Share

Bab 5. Kemarahan Seorang Istri

Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya.

Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik.

Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya.

Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang tidak berniat untuk menghindar, lalu gadis itu dengan sengaja membuang muka dan melepaskan apronnya.

“Bangun dan mandi, habis itu kamu sarapan agar pengarmu segera hilang.”

Setelah mengucapkan kalimat perintah itu, Kinara melewati ruang tamu tanpa melirik Dipta sama sekali, dia berjalan menuju kamarnya, lalu bersiap untuk pergi ke kantor. Pikirannya masih kacau, dia masih merasa penasaran pada nama yang disebut suaminya semalam, itu sebabnya pagi ini Kinara tidak berniat untuk berpura-pura baik-baik saja, dia akan menunjukkan rasa kesalnya kepada Dipta.

Selang beberapa menit, Kinara kembali ke meja makan sambil membawa tas kerja berwarna hitam yang sudah dia gunakan selama bertahun-tahun, awet sekali seperti rasa cintanya untuk Dipta yang malah membayangkan wanita lain.

Dilihatnya Dipta sudah terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya, pria itu duduk di atas meja makan sambil memperhatikan sup ayam buatan Kinara, sesekali dia memijat keningnya yang pasti terasa begitu pening.

Kinara mengambil langkah dan duduk di hadapan pria itu. “Aku tahu kamu tidak suka makan sarapan yang berat, tapi hari ini aku harus memaksamu untuk memakan masakanku, salah sendiri kenapa semalam berani mabuk berat.”

Dipta tidak memberikan balasan sama sekali, dia merasa tidak punya tenaga untuk itu, sehingga terpaksa menyuapkan sup ayam yang tampak menggugah selera itu ke dalam mulutnya.

Kedua mata Dipta yang tadinya tampak sayu terlihat melebar, dia bisa merasakan bagaimana nikmatnya kala sup itu menyentuh lidahnya, rupanya kemampuan memasak Kinara patut diacungi jempol.

Mata sehitam jelaga milik Dipta kini mengarah kepada Kinara yang menikmati sarapan dengan tenang, sesekali gadis itu mengusap bibirnya menggunakan tissue, membuat Dipta merasa dejavu akan sesuatu yang tidak bisa dia ingat dengan jelas.

Lalu dia beralih memperhatikan tas Kinara di atas kursi, tepatnya di samping gadis itu. “Beli tas baru pakai kartu ATM kemarin,” perintahnya, itu merupakan kalimat pertama yang dia ucapkan pagi ini.

Kinara meneguk air minumnya sampai tandas, lalu mendelik ke arah suaminya. “Kenapa? Tasku masih bagus.”

“Itu terlihat usang.”

Gadis itu mendengkus. “Kalau begitu jangan terkejut, aku akan beli tas mahal menggunakan uangmu.”

Dipta mengedikkan bahu, terlihat tidak peduli. “Ngomong-ngomong kamu belajar memasak di mana?”

“Kenapa?” todong Kinara, ekspresi sinis kembali muncul di wajah cantiknya.

Sambil menyuapkan satu sendok sup berikutnya, Dipta berucap, “Tidak enak, kemampuan memasakmu payah sekali.”

Kinara mengernyit, dia memperhatikan isi mangkuk sup Dipta yang tinggal tersisa sedikit, apa yang pria itu katakan tampak berlawanan dengan apa yang Kinara lihat sekarang.

Gadis itu berdecak. “Habis ini minum obat,” katanya sambil mengeluarkan sebuah obat dari dalam tasnya.

Pria bertubuh atletis yang hari ini mengenakan kemeja slim fit berwarna biru langit itu kini memperhatikan obat tersebut, terasa jelas bahwa Kinara begitu memperhatikan dan peduli kepadanya, Dipta saja yang terlalu bebal dan sulit menerima kehadiran gadis itu di dalam hidupnya.

“Berhenti peduli kepadaku, itu sangat membebani aku.” Tatapan tajam Dipta kembali muncul, dia bersitatap dengan Kinara yang tidak terlihat takut sama sekali kepadanya.

Kinara tersenyum mengejek. “Lalu seharusnya siapa yang peduli kepadamu jika bukan aku? Aku ini istrimu, wajar saja kalau aku peduli.” Ada kekehan sinis yang muncul sebelum Kinara bertanya, “Kamu lebih suka kalau yang peduli kepadamu itu seorang perempuan bernama Maura?”

Rahang Dipta mengeras, dia menyimpan sendoknya dengan gerakan kasar, lalu melayangkan tatapan tidak suka ke arah istrinya. “Tahu dari mana kamu soal dia?”

Raut wajah Kinara juga ikutan berubah, bercampur antara terluka dan juga amarah yang menumpuk. “Dari mulutmu sendiri. Semalam, di sofa panjang itu,” katanya sambil mengarahkan dagunya ke arah sofa ruang tamu. “Kamu hendak menciumku dan memanggilku dengan nama Maura!”

Wajah Dipta melunak, pria itu mengerjap kaget kala melihat kemarahan Kinara untuk pertama kalinya, dia pikir gadis lugu seperti Kinara tak akan berani menunjukkan kemarahannya, ternyata Dipta sudah terlalu meremehkan Kinara selama ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status