Share

05. Ibu Sudah Menikah?

Valerie menatap pusara mama Adora. Ia pun menoleh ke arah ibu gurunya itu sambil menatap sedih. Anak itu mengenggam tangan Adora dengan lembut ia pun mengatakan sesuatu yang membuat hatinya tersentuh.

"Ibu, jangan nangis, nanti mama Ibu sedih lihatnya. Pasti dali Sulga mama Ibu sudah senyum sekalang lihat kita."

Adora pun menoleh sembari tersenyum manis. "Nggak, kok. Ibu nggak nangis, nih lihat Ibu senyum lebar."

Padahal sebernarnya Adora sudah mulai merasa bersedih. Setiap kali mengunjungi mamanya itu, ia sering menceritakan berbagai hal dengan sesekali derai air mata pun bercucuran. Apalagi kepergian sang mama bersangkutan dengan apa yang telah menimpa Adora.

Rasa bersalah bertahun-tahun menyelimuti dirinya. Andai kejadian di masa lalu itu tidak pernah terjadi, mungkin saja mamanya masih ada hingga saat ini. Mereka bisa menjadi keluarga yang hangat, berkumpul bersama seperti dulu.

Namun, kali ini tentu ia tidak dapat melakukannya. Ada anak kecil yang melarangnya untuk bersedih. Tentu saja ada Brandon juga. Adora harus berpura-pura tegar dan menahan rasa ingin menangisnya.

"Bu, boleh saya kirimkan doa juga untuk mendiang mamanya?" tanya Brandon tiba-tiba.

"Tentu boleh, Pak. Saya sangat mengucapkan Terima kasih kalau Bapak mau ikut mendoakan mama saya," jawab Adora.

Brandon mendekat, ia berjongkok dan mengangkat serta membentangkan tangannya. Ia melafalkan doa untuk mama Adora. Terlihat begitu tulus dan tidak ada kepura-puraan dari wajahnya.

Setelah selesai, Brandon mengucapkan aamiin. Ia kembali berdiri dan mempersilahkan Adora untuk menyimpan buket bunga yang sempat ia beli tadi. Adora pun duduk di tepi pusara yang memang sengaja dilebihkan. Wanita itu menyimpan buket bunga mawar kesukaan mendiang mamanya.

"Selamat ulang tahun, Ma. Hari ini Rara datang sama murid Rara. Namanya Valerie, ini juga ada Pak Brandon, beliau papanya Riri. Iya, panggilan kita mirip-mirip, kan? Ma, papa titip salam buat mama. Katanya maaf karena tahun ini papa nggak bisa kunjungi mama di sini, tapi papa juga pasti kirim doa buat mama. Begitu juga dengan tante Naura. Maaf, Riri nggak bisa lama-lama, karena langit sudah sangat mendung, kasihan juga Valerie takut kehujanan. Aku pamit, ya. Nanti aku datang lagi bawa buket mawar kesukaan mama," ucap Adora.

Tanpa Adora tahu, sejak tadi Brandon memperhatikannya. Pria itu menatap sendiri ke arahnya. Seperti ia tahu dan dapat merasakan kerinduan yang Adora rasakan saat ini. Kehilangan seseorang karena maut memang akan terasa memilukan. Rasa sakitnya berbeda dengan ditinggalkan dengan cara biasa saja.

"Ayo, Pak! Saya sudah selesai. Lebih baik segera pulang, takut keburu hujan, kasihan Riri," ajak Adora yang entah sejak kapan sudah kembali berdiri, Brandon tidak menyadarinya karena tadi sibuk dengan pemikirannya.

"Oh, iya. Ayo, Ri!" Brandon pun menyodorkan tangannya kepada Valerie, tapi anak itu justru malah mendahului mengenggam tangan ibu gurunya.

Mereka bertiga pun berjalan menuju parkiran. Valerie berada di tengah, diantara Adora dan juga Brandon.

"Pa, nanti mampil beli donat sama coklat panas pakai klim, boleh? Bu Lala juga ajak saja, kita makan beltiga," ide Valerie.

"Kalau Papa boleh-boleh saja, tapi takutnya Bu Rara ada urusan lain setelah ini, Ri. Coba Riri tanya dulu, Bu Raranya mau atau nggak," kata Brandon.

Valerie menoleh dan mendongak. Sebelum ia bertanya, Adora sudah lebih dahulu mengangguk. Wanita itu tak enak hati jika menolak ajakan muridnya, padahal mereka sudah berbaik hati mau mengantarnya ke tempat peristirahatan mendiang mamanya.

"Yeay!" Valerie sangat senang ketika tahu bahwa Adora pun menyetujui ajakannya itu.

***

Kafe Nirmala

Hujan pun turun. Hawa dingin mulai terasa ke pori-pori. Apalagi semua AC di dalam bangunan kafe menyala seperti pada umumnya. Adora menarik lengan kemeja panjangnya agar bisa lebih maju karena mulai merasa kedinginan. Sedangkan Valerie untung saja di tasnya ada sebuah sweater berbahan rajut yang sempat ia kenalan saat berangkat sekolah tadi pagi.

Adora membantu anak itu untuk menggunakannya. Sejak datang ke kafe, anak itu memang sudah menempel kepadanya. Ia tidak mau duduk di sebelah Brandon. Valerie malah duduk di samping Adora sambil bercerita random seperti anak-anak pada umumnya.

"Bu, maaf, ini pakai saja!" Brandon menyodorkan jas yang baru saja ia buka kepada Adora.

"Nggak usah, Pak. Nggak apa-apa. Bapak pakai lagi saja, ini cuacanya cukup dingin, nanti Bapak malah masuk angin, apalagi Bapak juga cuma pakai kemeja polosan," tolak Adora.

"Jangan ditolak, kasihan saya lihat Ibu kedinginan! Saya ini pria sehat, badan kekar, ya, masa sama hawa dingin saja kalah? Diterima, Bu. Nggak bau keringat, kok. Kebetulan saya orangnya juga bersih, rapi, nggak jorok," tutur Brandon.

Adora pun menerimanya, ia tidak enak jika harus menolaknya kembali. Jas itu langsung ia kenakan. Memang benar, aroma parfumnya bahkan langsung tercium saat jas itu menutupi tubuh ramping Adora. Aroma maskulin khas pria-pria mapan yang gila kerja. Tidak bau apek, apalagi bau keringat.

Tak lama, pesanan mereka datang. Valerie langsung kegirangan karena dia donat yang ia pesan kini sudah ada di hadapannya. Karena ukurannya cukup besar, anak itu pun meminta Adora untuk memotongnya menjadi dua bagian dari setiap donat. Dengan senang hati Adora pun menuruti keinginan Valerie.

"Baru kali ini saya perhatikan Valerie mudah sekali dekat dengan orang dewasa yang baru dia kenal, Bu. Biasanya susah sekali. Kalau sama anak-anak lagi justru lebih cepat akrab," kata Brandon memulai bercerita.

Adora pun melemparkan sebuah senyuman. "Berarti ada kemajuan yang bagus dari Valerie, Pak. Memang kalau diperhatikan, kalau sama temen-temen seusianya juga di kelas, Valerie ini cepat sekali akrab. Dia nggak malu buat mengajak berkenalan terlebih dahulu."

"Keputusan saya menyekolahkan dia dari usia lima tahun mungkin tidak salah. Semoga saja anaknya bisa berkembang banyak, tentu sesuai dengan usianya. Kalau di rumah kasihan, paling main sama bibi saja. Sesekali paling main ke rumah sepupunya," ungkap Brandon.

"Cuma saya harus acungkan jempol buat Pak Brandon, sih. Sesibuk apapun, Bapak ini tidak acuh sama anak. Kelihatan jelas kalau Bapak ini penuh kasih sayang dan perhatian sama Valerie." Adora menyampaikan pujiannya itu untuk Brandon.

Brandon tersenyum tipis. "Kalau bukan saya yang begitu, mau siapa lagi, Bu? Istri saya sudah nggak ada, mama saya sibuk, adik saya juga sudah berumahtangga. Tentu saja Valerie tidak boleh merasa diacuhkan dan kekurangan kasih sayang."

"Bu Lala, aku bilang sama Papa mau cali mama balu, loh! Tapi aku takut mama Bella malah nanti dali Sulga," celetuk Valerie dengan polosnya.

Adora langsung mengusap punggung anak itu dengan lembut. "Kenapa marah, Ri? Riri memangnya mau punya mama baru?"

Valerie mengangguk setelah menyimpan donat yang belum habis ia makan. "Aku mau kayak teman-teman. Punya papa dan mama, Bu. Lili sedih kalena di kelas cuma Lili yang nggak ada mama, tapi tante Luna bilang kalau mama balu itu jahat dan selam. Memang iya, Bu?"

"Hush, tantemu kok didengar sih, Ri? Dia itu ngaco. Nanti Papa marahin dia, ya!" sela Brandon.

Adora pun menoel-noel hidung bangir Valerie. "Nggak juga, ah. Ibu punya mama baru dan dia baik, kok. Tergantung orangnya juga, Ri. Sama kayak kita, ada perbuatan yang baik dan buruk. Nah, orang juga begitu," jelasnya.

"Gitu, ya. Nanti Papa cali mama yang baik saja, ya. Yang sayang Lili, yang bisa kasih adek bayi buat temani Lili kalau pas di lumah," pesan Anak lima tahun itu kepada papanya.

Brandon hanya bisa mengangguk dengan pipi yang bersemu karena menahan malu di depan Adora. Bisa-bisanya anak itu membahas hal seperti ini di depan ibu gurunya.

"Ibu sudah menikah? punya suami?" Kini Valerie berpindah dengan mengajukan pertanyaan bak wanita dewasa kepada Adora.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status