“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta.
Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.”
Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak.
“Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung.
Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk.
“Kinara?”
Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara.
“Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama.
Tentu saja kepergian Dipta membuat Kinara mematung di tempat, ini sungguh tak sesuai dengan dugaan Kinara, dia kira Dipta akan menjelaskan soal Maura, namun ternyata pria itu malah pergi tanpa menjelaskan apa pun.
“Aku ini memang tidak penting untuk Mas Dipta, dia tidak pernah mau peduli soal perasaanku,” monolog Kinara sambil tersenyum kecut.
Hembusan nafas kasar mengantarkan Kinara menuju pintu keluar, sejujurnya dia ingin menangis, namun dia sudah berjanji untuk tidak terlihat lemah lagi, Kinara harus kuat demi bisa mendapatkan hati Dipta.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti di lobi apartemen, Kinara menemukan sepasang sepatu sudah ada di dekatnya, wajahnya mendongkak dan mendapati Gavin sudah berdiri di depannya sambil tersenyum ramah.
“Hai,” sapa pria bertubuh tinggi itu.
Kinara balas tersenyum. “Kenapa Bapak ada di sini?”
Gavin terkekeh. “Memang harus memanggil saya pakai panggilan Bapak? Kesannya saya sudah tua sekali ya?”
Kedua mata Kinara melebar, dia menggeleng. “Bukan, saya cuma mau bersikap sopan saja. Masa panggil nama?”
Pria berlesung pipit itu mengangguk. “Boleh juga, panggil Gavin saja.”
Kinara tertawa sumbang dan memutuskan untuk tidak menuruti pria itu. “Bapak mau ketemu Mas Dipta?”
Gavin mendelik dan mengangguk. “Kalau begitu, di luar jam kerja kamu bisa memanggil saya Mas Gavin.” Ada jeda sejenak sebelum kemudian Gavin melanjutkan, “Sepertinya ada yang menganggu pikiran suamimu akhir-akhir ini ya?”
Kening Kinara berkerut, pertanyaan itu rasanya kurang tepat jika ditujukan kepadanya, meskipun dia berdekatan dengan Dipta, pria itu tidak pernah mengajak Kinara berbicara soal apa yang dia rasakan.
Kinara ingin membuka mulutnya dan mulai menanyakan soal Dipta, namun dia urungkan karena merasa ini privasi dalam rumah tangganya. Jika dia menanyakan soal itu, bisa saja Gavin tahu bahwa hubungan Kinara dan Dipta tidak berjalan normal seperti pasangan pada umumnya.
“Ya, sepertinya dia sibuk memikirkan sesuatu akhir-akhir ini,” balas Kinara.
“Kalau begitu, saya pamit ke kantor ya, Mas?”
Gavin mengangguk kaku dan membiarkan Kinara melangkah melewatinya, sesaat setelah wanita itu pergi, dia berbalik dan memandang punggung Kinara yang semakin menjauh.
“Rumit,” celetuk Gavin, kemudian dia melanjutkan langkahnya untuk menuju ke unit apartemen Dipta.
***
“Sudah berapa cangkir kopi yang kamu minum, Kinara?”
Kinara terkesiap kala mendengar suara Dipta yang terasa dekat, dia menoleh dan mendapati pria itu bersandar pada dinding pantry. Lalu pandangannya mengarah pada pintu yang tertutup rapat.
“Mas Dipta sengaja datang ke sini untuk membuat semua karyawan curiga?” tanya Kinara. “Bukannya Mas sendiri yang bilang bahwa aku harus menyembunyikan hubungan kita?”
Dipta terkekeh sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Kamu terlalu banyak bicara.”
Wanita itu mendelik, dia merasa sulit memahami Dipta sekalipun mereka sudah saling mengenal sejak kecil. “Kenapa ke sini?”
“Ingin memastikan berapa cangkir kopi yang kamu minum hari ini,” jawab Dipta yang terdengar tidak masuk akal di telinga Kinara.
Mata Kinara menyipit. “Serius? Bukan karena kamu merasa bersalah karena kejadian semalam?”
Ada sebuah keyakinan yang menyusup ke dalam kepala Kinara, bisa saja Dipta merasa bersalah atas informasi yang Kinara berikan tadi pagi, menyebutkan nama wanita lain ketika hendak mencium istrinya tentu saja kesalahan yang sangat fatal bagi Kinara.
Merasa tertuduh, Dipta lantas melangkah ke arah Kinara yang masih bertahan di dekat meja pantry. Pria itu merebut secangkir kopi yang mulai dingin dari tangan Kinara, memperhatikan cairan berwarna hitam itu selama beberapa saat, lalu menyesapnya dan menaruh cangkir itu ke atas meja.
Kedua tangannya bertumpu pada ujung meja, mengurung Kinara di setiap sisi tubuh wanita itu. Tanpa mengatakan kalimat apa pun, Dipta memiringkan wajahnya, memfokuskan pandangan pada benda kenyal yang seolah-olah menantangnya sejak semalam.
Mulut Kinara bungkam, hembusan nafas Dipta yang menerpa wajahnya membuat dia kehilangan fokus, begitu benda kenyal itu menyentuh bibirnya, kedua mata Kinara melebar.
Tidak ada pergerakan sama sekali, hanya sebuah kecupan yang kemudian diakhiri Dipta dalam waktu cepat, bahkan Kinara tak sempat meresapinya.
“Jangan bahas lagi soal kejadian semalam,” perintah Dipta dengan tatapan dinginnya.
Suara berdecak bisa ditangkap jelas oleh telinga Kinara, setelahnya dia lihat Dipta bergerak menjauh dari tubuh Kinara, meraih kembali pakaiannya yang baru beberapa menit terlepas dari tubuh dan mengenakannya kembali.Melihat hal itu, Kinara mengulum senyum. Tak dia pedulikan lagi suhu tubuhnya yang masih tinggi, lagi pula Kinara tak yakin tujuan Dipta melakukan metode skin to skin ini apakah murni untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya, atau justru modus semata. Satu hal yang bisa dia sadari adalah Dipta yang mulai goyah.“Gak jadi bantuin aku, Mas?” goda Kinara. Dipta segera bangkit dan melangkah menuju pintu kamar Kinara. “Enggak, kayaknya metode ini gak efektif buat kamu.”Sekeras tenaga Kinara menahan tawa. “Gak efektif menurunkan suhu tubuhku, tapi malah bikin kamu panas, ‘kan, Mas?”Pria itu berdeham dan buru-buru meninggalkan istrinya yang sudah tak lagi bisa menahan tawa, Kinara puas sekali melihat Dipta yang tampak canggung. Tak berselang lama, belum juga tawa Kinara mere
Setelah malam-malam panjang yang membuatnya terlelap dalam dekapan hangat Dipta, Kinara terbangun dalam kondisi kurang baik, kepalanya pusing, dia merasakan tubuhnya hangat. Perempuan itu terduduk di atas tempat tidur, berusaha mengumpulkan nyawa selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia mendengar suara bising dari luar kamar, Kinara memutuskan untuk segera beranjak. Langkah kecilnya membawa Kinara menuju dapur, dia melihat suaminya mondar-mandir di sana, memindahkan beberapa mangkuk ke atas meja makan. “Kamu lagi apa?” Dipta menoleh ke belakang dan tersenyum lembut, Kinara sempat tertegun menyaksikan senyum sehangat matahari pagi muncul di wajah suaminya. Ini terasa bagai mimpi karena biasanya Dipta tidak seperti ini. “Duduk, Kin,” perintah pria itu sambil menaruh dua gelas air putih ke atas meja makan. Kinara berjalan ragu dan duduk di hadapan suaminya, matanya menatap awas ke arah Dipta dengan kening yang berkerut dalam. Dipta membalas tatapan Kinara dengan sorot mata lembut
“Kin, udah selesai?” Kinara terkesiap karena ketahuan menguping, dia mengangguk dengan canggung dan melanjutkan langkah menghampiri anak dan ibu yang semula membicarakannya. Ibu Gavin terlihat sama terkejutnya dengan dia, perempuan paruh baya itu beranjak dan tersenyum hangat. “Makan malam di sini ya?” Pandangan Kinara beralih pada Gavin yang tersenyum lembut sembari mengangguk, karena merasa harus menghargai Ibu Gavin, pada akhirnya Kinara mengangguk setuju. Meskipun beberapa jam yang lalu dia mengunjungi sebuah restoran dengan menu yang luar biasa enak, nyatanya dia sudah menghabiskan banyak tenaga untuk melawan para pria jalanan di gang sempit tadi, Kinara juga tidak bisa menikmati makan malamnya dengan Dipta ketika isi kepalanya penuh sekali. “Ibu baru aja bikin rendang loh,” ungkap Ibu Gavin. “Wah, kayaknya Ibu jago masak ya?” tanya Kinara, air liurnya nyaris menetes melihat makanan yang tersaji di meja makan. Wanita paruh baya itu terkekeh. “Kalau kamu mau belajar masak, b
"Lepas!"Kinara memberontak dengan keras, menyentak tangan kedua pria yang tampak mabuk itu dan menendang pria yang tadi menyentuhnya. Aroma minuman keras yang menguar dari mulut ketiga pria itu membuat Kinara semakin merasa takut. Setelah berhasil terbebas, Kinara segera berbalik dan berlari cepat, setidaknya dia harus sampai di jalan utama agar bisa meminta pertolongan kepada siapa pun yang kebetulan lewat. “Tolong!” Kinara terus berteriak karena melihat ketiga pria itu masih mengejarnya. Dia melepaskan sepatunya dalam gerakan cepat, lalu melemparkannya ke arah tiga pria itu. Sehingga kaki Kinara kini menyentuh jalanan secara langsung. Tak peduli kepada tubuhnya yang semakin menggigil, Kinara terus berlari. “Aw!” Dia meringis ketika merasakan sesuatu yang tajam menyentuh telapak kakinya, karena merasa tak punya waktu untuk memeriksanya, Kinara terus berlari hingga dia tiba di jalan utama.“Kinara?”Wanita itu berhenti bergerak dan menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Gavin s
“Dasar egois!” Dipta tercengang mendengar kalimat istrinya, dia melengos dan terkekeh sinis. “Demi apa pun aku tidak pernah memaksamu untuk menikah denganku.” Pada akhirnya semua berbalik menjadi kesalahan Kinara, wanita itu menunduk dan tersenyum getir, menatap kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuan. Merasa tak mendapatkan respon berarti dari Kinara, Dipta lantas beranjak. “Aku ke toilet dulu,” pamitnya. Wajah Kinara kembali terangkat, dia menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Lalu bibirnya mengulas senyuman getir, dia merangkum wajahnya sendiri dengan frustasi. Sedangkan Dipta, pergi ke toilet adalah upaya menghindar yang dia lakukan untuk mengakhiri perdebatan dengan istrinya yang tak pernah berujung. Isi kepala pria itu sudah dipenuhi oleh berbagai masalah yang menyerangnya akhir-akhir ini.Alasan utama Dipta tak menginginkan pernikahan ini adalah karena dia belum menyelesaikan berbagai urusan yang entah kapan akan selesai, melibatkan Kinara secara tidak l
"Kalau kamu tidak suka, kamu gak mungkin membalas ciumanku," lanjut Dipta dengan senyuman miring di wajahnya. Mulut Kinara terkunci rapat, dia membuang pandangan ke luar jendela mobil untuk menyembunyikan wajahnya yang diyakini sudah berubah menjadi merah. Dipta terkekeh pelan dan mulai menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya meninggalkan basement untuk menuju ke sebuah restoran. Sepanjang perjalanan, Kinara hanya bungkam. Dia merasa sangat malu karena menyadari bahwa dia menikmati apa yang Dipta lakukan kepadanya, Kinara yang tidak pernah tersentuh oleh pria mana pun akhirnya merasakan bagaimana hebatnya sebuah ciuman, bahkan Kinara sempat membayangkan saat di mana dia dan Dipta akan melangkah ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar berciuman. Menyadari isi kepalanya yang mulai berlayar terlalu jauh, Kinara segera menggeleng, berharap itu bisa menyingkirkan isi kepalanya yang sangat mengganggu. Akan sangat memalukan jika Dipta tahu bahwa fantasi liar di dalam diri Kinara mulai