HAi Guys , aku pengen kenal kalian pembaca setia aku . jangan lupa suport di kolom komentar ya . kita kenalan
Hujan deras yang mengguyur kota sejak sore belum juga mereda. Gemericik air yang jatuh di jendela besar kamar Jasmine menciptakan ritme tenang yang kontras dengan gejolak di dalam hatinya. Setelah kejadian di pelabuhan, ia masih sulit untuk memejamkan mata. Pikiran tentang bukti yang kini berada di tangannya terus menghantui.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Jasmine menoleh, dan di ambang pintu, Noah berdiri dengan tatapan tajam. Kemeja putihnya sedikit basah, rambutnya masih lembab akibat hujan.Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda malam ini—sesuatu yang lebih dalam dan sulit dijelaskan.“Kau masih terjaga,” gumam Noah seraya melangkah masuk.Jasmine mengangguk, menarik selimutnya lebih erat. “Aku tidak bisa tidur.”Noah menutup pintu, berjalan mendekat lalu duduk di sisi ranjang. “Aku juga.”Sejenak, hanya suara hujan yang mengisi keheningan di antara mereka. Jasmine menatap ke luar jendela, pikirannya masih berkecamuk. Tapi begitu Noah menyentuh tangannya, kehangatan
“Noah…” Jasmine akhirnya bersuara, mengumpulkan keberaniannya. “Apa yang kita lakukan tadi malam… Itu akan membuat semuanya lebih sulit.”Noah menatapnya, mengernyit sedikit. “Kenapa kau berkata seperti itu?”Jasmine menghela napas, lalu bangkit dari ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “Karena di luar sana masih ada Zora, ada Dursilla, dan ada ancaman besar yang sedang menunggu kita.”Noah ikut bangkit, duduk di tepi ranjang, tatapannya tetap terkunci pada Jasmine. “Aku tahu semua itu, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamamu.”Jasmine tersenyum pahit. “Kita tidak bisa hidup dalam gelembung ini selamanya. Kau tahu apa yang akan terjadi jika Dursilla mengetahui hubungan kita yang sebenarnya?”Noah mengepalkan tangannya. “Dursilla tidak berhak menentukan hidupku. Dan ak
Jasmine duduk di tepi ranjangnya, masih merasakan kehangatan yang tersisa dari kebersamaannya dengan Noah semalam. Namun, semakin lama ia membiarkan pikirannya mengembara, semakin jelas bahwa kebahagiaan itu hanya sementara. Dunia luar tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Noah muncul dengan ekspresi serius, langkahnya tegas mendekati Jasmine. “Kita harus bicara.”Jasmine langsung menangkap nada mendesak dalam suaranya. “Ada apa?”Noah duduk di sampingnya, wajahnya lebih tegang dari biasanya. “Aku mendengar sesuatu dari Dursilla dan Roberto tadi malam. Dia ingin mengambil alih seluruh perusahaan. Ini bukan sekadar masalah saham, Jasmine. Ini lebih dalam dari yang kita kira.”Jasmine merasa dadanya menegang. “Apa maksudmu?”Noah meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Aku yakin Roberto punya rencana lain. Dia ingin merebut segalanya, termasuk posisi keluarga Dirgantara. Dan aku curiga dia punya sesuatu yang bisa menjatuhkan kit
Malam mulai merayap ketika Jasmine berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang gelap dengan tatapan kosong. Hatinya masih bergejolak sejak mendengar pengakuan Sudrajat tentang ancaman yang diterima ayahnya sebelum kecelakaan tragis itu terjadi. Kini, semua yang ia percayai selama ini perlahan runtuh, meninggalkan rasa sakit yang begitu dalam.Suara pintu yang terbuka membuat Jasmine menoleh. Noah berdiri di sana dengan ekspresi khawatir. Tanpa berkata-kata, ia berjalan mendekat dan menyandarkan tangannya di pagar balkon, berdiri di samping Jasmine.“Kau belum tidur?” tanya Noah dengan suara rendah.Jasmine menggeleng, menggigit bibirnya. “Aku tidak bisa. Terlalu banyak yang ada di pikiranku.”Noah menatapnya lama sebelum berkata, “Aku tahu ini berat untukmu, tapi kita sudah semakin dekat dengan kebenaran. Kita hanya perlu satu langkah lagi.”
"Kenapa wajahmu terlihat begitu pucat?" suara Noah memecah keheningan.Pagi yang dingin menyelimuti kota ketika Jasmine duduk di ruang kerja Noah, menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Matanya terasa berat setelah semalaman membaca ulang surat ayahnya yang ditemukan oleh Sudrajat. Surat itu menjadi bukti nyata bahwa kematian ayahnya bukan kecelakaan biasa.Noah masuk dengan dua cangkir kopi di tangannya. “Kau bahkan belum tidur?” tanyanya, menyodorkan salah satu cangkir kepada Jasmine.Jasmine menggeleng, menghela napas panjang. “Aku tidak bisa. Aku terus memikirkan bagaimana kita bisa menemukan Herman sebelum mereka menemukannya lebih dulu.”Noah duduk di sebelahnya, menyesap kopinya sebelum berbicara. “Aku sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu kita melacaknya. Herman memang menghilang bertahun-tahun, tapi orang seperti dia tidak bisa selamanya bersembunyi.”Jasmine menatap Noah dengan penuh harapan. “Kita harus lebih cepat dari Zora dan Roberto. Jika mereka menemukan
Jasmine duduk di kursi pesawat pribadi yang telah disiapkan Noah, menatap ke luar jendela. Di luar sana, langit malam membentang luas dengan kilauan bintang yang berpendar di antara awan tipis. Perjalanan mereka menuju kota Velmor di benua Aldebaran telah dimulai dari tempat di mana Herman diduga bersembunyi.Noah duduk di seberangnya, menyesap segelas air mineral dengan ekspresi penuh konsentrasi. Ia mempelajari berkas-berkas yang berkaitan dengan Herman, sementara Jasmine berusaha meredakan kegelisahannya.“Velmor bukan kota yang mudah untuk ditelusuri,” kata Noah akhirnya, menatap Jasmine.“Jika Herman benar-benar ada di sana, maka dia memilih tempat yang tepat untuk menghilang.”Jasmine mengangguk, jari-jarinya saling meremas. “Aku hanya takut kita terlambat. Jika Zora dan Roberto sudah lebih dulu menemukannya, semuanya bisa berakhir sebelum kita sempat bergerak.”&nb
"Tempat ini lebih gelap dari yang kubayangkan," gumam Jasmine sambil melirik sekeliling.Angin malam di Velmor berhembus dingin ketika Jasmine dan Noah turun dari kendaraan yang membawa mereka ke distrik perdagangan di pusat kota. Lampu-lampu jalan berkedip samar, menerangi lorong-lorong sempit yang dipenuhi oleh pedagang dan orang-orang yang mencari informasi di pasar gelap. Velmor adalah kota di mana kebenaran dan kebohongan diperdagangkan dengan harga tinggi.Jasmine merapatkan mantel yang ia kenakan, mencoba menahan hawa dingin yang menusuk. Noah berjalan di sampingnya, pandangannya tajam menyapu setiap sudut jalan. Mereka tidak bisa lengah. Mereka tahu bahwa bukan hanya mereka yang sedang mencari Herman. Zora dan Roberto pasti sudah menurunkan orang-orang mereka."Tetap dekat denganku," suara Noah terdengar rendah namun penuh ketegasan. "Orang-orang di sini bisa mencium ketakutan dari jauh."Jas
"Tempat ini lebih menyeramkan daripada yang kubayangkan," ujar Jasmine pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin laut.Angin laut yang dingin menerpa wajah Jasmine saat ia berdiri di tepi dermaga, menatap air hitam pekat yang berkilauan di bawah cahaya lampu pelabuhan. Di sekelilingnya, suara ombak memecah keheningan malam. Velmor terasa semakin sunyi di tempat ini, jauh dari hiruk-pikuk distrik perdagangan.Noah berdiri di sampingnya, matanya tajam menelusuri setiap sudut area pelabuhan tua yang hampir terbengkalai. Hanya ada beberapa kapal tua yang terombang-ambing, dan deretan gudang yang tampak tak terurus. Namun, menurut informasi yang mereka dapatkan, Herman bersembunyi di salah satu gudang tersebut."Kita harus tetap waspada," kata Noah seraya melirik ke sekeliling. "Kalau informasi ini bocor, bisa saja ada orang lain yang sampai di sini lebih dulu."Jasmine menarik napas dalam-dal
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m