Jasmine duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sudah beberapa hari sejak ia melahirkan, dan dalam beberapa jam lagi, ia akan meninggalkan tempat ini. Seharusnya ini adalah momen di mana seorang ibu membawa pulang bayinya, tapi bagi Jasmine, ini adalah momen di mana ia harus benar-benar melepaskan.
Pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. “Nona Jasmine, ini dokumen kepulangan Anda. Anda sudah diperbolehkan pulang hari ini.”
Jasmine mengambil dokumen itu dengan tangan gemetar. Ia mengangguk, berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa remuk. “Terima kasih.”
Begitu perawat keluar, pintu kembali terbuka. Kali ini, Zora masuk dengan ekspresi puas. “Waktunya pergi, Jasmine.”
Jasmine menarik napas panjang. “Aku tahu.”
Zora tersenyum sinis. “Jangan terlalu sedih. Aku akan menjaga bayi
Pagi itu, Noah duduk di ruang tamu sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih bergelut dengan kata-kata Harness tadi.Kenapa Oma tiba-tiba mencurigai Jasmine? Apa yang sebenarnya dia ketahui?Ketika Noah masih larut dalam pikirannya, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Jasmine muncul, wajahnya masih sedikit pucat setelah percakapan tegang dengan Harness tadi.“Noah... kamu nggak apa-apa?” tanya Jasmine, suaranya pelan namun penuh perhatian.Noah tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Aku baik-baik aja, Jas. Hanya masih mikirin omongan Harness tadi.”Jasmine duduk di sebelah Noah, matanya menatap tajam seolah mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi suaminya. “Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba datang dan ngomong begitu. Apa dia nggak suka aku ada di hidupmu?”Noah menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Jasmine. “Bukan itu, sayang. Harness memang selalu khawatir sama aku, apalagi setelah aku menikah denganmu. Mungkin dia merasa harus melindung
Pagi itu, Noah duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Matanya terpaku pada pintu ruang tengah, berharap Jasmine akan muncul dari kamar dengan senyum yang selama ini dirindukannya. Semalam adalah langkah kecil, tapi cukup untuk memberi secercah harapan dalam hatinya.Suara langkah lembut terdengar, dan tak lama kemudian Jasmine muncul dengan rambut masih tergerai. Noah meneguk kopinya, berusaha menahan debaran jantungnya."Pagi," sapa Jasmine, mencoba terdengar biasa."Pagi," balas Noah, suaranya sedikit serak. "Tidurmu nyenyak?"Jasmine mengangguk sambil duduk di kursi berhadapan dengannya. "Cukup... lebih baik dari malam-malam sebelumnya."Noah tersenyum tipis. "Syukurlah. Aku... khawatir kalau semalam terlalu banyak yang kita bahas."Jasmine menghela napas. "Aku justru merasa lega. Akhirnya kita bicara. Meski belum semuanya jelas... tapi aku merasa sedikit lebih tenang."Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Noah melirik tangan Jasmine yang tergeletak di at
Jasmine duduk di kursi, mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Ia membuka lipatannya perlahan, membaca kata-kata yang tertulis di sana. Setiap kalimat seolah menyentuh hatinya, membawa kembali kenangan-kenangan indah yang pernah mereka miliki. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan lain yang mulai menguasai dirinya—perasaan yang lebih dalam, perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa takut, rasa bingung, dan rasa kehilangan.Setelah selesai membaca surat itu, Jasmine terdiam. Matanya mulai memanas, dan air mata perlahan mulai mengalir di pipinya. Surat itu—kata-kata yang ditulis Noah—memang menggetarkan hatinya. Tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang telah terjadi di antara mereka. Surat itu tak bisa menghapus semua luka yang telah tercipta, tak bisa mengembalikan waktu yang telah hilang.Noah duduk di ruang kerjanya, matanya kosong menatap jendela yang menghadap ke taman. Cuaca sore itu terasa lebih mendung d
Kenangan yang tak terhitung jumlahnya, tapi juga potongan-potongan yang mengarah padanya. Sebuah pertanyaan tak terucap: apakah ia benar-benar ingin tahu semua itu?“Aku harus tahu,” ia berkata dengan suara tegas, menguatkan dirinya. “Aku tidak bisa hanya tinggal diam.”Ia menutup kotak itu dengan hati-hati, lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. Sebelum keluar dari kamar, ia menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya tegang, namun matanya penuh dengan tekad. Setiap inci dari tubuhnya dipenuhi dengan perasaan gelisah yang tak bisa ia hilangkan.“Tak ada jalan mundur sekarang,” kata Jasmine pelan, seolah memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Aku harus tahu kebenarannya."Dia meraih telepon genggamnya. Tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kontak dan mencari nomor yang sudah lama tak ia hubungi. Setelah beberapa detik, sebuah suara hangat terdengar di ujung telepon.“Halo, Jasmine? Ada apa, sayan
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Jasmine memutuskan untuk meninggalkan surat itu di atas meja. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi itu. Namun, satu hal yang jelas—ia harus mencari tahu lebih banyak tentang masa lalunya. Tentang keluarganya, tentang ibunya. Ia mulai merasa bahwa semua ini tidak terjadi begitu saja. Ada sesuatu yang lebih besar, dan ia harus mengetahuinya."Ya, mungkin ini saatnya aku mengetahui lebih banyak tentang ibu," gumamnya, matanya menyipit, tekad mulai tumbuh di dalam dirinya.Jasmine segera bangkit dan pergi menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan kotak kayu kecil yang sudah lama tersimpan di sana. Itu adalah kotak peninggalan ibunya, Sylvia, yang sejak kecil selalu disimpannya dengan penuh hati-hati. Kotak itu berisi barang-barang lama milik ibunya—foto-foto, surat-surat, dan benda-benda yang sering kali Jasmine lihat, namun tidak pernah berani membuka lebih dalam.Dengan hati yang berdebar, Jasmin
Noah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Harness. "Tapi aku nggak ingin kehilangan Jasmine. Aku tahu aku salah, tapi aku ingin memperbaikinya."Harness mendekat, menatap Noah dengan tatapan yang lebih serius. "Kau tahu, Noah, terkadang kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai. Kamu sudah berusaha, tapi jika sudah terlalu banyak luka yang terjadi, mungkin yang terbaik adalah menerima kenyataan. Jika Jasmine merasa tidak bisa bersama kamu, apakah itu berarti kita harus terus memaksanya?"Noah merasa terperangkap dalam kata-kata Harness. Meskipun ada sesuatu yang tidak beres dengan ucapan itu, ia merasa bingung dan terhimpit oleh kebingungannya sendiri. Harness memang selalu bisa berbicara dengan sangat meyakinkan, dan kata-katanya mulai meresap perlahan ke dalam benak Noah."Tapi aku masih mencintainya, Harness. Aku masih ingin berjuang untuk kami," kata Noah, suaranya mulai bergetar.Harness menyandarkan tangan di bahu Noah, memberikan dorongan yang
Pagi itu, rumah keluarga Dirgantara terasa hening, jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya yang sering dipenuhi tawa atau percakapan ringan. Sejak pertemuan terakhir mereka, suasana antara Noah dan Jasmine semakin dingin. Mereka saling menghindar, tak ada lagi percakapan seperti dulu. Jasmine lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri, sementara Noah merasa semakin terasing.Di kamar tidur mereka, Noah berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Raut wajahnya tampak lelah. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum mendekati Jasmine. Ia tahu bahwa hubungan mereka berada di ujung tanduk. Kejadian-kejadian belakangan ini, ditambah tekanan dari keluarga, membuatnya merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa lagi.Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar pintu. Jasmine muncul, mengenakan piyama lusuh, rambut terurai acak-acakan. Wajahnya tampak kusut, mungkin karena semalaman ia tidak tidur nyenyak. Ada kekosongan di matanya yang tidak bisa
“Aku tahu kamu suka ayam panggang dari tempat ini,” katanya sambil meletakkan kotak makan di meja Noah.Noah menatapnya, setengah heran.“Cuma sebagai teman. Aku nggak akan ganggu,” tambah Harness cepat. “Anggap saja… nostalgia kecil.”Noah hanya mengangguk. Tapi ia tahu: kedatangan Harness bukan sekadar ‘teman lama mampir’.Dan benar saja, saat Harness keluar, salah satu staf perempuan Noah berbisik, “Pacar lama, ya, Pak?”Noah hanya tersenyum canggung. Tapi pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran: bagaimana jika kehadiran Harness mulai mengganggu Jasmine?Sore harinya, Jasmine membuka peta digital dan mengetik: Panti Asuhan Bina Kasih.Lokasinya? Di luar kota. Tiga jam dari Araya.Ia menatap layar lama. Jari-jarinya menelusuri rute. Satu keputusan kecil—dan ia akan membuka pintu menuju masa lalu yang tak pernah ia kenal.Lalu ponselnya berdering. N
“Noah, tadi siang aku lihat kamu bicara sama dia.”Suara Jasmine terdengar datar, tapi matanya menyorot tajam.Noah meletakkan laptopnya ke meja, lalu duduk di samping Jasmine di ruang keluarga. “Harness?”“Siapa lagi?” Jasmine membalas cepat, tangannya menyilang di dada.Noah menarik napas panjang. “Dia datang tiba-tiba. Aku juga kaget, Jas. Oma bilang dia bantu beberapa urusan sosial.”“Dan kamu langsung percaya?” Jasmine mengangkat alis. “Dia bukan orang asing buatmu. Dia pernah punya tempat, kan?”Noah terdiam. Ini bukan pertanyaan yang bisa dia jawab dengan defensif. Ia tahu Jasmine punya alasan untuk curiga.“Dulu, iya,” akunya jujur. “Tapi itu lama sebelum aku kenal kamu. Hubungan kami nggak pernah jadi apa-apa. Harness tahu itu.”Jasmine berdiri, berjalan ke jendela. “Kamu tahu nggak? Rasanya nggak nyaman, tahu wanita lai