Dengan tangan bergetar, Irenne membuka map itu. Di dalamnya terdapat lembaran fotokopi surat kepemilikan Perusahaan Richard Kenneth, masih tercantum atas nama kakeknya. Jantungnya berdetak cepat. Pandangannya kabur oleh rasa campur aduk antara kaget, lega, dan tidak percaya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponselnya. Jemarinya menekan nomor Pak Mark dengan tergesa. "Pak Mark, saya harus bicara sekarang juga," ucapnya cepat, hampir tanpa jeda. "Mau bicara? Bicara apa?" suara Mark datar. "Aku sudah menemuka surat kepemilikan awal Kenneth Group. Tapi di sini hanya foto copy," jawab Irenne tergesa. "Ok, temui saya di kantor, sekarang." "Baik Pak." Irenne menutup sambungan telpon. Begitu panggilan berakhir, Irenne bangkit. Dengan langkah mantap, ia keluar dari kamar, meninggalkan segala kegelisahan yang sempat menahannya tadi. Namun baru saja Irenne membuka pintu, langkahnya seketika terhenti. Di ambang pintu, Aurel sudah berdiri, bersedekap dengan tatapan sinis yang menusuk.
Irenne memeriksa setiap file di laptop ayahnya satu per satu. Hampir semuanya berisi laporan pekerjaan kantor, tanpa ada yang tampak mencurigakan. Waktu berjalan cukup lama, matanya mulai lelah, tapi rasa penasaran menahannya untuk tidak berhenti dan terus mencari."Kenapa tak ada satu pun yang benar-benar aku inginkan? Semua berisi laporan perusahaan," gumamnya sambil terus menelusuri file satu-persatu.Hingga akhirnya, matanya menangkap satu file yang membuat napasnya tercekat, yaitu sebuah dokumen berisi pemecahan laba saham perusahaan. Tertulis dengan jelas, 30 persen untuk Amy, ibu tirinya, dan 30 persen untuk Aurel, adik tirinya.Namun, namanya sendiri sama sekali tidak tercantum di sana.Dada Irenne terasa sesak. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Ia menatap layar itu lama, matanya mulai basah."Papa ... kenapa, Pa? Kenapa Papa tega banget? Aku ini anak kandungmu," bisiknya lirih, kecewa dan terluka dalam diam.Irenne terdiam lama di
Malam itu, Irenne memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Lampu-lampu di ruang makan masih menyala ketika ia tiba. Dari kejauhan, terdengar suara dentingan sendok dan garpu. Edgar, ayahnya, tengah menikmati makan malam bersama Amy, sang ibu tiri.Irenne merogoh tasnya mengambil anak kunci. Dia masih menyimpan kunci duplikat rumah orang tuanya. Lalu melangkah masuk.Begitu melihat kehadiran Irenne di ambang pintu, Edgar dan Amy berhenti sejenak sambil masih memegang sendok garpu. Tatapan Edgar tampak datar, sementara Amy tersenyum tipis — senyum yang terasa hanya bagai basa-basi saja."Hei, Irenne. Sudah lama tidak ke sini. Tumben, ada perlu apa?" tanya Amy, suaranya terdengar manis namun sinis."Hmm, ga ada apa-apa, cuma mau tengok rumah orang tuaku aja. Aku memang sibuk belakangan ini," jawab Irenne singkat, berusaha menahan perasaan sesak dadanya.Irenne ikut duduk berhadapan dengan mereka. Beberapa percakapan ringan pun terjadi, sekadar formalitas. Tidak ada pelukan, tidak a
Irenne menelan ludah pelan. "Maksud Bapak, pernikahan kontrak itu … akan dilaksanakan dalam waktu dekat?" Mark mengangguk pelan. Hatinya ragu dan menduga, kalau Irenne akan membatalkannya. "Aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Semakin cepat ini selesai, semakin baik untuk kepentingan kita berdua, dan juga untuk Arley. Kamu tahu kan, Arley semakin dekat denganmu." Nada suaranya terdengar tenang, tapi tegas. Seolah keputusan itu sudah mutlak, tak ada ruang untuk negosiasi. Irenne memalingkan pandangan ke jendela. Hatinya terasa berat. Bukan karena ia menolak, tapi karena kesadaran bahwa pernikahan itu bukanlah atas dasar cinta, melainkan sebuah kesepakatan dingin demi masa depan anak kecil yang sangat ia sayangi. "Kalau begitu … kapan tanggal yang Bapak rencanakan?" tanyanya perlahan. Mark membuka kalender di meja kerjanya, lalu menunjuk sebuah tanggal dengan ujung penanya. "Minggu depan. Hari Senin. Di kantor catatan sipil. Semua akan aku urus, surat, saksi, bahkan jadwal
Pagi-pagi sekali, Arley sudah terbangun. Dengan langkah kecilnya, ia menghampiri tempat tidur dan menggoyang pelan tubuh Irenne.“Mama… bangun, Ma. Sudah pagi. Aley lapar, mau makan,” ucapnya manja.Irenne mengucek-ucek matanya sambil tersenyum melihat bocah kecil itu duduk di sampingnya dengan wajah polos."Sayang, kamu sudah bangun duluan? Yah sudah, Mama juga bangun, ya. Tapi kamu mandi dulu, baru nanti Mama temani Arley makan, oke?""Okey Mama, aku mau mandi dulu."Arley tertawa kecil, senang sekali mendengarnya. Ia langsung meloncat turun dari tempat tidur dan berlari kecil menuju ruang tamu. Membangunkan suster yang masih tertidur di kursi sofa.Setelah mandi dan berpakaian rapi, Irenne berjalan ke dapur. Aroma roti panggang dan susu hangat mulai memenuhi ruangan. Ia menyiapkan sarapan sederhana—roti isi telur, segelas susu untuk Arley, dan kopi hitam untuk dirinya.Di meja makan, Arley sudah duduk manis, menggoyang-goyangkan kakinya di kursi tinggi. Suster Ina membantu Irenne d
"Berani sekali kau menampar Arley, anakku."Suara Mark bergetar dan terdengar menakutkan. Tapi tidak dengan Laura. Sedikitpun dia tidak merasa takut pada Mark, mantan suaminya."Kau berani menamparku Mark? Di depan orang banyak? Dimana pikiranmu Mark?!"Laura memegangi pipinya yang mulai memanas."Kenapa tidak berani? Aku tampar berpuluh-puluh kali lagi pun aku masih berani," jawab Mark menggertakkan giginya geram."Aku tidak akan pernah takut dengan perempuan toxic seperti kamu! Lepaskan Arley!""Tidak! Aku tak akan melepasnya. Aku akan membawa Arley pulang ke negriku!" Laura menatap lurus, napasnya tersengal, sekaligus putus asa."Apa kau tuli? Lepaskan Arley!" teriak Mark dengan suara menggelegar, wajahnya memancarkan amarah yang dingin dan menghancurkan.Suasana seketika memanas, orang-orang di koridor mundur memberi ruang. Arley yang ketakutan meronta dari genggaman Laura, tubuhnya bergetar. Irenne menggenggam ujung bajunya, mata membelalak, sementara Suster Ina berdiri terpaku,