Share

Bab 6. Kecupan Singkat

“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta.

Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.”

Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak.

“Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung.

Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk.

“Kinara?”

Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara.

“Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama.

Tentu saja kepergian Dipta membuat Kinara mematung di tempat, ini sungguh tak sesuai dengan dugaan Kinara, dia kira Dipta akan menjelaskan soal Maura, namun ternyata pria itu malah pergi tanpa menjelaskan apa pun.

“Aku ini memang tidak penting untuk Mas Dipta, dia tidak pernah mau peduli soal perasaanku,” monolog Kinara sambil tersenyum kecut.

Hembusan nafas kasar mengantarkan Kinara menuju pintu keluar, sejujurnya dia ingin menangis, namun dia sudah berjanji untuk tidak terlihat lemah lagi, Kinara harus kuat demi bisa mendapatkan hati Dipta.

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti di lobi apartemen, Kinara menemukan sepasang sepatu sudah ada di dekatnya, wajahnya mendongkak dan mendapati Gavin sudah berdiri di depannya sambil tersenyum ramah.

“Hai,” sapa pria bertubuh tinggi itu.

Kinara balas tersenyum. “Kenapa Bapak ada di sini?”

Gavin terkekeh. “Memang harus memanggil saya pakai panggilan Bapak? Kesannya saya sudah tua sekali ya?”

Kedua mata Kinara melebar, dia menggeleng. “Bukan, saya cuma mau bersikap sopan saja. Masa panggil nama?”

Pria berlesung pipit itu mengangguk. “Boleh juga, panggil Gavin saja.”

Kinara tertawa sumbang dan memutuskan untuk tidak menuruti pria itu. “Bapak mau ketemu Mas Dipta?”

Gavin mendelik dan mengangguk. “Kalau begitu, di luar jam kerja kamu bisa memanggil saya Mas Gavin.” Ada jeda sejenak sebelum kemudian Gavin melanjutkan, “Sepertinya ada yang menganggu pikiran suamimu akhir-akhir ini ya?”

Kening Kinara berkerut, pertanyaan itu rasanya kurang tepat jika ditujukan kepadanya, meskipun dia berdekatan dengan Dipta, pria itu tidak pernah mengajak Kinara berbicara soal apa yang dia rasakan.

Kinara ingin membuka mulutnya dan mulai menanyakan soal Dipta, namun dia urungkan karena merasa ini privasi dalam rumah tangganya. Jika dia menanyakan soal itu, bisa saja Gavin tahu bahwa hubungan Kinara dan Dipta tidak berjalan normal seperti pasangan pada umumnya.

“Ya, sepertinya dia sibuk memikirkan sesuatu akhir-akhir ini,” balas Kinara.

“Kalau begitu, saya pamit ke kantor ya, Mas?”

Gavin mengangguk kaku dan membiarkan Kinara melangkah melewatinya, sesaat setelah wanita itu pergi, dia berbalik dan memandang punggung Kinara yang semakin menjauh.

“Rumit,” celetuk Gavin, kemudian dia melanjutkan langkahnya untuk menuju ke unit apartemen Dipta.

***

“Sudah berapa cangkir kopi yang kamu minum, Kinara?”

Kinara terkesiap kala mendengar suara Dipta yang terasa dekat, dia menoleh dan mendapati pria itu bersandar pada dinding pantry. Lalu pandangannya mengarah pada pintu yang tertutup rapat.

“Mas Dipta sengaja datang ke sini untuk membuat semua karyawan curiga?” tanya Kinara. “Bukannya Mas sendiri yang bilang bahwa aku harus menyembunyikan hubungan kita?”

Dipta terkekeh sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Kamu terlalu banyak bicara.”

Wanita itu mendelik, dia merasa sulit memahami Dipta sekalipun mereka sudah saling mengenal sejak kecil. “Kenapa ke sini?”

“Ingin memastikan berapa cangkir kopi yang kamu minum hari ini,” jawab Dipta yang terdengar tidak masuk akal di telinga Kinara.

Mata Kinara menyipit. “Serius? Bukan karena kamu merasa bersalah karena kejadian semalam?”

Ada sebuah keyakinan yang menyusup ke dalam kepala Kinara, bisa saja Dipta merasa bersalah atas informasi yang Kinara berikan tadi pagi, menyebutkan nama wanita lain ketika hendak mencium istrinya tentu saja kesalahan yang sangat fatal bagi Kinara.

Merasa tertuduh, Dipta lantas melangkah ke arah Kinara yang masih bertahan di dekat meja pantry. Pria itu merebut secangkir kopi yang mulai dingin dari tangan Kinara, memperhatikan cairan berwarna hitam itu selama beberapa saat, lalu menyesapnya dan menaruh cangkir itu ke atas meja.

Kedua tangannya bertumpu pada ujung meja, mengurung Kinara di setiap sisi tubuh wanita itu. Tanpa mengatakan kalimat apa pun, Dipta memiringkan wajahnya, memfokuskan pandangan pada benda kenyal yang seolah-olah menantangnya sejak semalam.

Mulut Kinara bungkam, hembusan nafas Dipta yang menerpa wajahnya membuat dia kehilangan fokus, begitu benda kenyal itu menyentuh bibirnya, kedua mata Kinara melebar.

Tidak ada pergerakan sama sekali, hanya sebuah kecupan yang kemudian diakhiri Dipta dalam waktu cepat, bahkan Kinara tak sempat meresapinya.

“Jangan bahas lagi soal kejadian semalam,” perintah Dipta dengan tatapan dinginnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status