“Kin, udah selesai?” Kinara terkesiap karena ketahuan menguping, dia mengangguk dengan canggung dan melanjutkan langkah menghampiri anak dan ibu yang semula membicarakannya. Ibu Gavin terlihat sama terkejutnya dengan dia, perempuan paruh baya itu beranjak dan tersenyum hangat. “Makan malam di sini ya?” Pandangan Kinara beralih pada Gavin yang tersenyum lembut sembari mengangguk, karena merasa harus menghargai Ibu Gavin, pada akhirnya Kinara mengangguk setuju. Meskipun beberapa jam yang lalu dia mengunjungi sebuah restoran dengan menu yang luar biasa enak, nyatanya dia sudah menghabiskan banyak tenaga untuk melawan para pria jalanan di gang sempit tadi, Kinara juga tidak bisa menikmati makan malamnya dengan Dipta ketika isi kepalanya penuh sekali. “Ibu baru aja bikin rendang loh,” ungkap Ibu Gavin. “Wah, kayaknya Ibu jago masak ya?” tanya Kinara, air liurnya nyaris menetes melihat makanan yang tersaji di meja makan. Wanita paruh baya itu terkekeh. “Kalau kamu mau belajar masak, b
Setelah malam-malam panjang yang membuatnya terlelap dalam dekapan hangat Dipta, Kinara terbangun dalam kondisi kurang baik, kepalanya pusing, dia merasakan tubuhnya hangat. Perempuan itu terduduk di atas tempat tidur, berusaha mengumpulkan nyawa selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia mendengar suara bising dari luar kamar, Kinara memutuskan untuk segera beranjak. Langkah kecilnya membawa Kinara menuju dapur, dia melihat suaminya mondar-mandir di sana, memindahkan beberapa mangkuk ke atas meja makan. “Kamu lagi apa?” Dipta menoleh ke belakang dan tersenyum lembut, Kinara sempat tertegun menyaksikan senyum sehangat matahari pagi muncul di wajah suaminya. Ini terasa bagai mimpi karena biasanya Dipta tidak seperti ini. “Duduk, Kin,” perintah pria itu sambil menaruh dua gelas air putih ke atas meja makan. Kinara berjalan ragu dan duduk di hadapan suaminya, matanya menatap awas ke arah Dipta dengan kening yang berkerut dalam. Dipta membalas tatapan Kinara dengan sorot mata lembut
Suara berdecak bisa ditangkap jelas oleh telinga Kinara, setelahnya dia lihat Dipta bergerak menjauh dari tubuh Kinara, meraih kembali pakaiannya yang baru beberapa menit terlepas dari tubuh dan mengenakannya kembali.Melihat hal itu, Kinara mengulum senyum. Tak dia pedulikan lagi suhu tubuhnya yang masih tinggi, lagi pula Kinara tak yakin tujuan Dipta melakukan metode skin to skin ini apakah murni untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya, atau justru modus semata. Satu hal yang bisa dia sadari adalah Dipta yang mulai goyah.“Gak jadi bantuin aku, Mas?” goda Kinara. Dipta segera bangkit dan melangkah menuju pintu kamar Kinara. “Enggak, kayaknya metode ini gak efektif buat kamu.”Sekeras tenaga Kinara menahan tawa. “Gak efektif menurunkan suhu tubuhku, tapi malah bikin kamu panas, ‘kan, Mas?”Pria itu berdeham dan buru-buru meninggalkan istrinya yang sudah tak lagi bisa menahan tawa, Kinara puas sekali melihat Dipta yang tampak canggung. Tak berselang lama, belum juga tawa Kinara mere
“Keluar, kamu tidur di kamar lain,” usir Dipta dengan nada suara dan ekspresi wajah yang begitu datar. Kedua mata Kinara langsung melebar. “Apa maksudnya, Mas? Kita tidak tidur di dalam satu kamar?” Dipta melengos. “Ini kamarku, kamu tidur di kamar lain,” ulang Dipta, masih dengan ekspresi yang sama. Kinara melayangkan tatapan penuh tanya kepada suaminya. “Kita baru saja menikah, kenapa harus pisah kamar?” “Karena aku tidak mau tidur denganmu,” jawab Dipta, dia segera meraih gagang koper berukuran dua puluh delapan inci milik Kinara dan membawanya keluar dari kamar utama. Kinara yang melihat pergerakan Dipta lantas mengikutinya dengan tergesa-gesa, langkah lebar pria itu mengarah pada salah satu kamar yang ada di apartemen tersebut. Dipta membuka pintunya lebar-lebar dan menaruh koper Kinara di sana. Setelah itu dia berbalik dan menemukan Kinara yang sudah berdiri di dekatnya. “Mulai dari sekarang, ini kamarmu.” Pandangan Kinara mulai memperhatikan kamar itu, sebenarnya masih sa
"Selamat pagi, Suamiku!" seru Kinara, dilihatnya Dipta melintasi dapur dan bergerak menuju mesin kopi, pria itu mengabaikan Kinara yang sudah begitu heboh di pagi hari ini. "Mas, aku buatkan sarapan yang enak pagi ini,” lanjut Kinara. Sejak kejadian kemarin, Kinara telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menunjukkan kesedihannya pada Dipta. Mulut Dipta masih bungkam, pria itu sibuk sendiri dengan mesin kopinya. Merasa tetap diabaikan, Kinara mulai memanggil, "Mas?" Pria itu langsung berdecak. "Apa?" "Dari tadi kamu tidak mendengar aku sedang berbicara dengan kamu?" Tatapan tajam milik Dipta kini mengarah kepada Kinara yang sedang memasak nasi goreng spesial andalannya. "Tidak penting," jawab Dipta sambil meraih cangkir berisi kopi racikannya dan pergi begitu saja meninggalkan dapur, membuat Kinara mematung di tempat. Kinara hanya bisa menatap nasi goreng buatannya dengan hampa. Dipta memilih untuk duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa sesuatu d
Jari jemari Kinara mengetuk meja panjang yang dia tempati dengan irama tidak menentu, tatapan matanya kosong meskipun mengarah pada layar laptop yang masih menyala. Suara berisik rekan kerjanya bahkan tak mampu membuat lamunan Kinara buyar, wanita itu terlalu asik dengan isi kepalanya yang hanya berisikan soal Dipta. "Kin, data hasil penjualan minggu lalu udah diinput, 'kan?" Mela—sahabat sekaligus rekan kerjanya mulai bertanya. Merasa tak kunjung mendengar jawaban dari Kinara, Mela lantas menoleh dan memperhatikan sahabatnya itu yang malah melamun. "Kin?" Wanita yang hari ini mengenakan kemeja berwarna tosca itu terkesiap, dia menoleh dan bersitatap dengan Mela yang menatapnya penuh rasa curiga. "Kenapa, Mel?" Mela berdecak. "Ada apa denganmu, Kin? Sedih karena tiba-tiba tidak jadi cuti?" Kepala Kinara menggeleng. "Bukan, memang aku yang mau berangkat bekerja hari ini." "Aku sebenarnya curiga, kamu bilang ada acara di panti sejak kemarin, dan itu mengharuskan kamu untuk cuti. T
Pada malam harinya, Kinara tampil memukau untuk melancarkan aksinya agar Dipta mau sedikit melunak, dia mengenakan pakaian minim yang diyakini bisa mengundang keinginan terpendam pria itu. Meskipun merasa tidak terbiasa, Kinara berusaha melakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang terkesan dingin dan datar, Kinara tak bisa hidup seperti ini untuk waktu yang lama, dia harus membuat perubahan besar. Sudah berkali-kali wanita itu melirik jam dinding yang terus berdetak, menunjukkan bahwa waktu sudah semakin malam. Dia berdecak keras dan mulai menghubungi Dipta, masa bodoh jika pria itu akan marah karena Kinara lancang menghubunginya. Panggilan itu tidak kunjung dijawab, sampai Kinara berkali-kali menghubungi Dipta tanpa mau menyerah. Akhirnya pada percobaan kelima, panggilan tersebut baru dijawab. “Halo, Kinara?” “Ya, ini siapa?” Suara itu terdengar asing di telinga Kinara, terlebih suara berisik di seberang telepon membuat Kinara tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Aku Gavi
Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya. Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik. Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya. Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang