Share

04. Ajakan Brandon

Brandon menyesap rokok miliknya. Kepulan asap itu pun mengudara. Ia tengah berada di sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi dengan nuansa vintage yang melekat dengan dekorasi tempat usaha tersebut.

"Gimana rasa kopinya? Itu menu baru yang aku buat sendiri. Kamu orang ketiga yang mencoba kopi itu." Seorang pria duduk di hadapan Brandon.

"Cukup enak. Tidak terlalu pahit, tapi aku bisa merasakan rasa asli kopinya. Ini bagus, kamu bisa menjualnya mulai hari ini," jawab Brandon.

"Oke. Aku akan menjual kopi ini mulai besok saja. Gimana kabar Valerie? Aku dengar dia mulai masuk sekolah," tanya Lionel, pria yang menjadi lawan bicara Brandon itu.

"Ya. Dia mulai masuk TK. Walau pelafalan huruf R-nya belum lancar, setidaknya anak itu sekarang bisa mulai belajar berinteraksi dengan teman-teman seusianya," tutur Brandon sambil mengetukkan batang rokok ke asbak untuk menjatuhkan abunya.

Lionel mengangguk. "Itu bagus untuknya. Nggak terasa, anak itu semakin besar. Begitu juga dengan Jayden, bukan? Apa Luna sudah bisa menerima anak itu sekarang?"

"Nggak sama sekali. Dia masih keras kepala menganggap anak itu hanya anak yang membatasi dirinya untuk bisa dekat dengan Jonathan. Padahal dia anak yang nggak punya dosa, dia juga tumbuh dengan baik dan sehat selama ini. Aku juga cukup kecewa kepada Luna, bukan karena aku nggak kasihan sama apa yang menimpa dia, aku pikir ini hanya seperti karma karena dia merebut Jonathan dari wanita lain," ungkap Brandon.

"Padahal kalau adikmu dulu menerima ajakan menikah dariku, mungkin sekarang kejadian seperti ini nggak bakalan dia alami. Sayang sekali, dia lebih memilih Jonathan saat itu hanya karena Laluna menyukai pria itu sejak dia kecil," balas Lionel dengan tersenyum getir.

Brandon menekan sisa puntung rokok ke dalam asbak. Ia pun lantas tersenyum ke arah temannya itu. "Kamu harus lebih bersyukur karena gagal menikahi dia. Kalau kamu jadi suaminya, aku yakin kamu nggak bakalan tahan dengan tingkah lakunya. Masih banyak wanita lain di dunia ini, kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik daripada Laluna."

"Kamu ini aneh, orang lain akan membela adiknya sendiri, tapi kamu malah berkata demikian," tawa Lionel.

"Karena aku tahu bagaimana sifat dan sikapnya. Dia terlalu dimanjakan oleh mama, sehingga itulah hasilnya, apa yang dia mau, maka harus ia dapatkan dengan cara apapun."

Brandon dan Laluna mungkin saudara kandung, tapi mereka memang sangat berbeda satu sama lain. Terlebih setelah perceraian orang tuanya yang membuat mereka harus hidup terpisah cukup lama. Laluna ikut bersama mamanya, sedangkan Brandon dibesarkan oleh papanya.

Hingga tujuh tahun lalu akhirnya sang papa pun berpulang menghadap Tuhan. Hal tersebut yang membuat Brandon kembali dekat dengan mama dan adiknya itu.

"Ya, baiklah. Kita lupakan pembahasan soal Laluna. Aku ingin tahu, apa kamu nggak ada rencana buat nikah lagi, Brandon? Valerie sudah berusia lima tahun, aku rasa itu sudah cukup buat kamu terus menerus terjebak dengan perasaanmu untuk Bella," tanya Lionel yang peduli kepada temannya itu.

"Aku masih sulit buat move on dari Bella, Li. Rasanya baru kemarin kami menikah, berjanji untuk tetap bersama hingga kami tua." Sorot mata Brandon berubah menjadi sendu.

"Aku tahu. Ini sudah cukup lama berlalu, Brandon. Kamu nggak bisa abaikan fakta bahwa Valerie juga sebenarnya butuh sosok ibu di hidupnya. Begitu juga dengan kamu yang nggak bisa selamanya sendiri. Sudah waktunya buat kamu coba buka hati kamu lagi buat wanita lain," saran Lionel.

"Ck!" Brandon berdecak dan tersenyum menyinggung. "Katakan itu juga sama diri kamu! Kamu juga semakin tua, cepat menikah atau kamu akan jadi bujang lapuk yang nggak laku," guraunya.

"Ah, sial! Aku kena lagi," kekeh Lionel.

"Tapi Valerie memang sedikit aneh sepulang ia sekolah. Dia tiba-tiba bertanya kalau dia punya ibu baru, Bella akan marah atau nggak sama dia, itu membuatku kaget sebenarnya. Apa memang anak itu ingin punya mama lagi?" Brandon kini menatap serius Lionel, berharap mendapatkan jawaban yang masuk akal.

Lionel mengangguk. "Bisa jadi begitu. Mungkin gara-gara di sekolah kebanyakan anak pasti bakalan ada interaksi sama mama mereka, kan? Riri kayaknya mau kayak teman-temannya juga. Aku rasa memang kamu harus mulai memikirkan hal ini juga, Brandon."

Brandon terdiam, ia mencerna perkataan dari Lionel dengan sebaik-baiknya. Ia mungkin belum mau membina rumah tangga lagi, tapi berbeda dengan putrinya yang bisa saja merindukan sosok ibu yang menyayanginya.

***

Adora meminta Ayumi untuk menemani Valerie sampai papanya datang untuk menjemput. Lagi-lagi pria itu telat untuk menjemput putrinya ketika jam pulang sekolah. Adora harus segera pergi ke pemakaman sebelum sore tiba, apalagi cuaca hari ini cukup mendung. Namun, Valerie merengek dan tidak ingin ditemani oleh Ayumi.

"Gimana, dong? Anaknya nggak mau. Aku bukan nggak mau bantu kamu, Ra. Cuma 'kan Valerie sendiri yang mau kamu temani," tanya Ayumi kebingungan.

"Aku cuma takut kesorean dan hujan. Bus yang menuju ke sana juga jarang lewat kalau sudah sore. Ya, gimana lagi, kalau anaknya memang nggak mau sama kamu, aku temani saja. Biar nanti aku hubungi papanya supaya tidak terlalu lama," jawab Adora.

"Iya, lebih baik kamu telepon saja papanya. Bilang saja alasan kamu itu, Ra. Aku rasa dia pasti bisa mengerti. Maaf, ya. Aku bukannya nggak mau bantu kamu, loh!" Wanita itu pun merasa tidak enak.

"Nggak masalah. Kalau gitu, kamu bisa pulang duluan, Yum. Biar Valerie sama aku," kata Adora.

Ayumi pun berpamitan dan ia pulang terlebih dahulu. Sementara itu, Adora masih berada di sekolah bersama Valerie menunggu kedatangan Brandon. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Brandon dari grup orang tua kelas. Setelah mendapatkannya, Adora pun mencoba menghubungi pria itu.

"Halo, dengan siapa?" Brandon ternyata langsung menjawab panggilan tersebut.

"Selamat siang, Pak Brandon. Saya Adora, pengajar dari TK Gemilang Cahaya. Maaf, Pak, apa masih lama untuk bisa sampai di sekolah?" tanya Adora.

"Oh, Bu Rara. Ini saya sedang di jalan. Cuma kejebak macet, nggak tahu ada apa di depan sana. Maaf, Bu, saya medan Valerie merepotkan Ibu terus," kata Brandon.

"Begitu, ya. Hati-hati di jalan kalau begitu, Pak. Saya temani putri Bapak di sekolah, jangan khawatir!" ungkap Adora yang ragu untuk menjelaskan alasan utama ia menghubungi pria itu.

"Baik, Bu. Terima kasih. Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya. Titip Riri, ya," pesan Brandon.

"Baik, Pak."

Percakapan mereka pun berakhir begitu saja. Adora memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia pun melanjutkan menemani Valerie yang tengah bermain lego di ruang khusus bermain.

"Riri, papamu memang selalu sibuk, ya?" tanya Adora.

Valerie pun mengangguk. "Iya. Papa sibuk kelja. Makanya aku sekalang senang bisa sekolah, jadi punya teman, nggak sendili telus kayak di lumah. Kalau di lumah paling sama Sustel saja mainnya."

Adora mengusap rambut anak itu dengan lembut. "Kalau keluarga Riri yang lain ke mana? Suka datang ke rumah?"

Valerie menoleh dan melihat wajah Adora serta berkata, "kebanyakan dali meleka pada sibuk, Bu. Opa aku sudah meninggal, mama juga. Oma sibuk kelja, tante sibuk belanja. Meleka juga beda lumah. Kalau Abah Ambu, tinggalnya jauh dali sini halus enam jam balu sampai."

Anak kecil memang tidak pernah berbohong. Sekalipun melakukannya, tentu saja itu ia tiru dari orang dewasa disekitarnya. Adora merasa kasihan kepada muridnya itu. Ia seolah melihat dirinya ada pada sosok kecil itu.

Mereka sama-sama merasa kesepian di dunia ini. Orang yang mereka sayang berada jauh, bahkan ada yang tidak bisa dijangkau oleh sebuah pertemuan lagi. Maka dari itu, anak ini dianggap berbeda di mata Adora. Ia anak kecil yang harus mengalami hal dan situasi yang tidak biasa.

Beberapa menit berlalu. Brandon akhirnya datang dan menemui putrinya beserta Adora. Ia mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena terus-terusan merepotkan guru putrinya itu.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya juga sebenarnya nggak bakalan menghubungi Bapak dan terkesan meminta Bapak untuk cepat datang, hanya saja saya harus pergi ke pemakaman sebelum sore dan hujan turun. Kebetulan bus yang melintasi jalur sana cukup jarang kalau sore hari," jelas Adora yang tidak ingin Brandon salah paham kepadanya.

"Pemakaman? Ada apa? Apa ada keluarga Bu Rara yang meninggal?" tanya Brandon.

Adora menggeleng dan tersenyum tipis. "Bukan, Pak. Hari ini ulang tahun mendiang mama saya. Saya ingin berkunjung ke sana sambil membawa buket bunga kesukaannya."

"Kalau begitu, mari saya antar! Ri, kamu mau 'kan antar Bu Rara ke makam mamanya?" Brandon menoleh ke arah putrinya itu.

"Mau, Pa. Ayo, kita antar Bu Lala!" sahut Valerie dengan semangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status