Malam itu, Jasmine duduk di dalam kamarnya, menatap kosong ke arah langit-langit. Perasaannya masih tidak tenagng pasca penculikan, dia tetap tinggal di rumah keluarga Dirgantara untuk menyusui bayinya.
Namun, suasana di rumah ini semakin tegang. Zora semakin menunjukkan sikap bermusuhan, sementara Noah mulai bersikap lebih protektif terhadapnya. Tapi, di balik semua ini, Jasmine tahu satu hal, Zora tidak akan tinggal diam.
Di luar kamar, langkah kaki terdengar. Noah muncul di ambang pintu dengan ekspresi serius. "Kau baik-baik saja?"
Jasmine menoleh ke arahnya. "Untuk sekarang, ya. Tapi aku tahu ini tidak akan bertahan lama."
Noah masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Aku baru saja mendapat informasi dari orang kepercayaanku. Zora sedang merencanakan sesuatu."
Jasmine mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
Noah menghela napas panjang. "Aku belum tahu past
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk di kursi kamarnya, menatap kosong pada secarik kertas berisi catatan transaksi lama yang diberikan Noah padanya. Fakta bahwa perusahaan Jorse Corp, yang seharusnya menjadi warisan ayahnya, telah berpindah tangan secara ilegal membuatnya sulit tidur.Pintu kamar diketuk. Noah masuk dengan ekspresi serius, membawa berkas tambahan yang baru saja ia dapatkan dari tim penyelidiknya."Aku menemukan sesuatu lagi," ucapnya sambil meletakkan berkas di atas meja.Jasmine menatap Noah dengan waspada. "Apa itu?"Noah menarik napas panjang sebelum menjelaskan, "Ada seseorang yang bisa menjadi saksi kunci. Dia adalah mantan asisten pribadi ayahmu, seseorang yang dulu sangat dekat dengannya sebelum semua ini terjadi."Jasmine mengerutkan kening. "Mantan asisten? Siapa namanya?"Noah membuka berkas itu dan menunjukkan se
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemuruh yang menggema di sepanjang jalanan kota. Di dalam rumah keluarga Dirgantara, suasana lebih sunyi dari biasanya.Jasmine duduk di kamarnya, menatap kosong pada dokumen yang diberikan oleh Sudrajat siang tadi. Tangannya menggenggam lembaran itu erat, seakan takut jika ia melepaskannya, kebenaran yang baru ia temukan akan lenyap begitu saja.Noah berdiri di dekat jendela, matanya menatap ke luar dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Aku sudah menghubungi tim investigasiku. Mereka akan mulai menelusuri lebih dalam tentang bagaimana perusahaan ayahmu berpindah tangan.”Jasmine mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Aku masih sulit menerima semuanya, Noah. Fakta bahwa Roberto bukan hanya merebut perusahaan, tapi juga mungkin terlibat dalam kematian orang tuaku...”Noah mendekat, duduk di si
Hujan masih mengguyur deras saat Jasmine dan Noah berdiri di dalam gudang tua di pelabuhan. Di hadapan mereka, Sudrajat tampak lelah, tetapi matanya masih tajam, penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Amplop cokelat yang ia serahkan kepada Jasmine terasa begitu berat di tangannya, seolah mengandung seluruh beban masa lalu yang selama ini tersembunyi.“Kalian harus pergi sekarang,” desis Sudrajat dengan suara tertahan. “Mereka pasti sudah tahu kalian ada di sini.”Noah mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar di luar gudang. Jasmine menahan napas, tangannya menggenggam amplop itu semakin erat. Noah meraih lengannya, memberi isyarat agar tetap diam.“Kita dikepung,” bisik Noah. “Jangan panik.”Sudrajat mundur perlahan, wajahnya semakin tegang. “Mereka pasti dikirim oleh Zora atau Roberto. Kita harus mencari jalan keluar lain.”Jasmine melirik sekeliling gudang yang mulai terasa semakin pengap. Jendela kecil di sudut ruangan tampak bisa menjadi jalan k
Hujan deras yang mengguyur kota sejak sore belum juga mereda. Gemericik air yang jatuh di jendela besar kamar Jasmine menciptakan ritme tenang yang kontras dengan gejolak di dalam hatinya. Setelah kejadian di pelabuhan, ia masih sulit untuk memejamkan mata. Pikiran tentang bukti yang kini berada di tangannya terus menghantui.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Jasmine menoleh, dan di ambang pintu, Noah berdiri dengan tatapan tajam. Kemeja putihnya sedikit basah, rambutnya masih lembab akibat hujan.Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda malam ini—sesuatu yang lebih dalam dan sulit dijelaskan.“Kau masih terjaga,” gumam Noah seraya melangkah masuk.Jasmine mengangguk, menarik selimutnya lebih erat. “Aku tidak bisa tidur.”Noah menutup pintu, berjalan mendekat lalu duduk di sisi ranjang. “Aku juga.”Sejenak, hanya suara hujan yang mengisi keheningan di antara mereka. Jasmine menatap ke luar jendela, pikirannya masih berkecamuk. Tapi begitu Noah menyentuh tangannya, kehangatan
“Noah…” Jasmine akhirnya bersuara, mengumpulkan keberaniannya. “Apa yang kita lakukan tadi malam… Itu akan membuat semuanya lebih sulit.”Noah menatapnya, mengernyit sedikit. “Kenapa kau berkata seperti itu?”Jasmine menghela napas, lalu bangkit dari ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “Karena di luar sana masih ada Zora, ada Dursilla, dan ada ancaman besar yang sedang menunggu kita.”Noah ikut bangkit, duduk di tepi ranjang, tatapannya tetap terkunci pada Jasmine. “Aku tahu semua itu, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamamu.”Jasmine tersenyum pahit. “Kita tidak bisa hidup dalam gelembung ini selamanya. Kau tahu apa yang akan terjadi jika Dursilla mengetahui hubungan kita yang sebenarnya?”Noah mengepalkan tangannya. “Dursilla tidak berhak menentukan hidupku. Dan ak
Jasmine duduk di tepi ranjangnya, masih merasakan kehangatan yang tersisa dari kebersamaannya dengan Noah semalam. Namun, semakin lama ia membiarkan pikirannya mengembara, semakin jelas bahwa kebahagiaan itu hanya sementara. Dunia luar tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Noah muncul dengan ekspresi serius, langkahnya tegas mendekati Jasmine. “Kita harus bicara.”Jasmine langsung menangkap nada mendesak dalam suaranya. “Ada apa?”Noah duduk di sampingnya, wajahnya lebih tegang dari biasanya. “Aku mendengar sesuatu dari Dursilla dan Roberto tadi malam. Dia ingin mengambil alih seluruh perusahaan. Ini bukan sekadar masalah saham, Jasmine. Ini lebih dalam dari yang kita kira.”Jasmine merasa dadanya menegang. “Apa maksudmu?”Noah meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Aku yakin Roberto punya rencana lain. Dia ingin merebut segalanya, termasuk posisi keluarga Dirgantara. Dan aku curiga dia punya sesuatu yang bisa menjatuhkan kit
Malam mulai merayap ketika Jasmine berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang gelap dengan tatapan kosong. Hatinya masih bergejolak sejak mendengar pengakuan Sudrajat tentang ancaman yang diterima ayahnya sebelum kecelakaan tragis itu terjadi. Kini, semua yang ia percayai selama ini perlahan runtuh, meninggalkan rasa sakit yang begitu dalam.Suara pintu yang terbuka membuat Jasmine menoleh. Noah berdiri di sana dengan ekspresi khawatir. Tanpa berkata-kata, ia berjalan mendekat dan menyandarkan tangannya di pagar balkon, berdiri di samping Jasmine.“Kau belum tidur?” tanya Noah dengan suara rendah.Jasmine menggeleng, menggigit bibirnya. “Aku tidak bisa. Terlalu banyak yang ada di pikiranku.”Noah menatapnya lama sebelum berkata, “Aku tahu ini berat untukmu, tapi kita sudah semakin dekat dengan kebenaran. Kita hanya perlu satu langkah lagi.”
"Kenapa wajahmu terlihat begitu pucat?" suara Noah memecah keheningan.Pagi yang dingin menyelimuti kota ketika Jasmine duduk di ruang kerja Noah, menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Matanya terasa berat setelah semalaman membaca ulang surat ayahnya yang ditemukan oleh Sudrajat. Surat itu menjadi bukti nyata bahwa kematian ayahnya bukan kecelakaan biasa.Noah masuk dengan dua cangkir kopi di tangannya. “Kau bahkan belum tidur?” tanyanya, menyodorkan salah satu cangkir kepada Jasmine.Jasmine menggeleng, menghela napas panjang. “Aku tidak bisa. Aku terus memikirkan bagaimana kita bisa menemukan Herman sebelum mereka menemukannya lebih dulu.”Noah duduk di sebelahnya, menyesap kopinya sebelum berbicara. “Aku sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu kita melacaknya. Herman memang menghilang bertahun-tahun, tapi orang seperti dia tidak bisa selamanya bersembunyi.”Jasmine menatap Noah dengan penuh harapan. “Kita harus lebih cepat dari Zora dan Roberto. Jika mereka menemukan
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan