Noah menatap layar ponselnya dengan ekspresi gelap. Video yang dikirim seseorang barusan terus berulang dalam pikirannya. Gambar Zora yang sedang berbicara mesra dengan Juan, disertai rekaman suara yang jelas membuktikan pengkhianatan mereka.
Jasmine, yang berdiri di sampingnya, membaca setiap perubahan emosi di wajah pria itu. “Apa yang akan kau lakukan?” tanyanya pelan.
Noah menghela napas dalam, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. “Aku tidak bisa langsung bertindak gegabah. Jika aku menyerang sekarang, mereka akan menyembunyikan bukti lain yang mungkin lebih besar.”
Jasmine mengangguk setuju. “Kita harus memastikan bahwa ini bukan hanya sekadar balas dendam pribadi. Kita perlu menghancurkan mereka dengan bukti yang tidak bisa disangkal.”
Noah menatap Jasmine sejenak sebelum mengangguk. “Mulai sekarang, kita akan bermain lebih cerdas.”
***
Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Zora du
"Kau yakin ini tidak akan menjadi bumerang bagi kita?" Jasmine bertanya dengan nada serius, matanya menatap Noah yang sedang memeriksa kembali perekaman audio yang mereka dapatkan dari gudang tadi malam.Noah menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap dingin. "Mereka sudah terlalu lama bermain di belakang kita. Sekarang saatnya kita mengambil langkah lebih dulu."Jasmine menekan jemarinya ke pelipis, mencoba berpikir lebih jernih. "Zora, Juan, Pradipta… semuanya terhubung. Dan sekarang, kita juga tahu Leonard ada di balik layar. Ini bukan hanya sabotase bisnis, Noah. Mereka mengincar lebih dari itu."Noah menutup laptopnya perlahan. "Aku tahu. Dan justru karena itu, kita tidak bisa membiarkan mereka bergerak lebih jauh. Kita harus menyusun strategi."Jasmine menatap pria itu dalam-dalam, mencari tanda-tanda keraguan di wajahnya, tapi ia tidak menemukannya. Noah sudah mengambil keputusan. Dan begitu pula dirinya.Di tempat lain, Zora b
"Kita tidak bisa membiarkan mereka menang," kata Noah dengan nada tajam. Matanya yang gelap penuh determinasi menatap layar komputer yang menampilkan data dari penyelidikan terbaru.Jasmine duduk di seberangnya, menyilangkan tangan di dada. "Kita harus memastikan langkah kita benar. Jika kita terburu-buru, mereka bisa membalikkan keadaan dan menjebak kita."Noah mengangguk, rahangnya mengencang. "Aku sudah menghubungi beberapa orang kepercayaanku. Kita harus menangkap mereka dengan tangan kosong. Bukan hanya Zora dan Juan, tetapi juga Leonard dan Pradipta."Jasmine menatap layar komputer itu dengan tajam. “Video yang mereka coba sebarkan tentangmu… kita harus memotongnya sebelum sampai ke media.”Noah mengetuk jemarinya di meja, berpikir dalam-dalam. "Aku punya seseorang di dunia media yang bisa membantu kita. Jika mereka mencoba menjatuhkan kita dengan cara ini, kita harus mengendalikan narasi sebelum terlambat."Jasmine menyipi
Langkah kaki Noah terdengar mantap saat ia berjalan memasuki ruang kantornya. Mata tajamnya menyapu seluruh ruangan, memastikan bahwa hanya ada orang-orang kepercayaannya di sana. Jasmine duduk di sisi meja, jemarinya mengetik cepat di laptopnya, memverifikasi ulang rekaman yang mereka dapatkan tadi malam."Semua data sudah kuamankan," kata Jasmine tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Rekaman ini cukup kuat untuk menjatuhkan Leonard dan Pradipta."Noah menarik napas dalam, menatap layar yang menampilkan wajah dua pria yang selama ini menjadi duri dalam dagingnya. "Kita tidak bisa gegabah. Aku ingin semua bukti ini tersusun rapi sebelum kita melangkah lebih jauh."Jasmine mengangguk. "Aku akan menghubungi tim hukum kita. Dengan semua bukti ini, mereka tidak akan bisa mengelak lagi."Tapi sebelum Jasmine sempat melanjutkan pekerjaannya, ponsel Noah bergetar di meja. Ia meraihnya dan membaca pesan yang masuk.“Jangan pikir kalian sudah menang.
Jasmine memandangi layar ponselnya dengan ragu. Pesan misterius yang baru saja masuk masih terpampang jelas di layar:"Aku bisa memberimu bukti, tapi kau harus menemuiku sendirian."Tangannya sedikit gemetar saat ia mengetik balasan. "Di mana?"Beberapa detik berlalu sebelum pesan lain masuk. "Midtown Hotel, lantai 15, kamar 1507. Datang jam 10 malam. Jangan bawa siapa pun."Jasmine menggigit bibirnya. Ini bisa jadi jebakan, tapi nalurinya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa benar-benar menghancurkan Zora, Juan, Leonard, dan Pradipta.Ia menoleh ke arah Noah, yang masih berbicara di telepon dengan ekspresi tegang. Ia tahu Noah tidak akan membiarkannya pergi sendirian. Tapi untuk pertama kalinya, Jasmine merasa bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan sendiri.Dengan cepat, ia mengunci layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Ia sudah men
"Ini tidak akan berakhir begitu saja, Jasmine. Mereka akan menyerang balik."Suara Noah terdengar tegas saat dia menutup laptopnya dengan gerakan mantap. Matanya menatap tajam ke arah Jasmine, yang masih menelusuri laporan investigasi di layar komputernya.Jasmine menghela napas dalam. "Aku tahu. Dan itu berarti kita harus lebih cepat dari mereka. Jika Leonard, Pradipta, dan Zora sedang merencanakan sesuatu, maka kita harus memastikan mereka tidak punya kesempatan untuk menjalankannya."Noah menyilangkan tangannya di dada, rahangnya mengencang. "Leonard bukan orang yang mudah dijatuhkan. Dia licik dan selalu selangkah lebih maju."Jasmine menatapnya dalam-dalam. "Tapi dia bukan satu-satunya yang licik. Kita juga bisa bermain dengan cara mereka."Di apartemennya, Zora berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya dengan ekspresi penuh perhitungan. Di belakangnya, Juan sedang duduk di sofa sambil menyesap segelas anggur."Kau yakin ini ak
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Suara Noah terdengar tajam saat dia meletakkan dokumen di atas meja. Matanya menatap Jasmine dengan intensitas yang sulit diartikan.Jasmine yang duduk di hadapannya menyandarkan punggung ke kursi, jemarinya terlipat di atas meja. "Aku setuju. Tapi kita harus memastikan semua langkah kita sudah benar. Kalau kita terburu-buru, Leonard bisa berbalik menyerang kita."Noah mendesah pelan, lalu mengusap wajahnya. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka bergerak lebih jauh. Zora sudah mencoba menjebakmu. Aku tidak akan membiarkan dia mencoba lagi."Jasmine tersenyum kecil. "Aku tidak akan membiarkan mereka menang, Noah. Kita harus tetap fokus."Noah menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. "Baik. Kita akan memastikan mereka tidak punya kesempatan untuk melawan."Di sisi lain kota, Zora duduk di sebuah bar mewah, menyesap anggur merahnya dengan elegan. Di hadapannya, Leonard duduk dengan tenang,
"Kita harus bergerak sekarang sebelum mereka mendahului kita."Suara Noah terdengar dalam ruangan yang sunyi. Matanya menatap tajam ke arah Jasmine, yang tengah sibuk meneliti dokumen di layar laptopnya.Jasmine mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Aku sudah menghubungi beberapa orang di pihak berwenang. Jika semua berjalan sesuai rencana, dalam waktu 24 jam, Leonard dan Pradipta tidak akan punya tempat untuk bersembunyi."Noah menyilangkan tangannya di dada, ekspresinya tetap tegas. "Aku ingin ini berakhir secepat mungkin. Zora dan Juan juga tidak bisa dibiarkan berkeliaran bebas setelah semua yang mereka lakukan."Jasmine menutup laptopnya dan menatap Noah. "Kita harus memastikan mereka tidak bisa menyusun rencana lain. Jika mereka punya celah, mereka akan menyerang balik."Noah menarik napas dalam. "Itulah kenapa kita harus menyelesaikan ini sekali untuk selamanya."Di tempat lain, Zora menatap layar ponselnya
"Kita tidak punya waktu banyak."Suara Noah terdengar dalam ruangan yang sunyi, nadanya penuh ketegangan. Matanya menatap layar laptop yang menampilkan video rekayasa yang baru saja mereka temukan. Jasmine duduk di sampingnya, ekspresi wajahnya tidak kalah serius."Aku sudah menyebarkan informasi ke beberapa kontak di media. Kita harus memastikan video ini tidak menyebar sebelum kita bisa membuktikan itu palsu," kata Jasmine sambil mengetik cepat di laptopnya.Noah mengetuk jemarinya di atas meja, berpikir cepat. "Leonard dan Zora akan mencoba menjatuhkan kita secepat mungkin. Kita harus membalikkan situasi sebelum mereka mendapatkan kesempatan itu."Jasmine menatap Noah dalam-dalam. "Aku punya ide. Bagaimana jika kita membiarkan mereka berpikir bahwa rencana mereka berhasil? Biarkan mereka merasa percaya diri, lalu kita serang balik dengan bukti yang lebih kuat."Noah tersenyum tipis. "Aku suka caramu berpikir. Tapi kita harus ekstra hati-hati. Ji
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m