"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.
Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.
Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.
Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin.
"Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.
Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya, lalu berlanjut dengan ijab kabul. "Dengan mas kawin berupa tiga gram emas dan uang tunai dua ratus ribu rupiah, saya nikahkan kamu, Noah Rizky Dirgantara, dengan Jasmine Ayu Kartika."
Jasmine menunduk, tangan gemetar di pangkuannya. Kata-kata penghulu tentang mas kawin itu terasa menggema di pikirannya. Hanya tiga gram emas dan dua ratus ribu rupiah, simbol sebuah pernikahan yang baginya lebih terasa seperti transaksi.
Dengan suara tegas, Noah menjawab, "Saya terima nikahnya Jasmine Ayu Kartika dengan mas kawin tersebut, tunai."
Suaranya menembus kesunyian ruangan. Penghulu mengangguk, mencatat sesuatu di dokumen pernikahan, lalu berkata, "Dengan ini, kalian resmi sebagai suami istri."
Tidak ada ucapan selamat. Tidak ada senyuman, bahkan dari Noah. Suasana di ruangan itu terasa dingin, lebih seperti menyelesaikan urusan administrasi daripada sebuah perayaan.
Jasmine tetap duduk di kursinya. Dia tidak mampu berkata apa-apa, hanya merasakan cincin yang baru disematkan di jari manisnya. Cincin itu terasa berat, bukan karena ukuran atau bahannya, tetapi oleh kenyataan yang menyertainya.
“Selamat, sekarang kamu resmi menjadi istriku,” ujar Noah tanpa sedikit pun nada emosi. Dia melirik Zora sejenak, kemudian melangkah keluar tanpa berkata lebih.
Jasmine menghela napas panjang, menatap kosong ke arah lantai. Pikirannya bercampur aduk. Zora mendekatinya perlahan, duduk di sebelahnya.
"Jasmine," katanya dengan nada lembut yang jarang terdengar. "Kamu sudah melakukannya. Tapi ini baru awal."
Jasmine mengangkat wajahnya, memandangi Zora dengan mata berkaca-kaca. "Awal dari apa? Hidup seperti ini?" tanyanya lirih, suaranya hampir pecah.
Zora menarik napas panjang sebelum menjawab, "Awal dari pengorbanan. Kamu tahu tujuan semua ini. Ini untuk nenekmu. Untuk masa depanmu."
Jasmine menelan ludah, merasakan gumpalan emosi di tenggorokannya. Dia tidak yakin apakah alasan itu cukup untuk menghilangkan rasa sesak yang menghimpit dadanya.
"Aku paham," jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa kosong.
Nikmah, yang sedari tadi berdiri diam, akhirnya berdehem pelan. "Maaf, Nona Jasmine, saya ambil berkas ini untuk diserahkan ke pengacara Tuan Noah," katanya sambil mengangkat dokumen pernikahan.
Jasmine hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Paryono, supir pribadi Noah, menatap Jasmine sejenak dengan raut tak terbaca, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya sebelum mengikuti Nikmah keluar.
Setelah mereka pergi, Zora mendekatkan diri lebih jauh. "Jasmine," katanya, mencoba menguatkan suara. "Aku tahu ini berat. Tapi kamu harus bertahan. Jangan sampai rahasia ini bocor. Kalau sampai publik tahu, semuanya bisa berantakan."
Jasmine memejamkan mata sejenak, berusaha mengumpulkan kekuatan. "Aku mengerti, Zora. Aku akan menjaga ini."
"Bagus," jawab Zora dengan anggukan kecil. "Sekarang, coba tenangkan diri. Kamu harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi setelah ini."
Hanya ada keheningan setelah itu. Jasmine menatap cincin di jarinya, mengusapnya perlahan. Kehidupan barunya telah dimulai, tetapi dia masih merasa terperangkap di tempat yang sama tempat di mana mimpinya terhenti, dan kenyataan pahit mengambil alih.
Di luar, suara hujan mulai terdengar. Seolah menambah kelam suasana hari itu, menggema di ruang tamu besar yang kini hanya berisi Jasmine dan bayangan dari keputusan yang telah diambilnya.
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak