Jasmine melangkah cepat menuju rumah sakit, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya penuh dengan satu tujuan, neneknya. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia ada di pundaknya.
”Aku harus ke rumah sakit,” gumamnya lirih.
Jasmine merasa seperti melangkah dalam mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.
Sesampainya di ruang ICU, Jasmine langsung melihat Zora duduk di kursi dekat ranjang neneknya. Wajah Zora tampak lelah, matanya sembab, seperti habis menangis.
“Kamu datang juga, Jas?” suara Zora terdengar berat, meskipun ada senyum tipis yang muncul.
Jasmine hanya mengangguk pelan, melangkah mendekat ke ranjang neneknya. Tubuh nenek yang biasanya penuh semangat itu kini terbaring lemah, hanya alat-alat medis yang berbunyi di sekelilingnya.
Jasmine menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Gimana, kak Zor? Dokter bilang apa?”
“Masih belum ada perubahan. Kita cuma bisa nunggu,” jawab Zora, menatap nenek. “Aku cuma bisa bantu dengan cara ini, Jas. Gak bisa apa-apa lagi.”
Jasmine duduk di samping Zora, lalu mengeluarkan ponselnya. Ada pesan dari kampus, konfirmasi pembayaran uang kuliah. Satu masalah selesai. Kuliahnya aman. Tapi perasaan cemasnya malah makin menggebu.
Beberapa saat kemudian, perawat masuk ke ruangan. Jasmine langsung menghampirinya. “Permisi, bagaimana kondisi nenek saya?”
Perawat itu tersenyum tipis, namun matanya penuh empati. “Kami masih memantau kondisi nenek Anda. Kami akan terus memberikan perawatan intensif. Tapi saat ini, kami hanya bisa berharap semoga kondisinya lebih baik lagi, agar bisa segera di lakukan operasi.”
Jasmine mengangguk pelan, merasa sedikit lega meski masih banyak yang mengganggu pikirannya.
"Kak Zora, biaya kuliahku udah beres, kan?" tanya Jasmine, suara sedikit gugup meski tahu jawabannya.
Zora melirik ponselnya sejenak, lalu mengangguk. “Udah. Semua udah diurus, kamu gak perlu khawatir soal itu lagi.”
Jasmine menghela napas, sedikit lega meski hatinya masih merasa ada yang hilang. "Aku nggak tahu, kak Zora... aku cuma... bingung."
Zora menoleh, matanya serius. “Aku tahu kamu berat, Jas. Kamu nggak sendirian. Tapi ini demi nenekmu. Jangan lupakan itu dan aku berterima kasih sekali.”
Jasmine menatap neneknya, lalu mengalihkan pandangan ke lantai. “Aku ngerasa kayak... ngerampok kebahagiaan aku sendiri. Apa ini keputusan yang bener?”
Zora menarik napas. “Kadang kita harus ambil keputusan yang nggak mudah. Tapi kamu ngelakuin ini untuk yang kamu sayang, bukan buat diri sendiri doang. Kamu harus yakin.”
Jasmine diam, memikirkan kata-kata Zora. Semua yang terjadi terlalu cepat. Kontrak pernikahan, biaya kuliah dan yang paling penting dan mendesak, nenek yang makin menurun kondisinya.
“Kak Zora, aku...” Jasmine ragu sejenak. "Aku nggak tahu harus gimana lagi. Rasanya kayak semuanya udah ditentuin tanpa aku bisa milih."
Zora mengangguk pelan, memahami kekacauan di pikiran Jasmine. “Aku tahu. Aku juga ngerasain itu. Tapi kamu pasti bisa, Jas. Kita semua bisa lewat ini bareng-bareng."
Jasmine menatap neneknya lagi, hati semakin sesak. “Aku bakal lakukan yang terbaik, kak Zora... Tapi, ini nggak akan pernah sama. Aku nggak tahu bakal gimana setelah pernikahan itu.”
Zora tersenyum tipis. “Jasmine, kamu bakal kuat. Percaya deh. Semua bakal beres kalau kamu sabar. Kamu cuma butuh waktu buat beradaptasi.”
“Semoga aja,” jawab Jasmine, pelan.
Setelah beberapa saat, mereka terdiam. Jasmine merasakan setiap detik di rumah sakit itu makin menekan. Setiap suara, setiap gerakan terasa terlalu cepat, sementara waktu baginya seolah berhenti.
“Kak Zora, apa kamu yakin ini semua pilihan yang bener?” Tanya Jasmine dengan nada sedikit ragu.
Zora menatapnya dengan penuh perhatian. “Jas, ini bukan soal yang bener atau salah. Kamu pilih ini karena kamu sayang sama orang yang kamu cintai. Jangan ngerasa salah terus, kamu sudah tanda tangan kontrak dan ingat Noah tidak akan merubah keputusan begitu saja.”
Jasmine cuma bisa mengangguk. Satu hal yang pasti, dia tidak bisa mundur. Dia tak punya pilihan.
“Ya sudah,kak Zora... aku cuma berharap semuanya nggak hancur,” kata Jasmine, dengan suara serak.
Zora menepuk bahunya, memberi sedikit penghiburan. “Gak ada yang akan hancur, Jas. Kamu gak sendirian.”
Jasmine memandang neneknya satu kali lagi. Entah kenapa, dia merasa terjebak dalam waktu yang penuh keputusan sulit. Semua yang dilakukannya sekarang, seperti memilih antara yang benar atau salah.
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak