Pada malam harinya, Kinara tampil memukau untuk melancarkan aksinya agar Dipta mau sedikit melunak, dia mengenakan pakaian minim yang diyakini bisa mengundang keinginan terpendam pria itu.
Meskipun merasa tidak terbiasa, Kinara berusaha melakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang terkesan dingin dan datar, Kinara tak bisa hidup seperti ini untuk waktu yang lama, dia harus membuat perubahan besar.
Sudah berkali-kali wanita itu melirik jam dinding yang terus berdetak, menunjukkan bahwa waktu sudah semakin malam. Dia berdecak keras dan mulai menghubungi Dipta, masa bodoh jika pria itu akan marah karena Kinara lancang menghubunginya.
Panggilan itu tidak kunjung dijawab, sampai Kinara berkali-kali menghubungi Dipta tanpa mau menyerah. Akhirnya pada percobaan kelima, panggilan tersebut baru dijawab.
“Halo, Kinara?”
“Ya, ini siapa?” Suara itu terdengar asing di telinga Kinara, terlebih suara berisik di seberang telepon membuat Kinara tak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku Gavin, sahabat Dipta.”
Mulut Kinara terbuka setengah, matanya melebar, dia lantas berdiri dari sofa. Tentu saja dia mengenal Gavin, pria itu adalah General Manager di Pratama Corporation dan sangat terkenal karena keramahan serta parasnya yang rupawan.
“Oh iya, apa Mas Dipta ada di sana?” Kinara tidak tahu Gavin mengetahui soal hubungannya dengan Dipta atau tidak, tapi melihat pria itu yang berbicara santai kepadanya, sepertinya Gavin tahu semuanya.
Suara musik yang terdengar keras membuat Kinara menjauhkan ponsel dari telinganya selama beberapa saat, dia sudah bisa menebak ke mana perginya suaminya itu, pasti ke tempat hiburan malam dan meneguk beberapa gelas minuman yang membuat mabuk.
“Ada, dia mabuk dan aku tidak tahu harus membawanya pulang ke mana. Katanya dia baru saja menjual rumahnya dan pindah ke apartemen. Bisa kamu beri aku alamatnya?”
Rumah katanya, bahkan Kinara tidak tahu bahwa sebelumnya Dipta punya rumah sendiri selain milik orangtuanya, meskipun tidak menutup kemungkinan karena pria itu pasti ingin menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang penting seperti membeli rumah sendiri.
“Aku kirim alamatnya lewat pesan singkat,” putus Kinara. “Terima kasih, Pak Gavin.” Setelah itu panggilan terputus, Kinara mulai mengirimkan pesan berisikan alamat apartemen kepada nomor suaminya.
Beberapa kali dia menghembuskan nafas kasar, lalu mulai beranjak untuk meraih kimono yang senada dengan gaun tidurnya, tak mungkin dia menyajikan pemandangan tubuhnya kepada Gavin.
***
Setengah jam berlalu sejak Kinara menelepon suaminya, sekarang bunyi bel yang ditekan membuat Kinara bergerak cepat untuk membuka pintu, dia tersenyum canggung kala melihat Gavin kesusahan menahan berat beban tubuh Dipta yang mabuk berat.
“Tolong bawa masuk, Pak.”
Tanpa mengatakan apa pun Gavin membawa pria mabuk itu ke ruang tamu, lalu membaringkannya di atas sofa panjang. Kinara hanya memperhatikannya sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Dia sangat merepotkan.”
Gavin terkekeh. “Lumayan,” katanya sambil meregangkan sendi dan ototnya yang terasa pegal.
“Terima kasih banyak, Pak Gavin,” ucap Kinara, merasa tidak enak dengan atasannya itu.
Pria berlesung pipi itu tersenyum sopan. “Gak masalah, dia sudah sering seperti ini dan merepotkanku.”
“Oh ya?” Sejujurnya Kinara ingin menggali lebih dalam lagi soal suaminya, namun merasa tak yakin Gavin mau memberi tahu soal itu.
Keduanya saling memandang dalam hening, seperti sama-sama bingung mau bicara soal apa lagi, sampai akhirnya Gavin mengelus tengkuknya dengan gerakan canggung. “Kalau begitu aku pulang dulu.”
Kepala Kinara mengangguk singkat dan mengikuti langkah Gavin menuju pintu keluar. “Sekali lagi, terima kasih, Pak.”
Pria itu mengangguk dan tersenyum tipis, lalu mulai pergi meninggalkan apartemen tersebut. Begitu hanya tinggal Kinara dan suaminya yang sedang tertidur di atas sofa, wanita itu berjalan cepat sambil memperhatikan pria bertubuh atletis yang tampak tak berdaya malam ini.
“Bukannya bersenang-senang denganku malam ini, kamu lebih memilih meneguk minuman di kelab malam?”
Sambil memasang ekspresi kesal, Kinara melepaskan sepatu Dipta beserta kaus kakinya, setelah itu dia duduk di atas karpet bulu yang digelar di bawah sofa, kedua lengannya bertumpu pada bagian kosong di atas sofa, tatapan matanya mengarah pada wajah Dipta yang terasa dekat namun tidak tersentuh. “Tampan sekali,” pujinya sambil mengelus lembut satu sisi wajah suaminya.
Pria berwajah tegas, hidung bangir, bibir yang tebal, serta kedua mata tajam yang kini terpejam itu seperti mengambil alih poros dunia Kinara.
Tiba-tiba kedua matanya perlahan terbuka, dia menatap Kinara dengan tatapan sayu, terlihat belum sadar dari mabuknya. Lalu suara tawa ringan mulai terdengar, senyum manis milik Dipta yang akhir-akhir ini tidak bisa Kinara lihat mulai muncul kembali.
Untuk sesaat Kinara merasa terhipnotis, terlebih pria itu juga mengulurkan tangannya untuk menyentuh lembut bibir Kinara yang ranum. “Kamu cantik sekali,” puji Dipta dengan suaranya yang terdengar serak.
Wajah Kinara memunculkan semburat merah, bulu matanya yang lentik alami bergerak pelan ketika dia berkedip, dadanya juga berdebar hebat. “Mas,” lirih Kinara.
Dipta mempertahankan senyuman manisnya, dia tiba-tiba bangun dengan mata yang sesekali masih terpejam, membuat Kinara menegakkan tubuhnya dan mendongkak untuk membalas tatapan Dipta yang kini menunduk ke arahnya.
Tangan pria itu berganti mengelus satu sisi wajah Kinara, lalu kepalanya bergerak maju, seperti hendak melakukan hal yang Kinara nantikan selama ini.
Ketika hanya tinggal tersisa beberapa sentimeter lagi untuk bibir itu mendarat di tempat yang tepat, Dipta berucap, “Kamu cantik sekali, Maura.”
Kesadaran Kinara yang sempat hilang langsung muncul kembali, wanita itu menatap suaminya dengan tatapan nanar, lalu menyingkirkan tangan Dipta dari wajahnya dengan gerakan kasar, selanjutnya dia mengambil jarak dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
“Sialan!” umpatnya.
Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya. Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik. Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya. Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang
“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta. Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.” Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak. “Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung. Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk. “Kinara?” Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara. “Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama. Tentu
Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu. Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik. “Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang. Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela. “Lama banget perginya.” Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di s
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan
“Wajar kalau aku payah, aku gak pernah berciuman!” Dipta mendelik, tanpa Kinara memberitahunya, dia juga sudah bisa menebak sejauh mana kemampuan wanita itu soal sentuhan fisik, terlihat dari gerakan bibirnya yang kaku dan kepayahan membalas pagutan Dipta beberapa detik lalu. “Tidur, besok kita harus ke kantor.” Kinara harus kembali menelan pil pahit setelah mendengar ucapan suaminya, terlebih ketika Dipta berjalan maju dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memunggungi Kinara yang masih bergeming di tempat. Bodohnya dia mengharapkan akan melewati malam yang panjang dengan Dipta kala pria itu tidak sudi menyentuhnya, meskipun Kinara tak tahu apa alasannya selain karena pria itu tidak menginginkan dia sebagai istrinya. “Aku kurang cantik ya, Mas?” Dipta menghembuskan nafas lelah dan memilih untuk menulikan kedua telinganya, kedua matanya terpejam, pura-pura tertidur agar punya alasan untuk menghindari pertanyaan Kinara. “Atau aku kurang menggoda?” tanya Kinara lagi. Dia
Kinara sudah bosan mendengar kalimat yang sama dari mulut suaminya, dia sangat mengerti bahwa dirinya tak cukup menarik untuk bisa menggoda pria itu. Kepercayaan diri Kinara juga perlahan mulai menghilang hingga hampir tak bersisa, semua itu berkat kalimat pedas yang selalu Dipta ucapkan kepadanya. “Kamu dan tubuhmu tak akan mampu membuatku bergairah.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kinara, seolah-olah mengingatkan Kinara agar terus sadar diri dan tidak menaruh harapan lebih kepada Dipta. Beberapa kali dia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan pria yang dia cintai saja rasanya bisa semenyedihkan ini, padahal dulu Kinara pikir dia akan sangat bahagia ketika hidup dengan pria yang dia cintai. Namun sepertinya Kinara lupa, bahwa akan jauh lebih bahagia jika dia hidup dengan pria yang mencintainya. “Hembusan nafasmu itu berisik, aku gak bisa tidur.” Suara berat Dipta tiba-tiba terdengar. Kinara menoleh ke
“Minta dipeluk terus?” Kinara terkekeh sinis sambil meremas kertas yang berada dalam genggamannya, merasa konyol dengan ucapan Dipta semalam untuk menghindari kecurigaan Inggit. Tiba-tiba Mela yang berjalan di sisinya menyenggol pelan bahu Kinara. “Mikirin apa sih, Kin?” Perhatian Kinara beralih, dia menoleh dalam gerakan cepat lalu menggeleng. “Enggak, lagi bad mood aja.” “Hati-hati, ini kita mau meeting, jangan sampai Pak Dipta tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, apalagi sampai gak fokus, bisa kena amuk nanti,” ujar Mela, memperingati sahabatnya itu. Kinara melengos dan mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak berminat untuk bertemu dengan suaminya hari ini, tapi mau bagaimana lagi, beberapa staf administrasi diminta untuk menghadiri meeting oleh Kepala Staf mereka, mana mungkin Kinara berani menolak. Sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu Kinara. “Fokus, Pak Dipta udah ada di depan sana.” Kinara mengalihkan pandangan ke depan dan menemukan pria yang tampil menawan dal