seleranya, Larrisa tetap memakai dress menutup hingga bawah lututnya. Sangat cantik saat dipasang langsung ke tubuh ramping wanita itu. Kaki jenjangnya begitu mencolok saat memakai dress hitam dengan hiasan payet di bagian pinggangnya. "Seleranya cukup unik," puji Larrisa sambil memandangi dirinya di dalam cermin.

Ketika jarum jam tepat menunjuk pukul 11, barulah Larrisa berangkat pergi ke tempat yang sudah dibooking teman kencan prianya. Larrisa sengaja menunda perjalanannya ke tempat tersebut, karena ingin membuat tuan menyebalkan itu menunggu lama. Butuh 20 menit untuk sampai ke restaurant mahal pilihan pria itu. Entah mengapa pria itu memesan tempat yang jauh dari pusat kota.

Sesampainya di sana, seorang waitress menunjukkan jalan padanya. Tampak meja yang dituju waitress itu masih kosong. Tidak ada yang duduk menunggu. Hanya dua gelas anggur merah menghias meja, bersama sekuntum mawar dan lilin beraroma terapi.

"Luar biasa," decak kagum Larrisa sambil menyeringai melihat kelakuan Eliot William.

Pria itu belum juga sampai. Sudah lebih dari sepuluh menit Larrisa menunggu. Bahkan botol wine itu telah habis dua teguk. Pria itu membuat Larrisa ingin naik pitam.

"Aku akan mencekiknya," umpat Larrisa melampiaskan kekesalannya pada botol wine yang digenggamannya erat.

Tidak lama, pria berkemeja hitam duduk tanpa rasa malu di depannya. Pria itu tidak menatap Larrisa. Dia membuka jasnya, melipat tangan bajunya, lalu membuka satu kancing kemeja hitamnya dengan sangat menawan.

Deg!

Jantung Larrisa memacu kuat. Matanya berbinar menatap ketampanan pria itu. Setiap gerakan yang dihasilkan pria itu begitu sensual hingga membuat sudut bibir Larrisa tersenyum sendiri. Dia terpaku dan terdiam sesaat. Dia terpanah. Badan yang tinggi dengan dada yang bidang. Mata berwarna seelok batu rubi. Rambut tebal hitam tertata rapi. Beberapa helai menutup alisnya.

"Sempurna," gumam Larrisa dalam hati.

Tidak lama kemudian, kekagumannya hancur saat mengingat betapa kesalnya dia dengan pria di depannya itu. Tidak ada kata sapaan dari mulut Eliot William. Bahkan meminta maaf pun tidak tersuarakan.

"Sangat dingin, aku tidak selera dengan pria seperti ini," decak Larrisa menilai dengan suaranya pelan.

"Eliot William." Nada rendah penuh kejantanan itu bergema di telinga Larrisa. Hatinya tertusuk mendengar suara indah milik Eliot. Menenangkan batinnya.

Secepatnya Larrisa menghilangkan kekaguman. Dia dengan judes membalas perkenalan singkat Eliot. "Aku tidak memaafkanmu," kata Larrisa. Dia mengibaskan kekagumannya cepat sambil menggelengkan kepalanya.

Lantas Eliot menaikkan alisnya, tidak mengerti mengapa wanita di depannya itu mengatakan hal demikian. "Ya?" tanya Eliot bingung.

"Sepuluh menit aku menunggu Tuan Muda Eliot di kursi ini, sendiri. Aku sudah kenyang meneguk wine yang terhidang," jelas Larrisa kesal.

Eliot tersenyum tipis. Dia menuangkan gelas kosong Larrisa dengan air putih yang juga berada di atas meja.

"Maaf, ada rapat penting," jawabnya seolah tidak berniat.

"Ck, siapa yang rapat di hari libur begini?" Larrisa memutar bola matanya, tidak percaya dengan alasan Eliot.

Eliot tersenyum lagi, kali ini senyumannya begitu lebar. "Benar sekali. Aku rapat dengan manager ku," sambung Eliot meluruskan. "Larrisa Camory, nama yang cantik."

"Tentu saja," jawabnya angkuh. "Sepertinya kita tidak cocok, Tuan Eliot. Kau menjengkelkan."

Eliot menatap Larrisa, menyimak kalimat yang dilontarkan padanya. Begitu menusuk. Sesuai dugaannya, wanita itu memiliki lidah tajam. Jauh berbeda dengan tampangnya yang terlihat lemah dengan pipi cabi itu.

"Sungguh … aku hampir frustasi karenamu," umpat Larrisa. "Kau membuat aku mengenakan dress hitam seperti berkabung, membuatku menunggu, dan kau tahu? Aku harus menunggu dua hari hanya untuk makan denganmu. Wah! kau buat aku kesulitan," sambungnya tidak henti mengungkapkan kekesalan pada Eliot.

Bukannya tersinggung, Eliot malah tersenyum menikmati celoteh wanita bermuka kecil itu. Tak henti dia memandang bibir penuh dilapis lipstik merah menyala. "Maaf sudah menyusahkanmu," ungkap Eliot.

"Aku memperhitungkan kesalahnmu ini. Kau bukan tipeku," pungkas Larrisa sambil melemparkan tatapan melotot pada Eliot.

"Benarkah? Kita sama," balas Eliot.

"Ha?" bingung Larrisa.

"Kau juga bukan tipeku," sambung Eliot.

Larrisa tersenyum licik. Rencananya berhasil. Dia telah membuat Eliot tidak menyukai dirinya. Tidak menyangka ternyata membuat tuan muda keluarga William ilfeel begitu mudah. Batinnya bertepuk riang saat Eliot mengatakan bahwa dia tidak selera dengan Larrisa.

"Ok, tidak masalah. Artinya perjodohan ini dibatalkan. Kau tidak berminat denganku, dan aku pun begitu. Bagaimana?"

Waitress datang ke meja mereka dan memberikan menu restaurant. Dengan suka cita, Larrisa memesan makanan tanpa ada rasa sakit hati mendengar ejekan Eliot.

Di saat yang sama, Eliot memandangi Larrisa dengan seksama. "Dia tidak sakit hati?" batinnya keheranan. Bagaimana mungkin bisa wanita itu makan di saat suasana sedang runyam. Jauh dari perkiraan Eliot, dia mengira jika wanita itu akan menangis memohon agar tetap melanjutkan perjodohan. Ternyata dugaannya diluar rencana.

"Kau tidak memesan?" tanya Larrisa membuyarkan celetuk gaduh Eliot.

"Ehm," jawabnya ringan.

Semua wanita mengagumi Eliot. Tak jarang berani mengungkapkan perasaan terlebih dahulu, bahkan mengemis cinta padanya. Untuk pertama kali, wanita itu tidak memandang dirinya. Wanita itu mengacuhkan dirinya. Sungguh membuat Eliot harus memutar otak memahami karakter Larrisa.

Setelah melewati banyak kencan buta sesuai suruhan kakeknya, tidak ada satu pun yang senang ketika Eliot menolak. Berbeda dengan Larrisa, dia tampak bahagia. Tidak melukis kesedihan atau kekecewaan. Dia bahkan makan dengan lahap tepat di depan mata Eliot. Wanita yang mengerikan.

"Jangan lupa katakan pada Tuan Erdogen untuk menyampaikan pada ayahku!" suruh Larrisa.

"Soal apa?" tanya Eliot bingung. Dia tidak henti menonton wanita itu mengunyah banyak makanan. "Makannya sangat banyak," celetuk Eliot dalam benak.

"Kau menolak perjodohan. Cukup itu saja. Ayahku sensitif jika membahas perjodohan ini. Sebaiknya kalian yang jelaskan padanya," tukas Larrisa.

"Sepertinya ada kesalahpahaman."

"Salah paham? Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?" Larrisa mencondongkan badannya ke arah Eliot. Dia kebingungan hingga tingkah bodoh yang natural muncul. Eliot sampai kaget dengan ekspresi Larrisa yang tidak anggun sama sekali.

"Aku menanti kencan kedua kita," ungkap Eliot.

"Apa?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status