Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.
“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.
Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.
“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.
Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.
“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”
Noah tidak menjawab. Dia melangkah lebih dekat, perlahan. Aromaterapi itu sepertinya juga memengaruhinya. Noah terlihat sedikit gelisah, tetapi tetap berusaha menjaga kendali.
”Apa cuacanya panas? Aku akan menaikkan suhunya,” ujar Jasmine bingung dan cangung.
Noah menatapnya sekilas, lalu berkata datar, “Aku di sini hanya untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana Zora. Jangan berpikir macam-macam”
Jasmine menggigit bibirnya, menunduk. “Aku mengerti.”
“Apa kamu takut?” tanya Noah tiba-tiba.
Jasmine mengangkat wajahnya, mencoba membaca ekspresi di wajah Noah. “Aku... aku hanya tidak tahu harus bagaimana.”
Noah menghela napas panjang, mendekati Jasmine. Aromaterapi di ruangan itu mulai memengaruhinya juga. Noah menatap Jasmine dengan pandangan yang sulit dijelaskan bukan marah, tetapi juga bukan lembut.
’Perasaan apa ini , tidak nyaman sekali. Kenapa wajahnya sesekali berubah mirip Zora,’ batin Noah gelisah.
Jasmine yang di tatap intens semakin cangung, bahkan dia sampai menjatuhkan gelas yang berada di tangannya.
”Hati-hati, itu bisa melukaimu, ” ucap Noah yang langsung membersihkan pecahan gelas itu.
” Ma-af,” jawab Jasmine lirih nyaris berbisik.
Pria itu nampak tampan, tapi Jasmine sadar kalau dia hanya bermain peran saat ini, hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai Ibu penganti, untuk keturunan Dirgantara.
“Dengar,” katanya dengan suara rendah. “Aku tidak ingin melakukan apapun malam ini. Kalau bukan karena Zora, aku tidak akan pernah ada di sini bersamamu.”
Jasmine terdiam, mencoba mencerna kata-kata Noah. Hatinya sakit, tetapi dia sudah tahu bahwa pernikahan ini bukan tentang cinta. Dia hanya harus melahirkan penerus Dirgantara corp.
“Aku tahu,” Jasmine akhirnya menjawab pelan. “Aku juga tidak pernah menginginkan semua ini.”
Noah menatapnya lebih lama, lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar getir. “Ironis, bukan? Kita menikah, tapi sama-sama terjebak.”
Jasmine hanya mengangguk, merasa kata-kata tak akan ada gunanya. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur, merasa dadanya sesak. Noah tetap berdiri di sana, memandangnya tanpa bicara.
“Kalau begitu, kenapa kamu di sini?” tanya Jasmine akhirnya, memecah keheningan.
Noah mendekat, berdiri di depan Jasmine. “Karena ini bagian dari kesepakatan. Aku harus memainkan peran, Jasmine. Sama seperti kamu.”
“Aku mengerti,” Jasmine mengulangi, meski suaranya nyaris tak terdengar. Dia seperti tidak bisa bernapas saat Noah berdiri di hadapannya.
Noah kemudian duduk di sofa. Dia menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar.
“Kamar ini aneh,” katanya, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Aromanya terlalu kuat. Membuatku... tidak nyaman.”
Jasmine mengangguk kecil. “Aku juga merasakannya.”
Keheningan kembali mengisi ruangan. Jasmine merasa tubuhnya semakin berat, seperti dipaksa menyerah pada keadaan. Noah memejamkan matanya sejenak, lalu bangkit berdiri.
“Tidurlah,” katanya singkat. “Aku tidak akan melakukan apa pun.”
Namun, saat Noah hendak melangkah pergi, dia berhenti. Wangi aromaterapi semakin memengaruhinya dan ketegangan di antara mereka kembali terasa. Noah berbalik, menatap Jasmine dengan pandangan yang sulit dijelaskan.
“Noah...” Jasmine memanggilnya dengan suara pelan, tetapi Noah tidak menjawab.
Noah mendekat, tangannya menyentuh pipi Jasmine dengan lembut. “Aku tidak menginginkan ini,” katanya lagi, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Jasmine merasa tubuhnya gemetar, tetapi ia tidak bergerak menjauh. “Aku tahu,” jawabnya pelan.
“Tapi semuanya terasa... salah.” Noah melanjutkan kata-katanya. Sentuhan lembut itu mendarat di bibir Jasmine.
Jasmine menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Namun, wewangian di kamar itu seolah semakin membuatnya kehilangan kendali. Noah juga tampaknya terpengaruh.
“Noah...” Jasmine berbisik pelan.
“No,” potong Noah, suaranya berat. Tetapi dia tidak menjauh. Sebaliknya, tangannya terulur, menyentuh Jasmine lebih dalam. Sentuhan itu seperti sengatan listrik bagi keduanya.
“Aku tidak ingin ini,” Noah berbisik, tetapi tubuhnya berkata sebaliknya. Sentuhannya perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih intens. Jasmine mencoba menolak, tetapi dirinya juga kalah oleh situasi.
“Noah, ini salah,” kata Jasmine dengan suara bergetar. Namun, dia tidak bergerak untuk menjauh.
“Mungkin,” jawab Noah singkat.
Dan dalam sekejap, ketegangan di antara mereka pecah. Malam itu, di bawah tekanan kewajiban, rasa bersalah dan aroma wewangian yang menguasai ruangan, mereka terlibat dalam hubungan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, sebuah hubungan intim.
’Aku sudah melepas keperawananku,’ batin Jasmine. Air matanya mengalir mewakili perasaaan yang sakit.
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak