Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.
”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.
Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.
Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.
“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.
Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.
Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”
“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”
Jasmine duduk di samping Zora, lalu mengeluarkan ponselnya. Ada pesan dari kampus, konfirmasi pembayaran uang kuliah. Satu masalah selesai. Kuliahnya aman. Tapi perasaan cemasnya malah makin menggebu.
Beberapa saat kemudian, perawat masuk ke ruangan. Jasmine langsung menghampirinya. “Permisi, bagaimana kondisi nenek saya?”
Perawat itu tersenyum tipis, namun matanya penuh empati. “Kami masih memantau kondisi nenek Anda. Kami akan terus memberikan perawatan intensif. Tapi saat ini, kami hanya bisa berharap semoga kondisinya lebih baik lagi, agar bisa segera di lakukan operasi.”
Jasmine mengangguk pelan, merasa sedikit lega meski masih banyak yang mengganggu pikirannya.
"Kak Zora, biaya kuliahku udah beres, kan?" tanya Jasmine, suara sedikit gugup meski tahu jawabannya.
Zora melirik ponselnya sejenak, lalu mengangguk. “Udah. Semua udah diurus, kamu gak perlu khawatir soal itu lagi.”
Jasmine menghela napas, sedikit lega meski hatinya masih merasa ada yang hilang. "Aku nggak tahu, kak Zora... aku cuma... bingung."
Zora menoleh, matanya serius. “Aku tahu kamu berat, Jas. Kamu nggak sendirian. Tapi ini demi nenekmu. Jangan lupakan itu dan aku berterima kasih sekali.”
Jasmine menatap neneknya, lalu mengalihkan pandangan ke lantai. “Aku ngerasa kayak... ngerampok kebahagiaan aku sendiri. Apa ini keputusan yang bener?”
Zora menarik napas. “Kadang kita harus ambil keputusan yang nggak mudah. Tapi kamu ngelakuin ini untuk yang kamu sayang, bukan buat diri sendiri doang. Kamu harus yakin.”
Jasmine diam, memikirkan kata-kata Zora. Semua yang terjadi terlalu cepat. Kontrak pernikahan, biaya kuliah dan yang paling penting dan mendesak, nenek yang makin menurun kondisinya.
“Kak Zora, aku...” Jasmine ragu sejenak. "Aku nggak tahu harus gimana lagi. Rasanya kayak semuanya udah ditentuin tanpa aku bisa milih."
Zora mengangguk pelan, memahami kekacauan di pikiran Jasmine. “Aku tahu. Aku juga ngerasain itu. Tapi kamu pasti bisa, Jas. Kita semua bisa lewat ini bareng-bareng."
Jasmine menatap neneknya lagi, hati semakin sesak. “Aku bakal lakukan yang terbaik, kak Zora... Tapi, ini nggak akan pernah sama. Aku nggak tahu bakal gimana setelah pernikahan itu.”
Zora tersenyum tipis. “Jasmine, kamu bakal kuat. Percaya deh. Semua bakal beres kalau kamu sabar. Kamu cuma butuh waktu buat beradaptasi.”
“Semoga aja,” jawab Jasmine, pelan.
Setelah beberapa saat, mereka terdiam. Jasmine merasakan setiap detik di rumah sakit itu makin menekan. Setiap suara, setiap gerakan terasa terlalu cepat, sementara waktu baginya seolah berhenti.
“Kak Zora, apa kamu yakin ini semua pilihan yang bener?” Tanya Jasmine dengan nada sedikit ragu.
Zora menatapnya dengan penuh perhatian. “Jas, ini bukan soal yang bener atau salah. Kamu pilih ini karena kamu sayang sama orang yang kamu cintai. Jangan ngerasa salah terus, kamu sudah tanda tangan kontrak dan ingat Noah tidak akan merubah keputusan begitu saja.”
Jasmine cuma bisa mengangguk. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa mundur. Dia tak punya pilihan.
“Ya sudah,kak Zora... aku cuma berharap semuanya nggak hancur,” kata Jasmine, dengan suara serak.
Zora menepuk bahunya, memberi sedikit penghiburan. “Gak ada yang akan hancur, Jas. Kamu gak sendirian.”
Jasmine memandang neneknya satu kali lagi. Entah kenapa, dia merasa terjebak dalam waktu yang penuh keputusan sulit. Semua yang dilakukannya sekarang, seperti memilih antara yang benar atau salah.
"Jasmine, bersiaplah," kata Zora pelan, tetapi suaranya terdengar penuh kecemasan. Jasmine hanya mengangguk lemah, seolah separuh jiwanya tidak berada di sana.Pernikahan itu berlangsung cepat dan tanpa gegap gempita. Jasmine duduk di kursi kayu yang terasa dingin, matanya kosong memandangi penghulu yang sibuk mempersiapkan prosesi ijab kabul. Di sudut ruang tamu, Zora terlihat gelisah, sesekali meremas jemarinya sendiri.Dua saksi, Nikmah dan Paryono, berdiri di dekat meja penghulu. Mereka terlihat seperti dua orang asing yang terjebak dalam adegan yang bukan milik mereka. Jasmine bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya, hanya nama mereka yang disebut Zora tadi pagi.Noah berdiri di depannya, tubuh tegap dan wajah datar tanpa ekspresi. Dia tidak mencoba menenangkan Jasmine atau berbasa-basi, hanya memberikan kesan tegas dan sedikit dingin."Kita mulai," katanya singkat, suaranya seperti perintah yang tak terbantahkan.Penghulu mengawali prosesi dengan doa pembuka. "Bismillahirrahman
Malam itu terasa hening. Jasmine melangkah masuk ke kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Zora. Rumah di kompleks perumahan Raflesia Hill itu terlihat megah, tetapi Jasmine merasa kecil dan terasing di dalamnya.“Kamar ini... terlalu mewah,” gumam Jasmine, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, suaranya terdengar bergetar.Kamar itu cukup luas, dengan dekorasi yang elegan. Wangi aromaterapi memenuhi udara, campuran lavender dan melati yang begitu kuat hingga membuat kepala Jasmine sedikit ringan. Cahaya lampu temaram memantul dari dinding krem, menciptakan suasana yang aneh, hampir seperti mimpi.“Noah akan datang,” gumamnya pelan. Hatinya berdebar kencang.Saat Jasmine duduk di tepi tempat tidur, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Noah masuk dengan langkah tenang, tetapi ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Jasmine langsung berdiri, merasa canggung.“Noah...” Jasmine mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana.”Noah tidak menjawab. Dia
Jasmine duduk di tepi ranjang, tangannya memeluk lutut. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya kacau. Mata Jasmine memejam mengingat tubuh Noah yang bergerak di atasnya semalam.”Zora!” Suara Noah memangil istrinya membuat Jasmine merasa kotor dan bersalah.Saat Jasmine menyentuh bibirnya terasa benar lembut sentuhan dari Noah, yang membuatnya tengelam kembali dalam keintiman dan rasa sakit.”Jangan bergerak aku hampir selesai,” ucap Noah, yang setelahnya di ikuti erangan terngiang di benak Jassmine. Membuat Jasmine mengingat jeritan dan rasa aneh yang pertama kali dia rasakan seumur hidupnya.Jasmine mendongak, memandang ke sekeliling kamar pengantin yang sunyi. Hanya sisa aroma melati dari malam sebelumnya yang mengingatkannya pada apa yang telah terjadi.Pintu kamar terbuka perlahan. Jasmine menoleh dengan cepat dan di sana berdiri Noah, dengan kemeja yang sebagian terbuka dan wajah dingin seperti biasanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan menuju meja di dekat ranjang, meng
“Ugh!”Jasmine masih merasa sakit di sekujur badannya, padahal waktu sudah berlalu berhari-hari. Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Jasmine.Setiap pagi dimulai dengan rutinitas yang sama: bangun, sarapan sendirian, dan menunggu kabar dari Zora atau Noah. Rumah besar itu terasa seperti penjara yang mewah, dengan tembok-temboknya yang dingin dan sunyi.“Aku bosan, mana aku belum waktunya kuliah. Kapan liburan semester ini berakhir,” gumamnya lebih memprotes diri sendiri.Pagi itu, Jasmine memutuskan untuk menghubungi rumah sakit. Dengan hati-hati, dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur dan mengetik nomor rumah sakit. Setelah beberapa dering, suara ramah dari seorang perawat terdengar di seberang telepon.Perawat: "Selamat pagi, Rumah Sakit RSUP Candra Mulia, ada yang bisa saya bantu?"Jasmine: (menarik napas dalam sebelum berbicara) "Selamat pagi, Sus. Saya Jasmine Ayu Kartika, keluarga pasien Cahaya Dewi. Nenek saya sedang dirawat di ruang ICU. Saya ingin
Malam itu, Jasmine memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Noah. Dia tahu pria itu mungkin akan mengabaikannya, tetapi dia tidak ingin menyerah untuk mencoba.Noah membuka pintu, tampak terkejut melihat Jasmine berdiri di sana. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan nada dingin."Aku hanya ingin berbicara. Tidak lama," kata Jasmine dengan nada memohon.Noah menghela napas dan membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan agar Jasmine masuk. Ruang kerja itu besar dan penuh dengan rak buku, tetapi suasananya terasa sama dinginnya dengan Noah."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Noah sambil duduk di kursi kerjanya.Jasmine duduk di seberang meja, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku ingin tahu... apakah kita bisa mencoba menjalani ini dengan lebih baik? Maksudku, aku tahu ini semua adalah perjanjian, tapi aku ingin hubungan kita tidak terlalu tegang. Seperti manusia pada umumnya."Noah menatapnya lama sebelum menjawab. "Kamu ingin hubungan ini menjadi lebih baik? Jasmine, ini bu
”Nyonya mau sarapan apa?” tanya Nikmah.Pagi itu, Jasmine duduk di meja makan, menikmati teh hangat yang disiapkan oleh Nikmah. Sinar matahari masuk melalui jendela besar di dapur, tetapi hatinya masih terasa berat.”Nasi goreng boleh,” jawab Jasmine singkat.Dia memikirkan percakapannya dengan Noah tadi malam, serta kejadian kecupan Noah yang membuat wajahnya memerah. Meski sedikit lega, dia merasa hidupnya masih seperti berada di persimpangan tanpa arah.’Untung saja dia melepas tubuhku, sebelum matanya terbuka,’ ujarnya dalam hati sambil tersenyum simpul.Banyak hal yang Jasmine pikirkan, terutama rasa bosan. Saat ini dia masih libur kuliah. Satu hal yang jelas dalam pikirannya. dia tidak bisa terus berdiam diri di rumah ini.Jasmine adalah seorang mahasiswi yang terbiasa aktif. Menghabiskan hari-harinya tanpa tujuan membuatnya merasa sepert
Dua hari kemudian, Jasmine melangkah masuk ke gedung Dirgantara Corp, perusahaan milik Noah yang terkenal sebagai salah satu konglomerasi terbesar di negara itu.Bangunan megah dengan dinding kaca dan lantai marmer mengintimidasinya, tetapi dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.’Semangat Jasmine, ini hari pertamamu. Kamu bisa melakukan yang terbaik. Fighting!’ batinnya menyemangati diri.Di lobi, seorang wanita berpakaian rapi menyambutnya. "Selamat pagi, Nona Jasmine. Perkenalkan Saya Astin Sekertaris Tuan Noah.” Astin Mengulurkan tangan yang di balas jabatan tangan itu oleh Jasmine dengan senyuman.Jasmine sudah membuat janji dengan wanita itu, satu hari sebelumnya. Bermodal nomor kontak yang di kirim Noah, hanya tentang dia bekerja di Dirgantara Corp. belum di ketahui oleh Zora.”Tuan Noah telah memberi tahu saya ten
“Jasmine, kamu oke?” suara Tania, rekan satu divisinya, memecah lamunannya. Tania menatapnya dengan ekspresi khawatir. “Wajah kamu pucat banget. Sakit ya?”Langkah kaki Jasmine terasa berat saat keluar dari lift. Aroma kopi dari pantry bercampur dengan suara riuh rendah percakapan rekan-rekannya di divisi pemasaran.Jasmine berusaha memaksakan senyum tipis, meskipun pikirannya masih terguncang oleh percakapan dengan Noah di lift tadi.Jasmine menggeleng cepat, mencoba menguasai dirinya. “Enggak kok, aku cuma kurang tidur tadi malam,” jawabnya sambil meletakkan tas di meja kerjanya.“Kalau gitu, istirahat dulu aja deh. Tapi ingat, ada rapat sore ini,” kata Tania sebelum kembali ke mejanya.Jasmine terkejut mendengar itu. “Rapat? Hari ini?” tanyanya bingung.Tania mengangguk sambil memandang Jasmine dengan heran. “Iya, bener. Biasanya sih karyawan baru cuma but
Jasmine duduk di balkon rumah besar mereka, menghadap langit yang mulai meredup dengan nuansa jingga keemasan. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, namun perasaan di dalam hatinya masih jauh dari tenang. Setiap keputusan yang dia buat dalam beberapa hari terakhir terasa penuh dengan ketegangan, seperti mencoba menavigasi jalan sempit di antara jurang. Semua perasaan itu bersaing dalam dirinya—rasa cinta, kemarahan, kebingungannya, dan kerinduan akan ketenangan.Dia menatap ke depan, merasa seolah dirinya sedang berada di persimpangan jalan, dan tidak tahu arah mana yang harus dipilih.Ponselnya bergetar di saku celananya. Dengan enggan, dia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Noah muncul di layar. Dia sudah tahu, ini pasti pesan dari Noah. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada campuran antara keraguan dan harapan dalam suara Noah. Tetapi, Jasmine masih merasa perlu waktu untuk mengurai perasaannya sendiri.Pesan Noah kali ini tidak panjang, hany
Sore itu, saat dia kembali ke rumah, Noah sedang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Ketika Jasmine masuk, dia langsung berdiri dan berjalan mendekat, namun langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi di wajah Jasmine.“Kamu kembali,” Noah berkata, nada suaranya terdengar cemas. “Jas, apakah—”“Aku butuh waktu,” kata Jasmine cepat, memotong kalimat Noah. “Aku masih belum bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. Aku… aku bingung, Noah.”Noah mengangguk, meskipun ada rasa sakit yang jelas di wajahnya. “Aku paham, Jas. Aku nggak bisa memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menunggu apapun keputusan yang kamu ambil.”Jasmine menghela napas panjang, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Dia melihat rerumputan hijau yang tumbuh rapi, seperti semuanya tampak sempurna. Na
“Jas, aku—” Noah berhenti sejenak, seolah kata-kata itu sulit keluar. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Keluargaku punya sejarah yang rumit. Ada begitu banyak hal yang terjadi, dan aku nggak ingin kamu terjebak dalam semua ini. Aku hanya ingin kita berdua bahagia.”Jasmine menunduk, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya. “Tapi, aku berhak tahu, Noah. Aku berhak tahu siapa aku sebenarnya. Apa yang terjadi di masa lalu itu nggak bisa terus disembunyikan.”Noah berjalan mendekat, berusaha meraih tangannya, namun Jasmine menarik tangannya. “Jas, tolong. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku ingin kita tetap bersama, tapi aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan ini dengan keluarga.”Jasmine merasakan dada terasa sesak. “Tapi aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kamu bilang aku bagian dari keluargamu, tapi ternyata ada banyak hal yang tidak pernah kamu ceritakan
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti