"Da—dari mana kau tahu aku dan suamiku bercerai?" Suara Nadya terdengar bergetar, matanya melebar, dadanya sesak oleh keterkejutan yang baru saja ditorehkan oleh Kalen.
Pria itu tetap berdiri tegak, sorot matanya sekelam langit yang kehilangan bintang. "Aku akan memberimu tempat tinggal jika kau menerima permintaanku," ucapnya, suaranya datar, namun ada sesuatu yang berputar di balik nada tenangnya—sesuatu yang enggan ia ungkapkan.
Sejenak Nadya terdiam, membiarkan perasaan yang berjejalan di dadanya berusaha menemukan celah untuk keluar. "Ini terlalu sulit, Kalen."
Kalen menghela napas panjang dan kasar. Kesabarannya mulai goyah. Tanpa berkata-kata lagi, ia melangkah mendekat, lalu meletakkan bayi mungil itu di hadapan Nadya.
Tangisan bayi itu meraung seperti jeritan kecil yang memohon kasih sayang. Air matanya mengalir tanpa henti, napasnya tersengal-sengal dalam dekap kehausan dan kelelahan.
"Kau sudah merasakan kehilangan yang menyakitkan karena kepergian anakmu, kan?" Suara Kalen menggema dalam ruangan, menusuk Nadya hingga ke lapisan luka terdalam yang belum sempat sembuh.
"Apa kau ingin melihatnya untuk kedua kalinya? Melvin akan meninggal karena mengalami dehidrasi dan kelelahan, Nadya!"
Kata-kata itu menghujam Nadya seperti belati tajam yang menggurat luka lama. Dadanya bergemuruh, hatinya berteriak, sementara tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Bayi malang itu. Bayi tak berdosa yang kini menggigil di hadapannya.
Dengan mata berkabut, Nadya menatap makhluk kecil yang tengah meronta di dekapan Kalen. Hatinya tak kuasa menahan gejolak yang mendesak ingin meledak.
“Kemarikan bayi itu.” Suaranya lirih, hampir seperti bisikan angin yang baru saja mengembuskan keputusannya.
Kalen menghela napas lega, lalu dengan hati-hati menyerahkan bayi laki-laki itu ke dalam pelukan Nadya. Begitu hangat, begitu mungil, begitu rapuh.
"Tolong keluar dulu," pinta Nadya dengan suara yang lebih tenang, meskipun gemuruh emosinya masih belum surut. "Aku tidak yakin apakah dia mau menyusu atau tidak. Tapi, aku akan usahakan dulu."
Kalen hanya mengangguk, lalu melangkah keluar bersama John—sepupunya yang juga dokter kandungan di rumah sakit itu.
Nadya menatap bayi yang kini bersandar di dadanya, merasakan kehangatan kulit mungil itu menembus lapisan pakaiannya.
Dengan penuh kasih, ia mendekapkan tubuh kecil itu dan membiarkannya mencari sumber kehidupan.
Matanya berkaca-kaca saat Melvin mulai menyusu. Begitu lahap, seolah ia menemukan satu-satunya pelabuhan yang selama ini ia cari.
Dan di saat itu juga, Nadya menyadari satu hal—ikatan yang tak terlihat telah terjalin di antara mereka, sehalus benang sutra, namun sekuat takdir yang telah digariskan semesta.
"Sudah berapa lama kau tidak minum susu, Nak? Tampaknya kau sangat kehausan," lirih Nadya.
Jemarinya yang halus mengusap wajah bayi mungil itu dengan penuh kasih, seolah ingin menghapus setiap jejak kesedihan yang semesta berikan padanya.
Hampir setengah jam berlalu. Melvin menyusu dengan rakus, seakan menemukan kembali pelukan yang pernah direnggut darinya.
Dalam diam, Nadya menatapnya, merasakan detak jantung kecil itu bersatu dengan denyut nadinya sendiri. Namun, momen itu terhenti ketika suara langkah kaki memasuki ruangan.
Kalen kembali, sorot matanya kelam bagai samudra di malam tanpa bulan. Tanpa banyak kata, ia mengulurkan tangan dan menggendong bayinya kembali, seolah ingin memastikan bahwa kehidupannya masih ada dalam genggaman.
"Melvin sangat membutuhkan ASI milikmu, Nadya," ucapnya. Nada suaranya datar, tanpa emosi, seperti batu yang tak tergoyahkan oleh derasnya ombak.
Tatapannya tajam, menusuk langsung ke hati Nadya yang masih duduk di bangsal rumah sakit. "Jika kau punya hati, sebaiknya terima saja penawaranku."
Nadya menelan salivanya dengan pelan. Pandangannya jatuh kembali pada Melvin, tubuh mungil yang kini tertidur pulas dalam dekapan ayahnya.
Bibirnya bergetar sebelum akhirnya sebuah pertanyaan meluncur dengan suara nyaris tak terdengar.
"Bagaimana dengan orang tuamu dan juga mertuamu? Apa mereka tidak keberatan?"
Kalen mengangkat dagunya sedikit, ekspresinya tetap tak terbaca. "Tentu saja tidak. Ini keputusanku, dan sebaiknya segera beri jawaban sebelum kau menyesal, Nadya."
Nadya mengembuskan napas panjang, hatinya terasa seperti ombak yang berdebur di tengah badai.
Ia kembali menatap Melvin, lalu Kalen. Ada jarak yang terbentang di antara mereka, jarak yang dulu dipenuhi oleh kenangan manis, namun kini hanya tersisa bayang-bayang luka dan kesalahpahaman.
Akhirnya, dengan suara setenang embusan angin senja, Nadya berbisik, "Baiklah. Aku menerima tawaranmu. Aku tidak tega melihat bayi ini menangis kencang seperti tadi."
Kalen mengangguk pelan. Ada kilatan samar dalam matanya, sesuatu yang begitu cepat berlalu hingga Nadya hampir tak menyadarinya.
Ia tahu, sejak dulu Nadya adalah perempuan yang lembut, seorang wanita yang tak akan sanggup membiarkan seorang bayi menangis kelaparan tanpa berbuat apa pun.
"Aku harus mengurus administrasimu. Sebaiknya tunggu di mobil dengan John. Dia akan mengantarmu ke parkiran," ujar Kalen, suaranya masih penuh kontrol, tak sedikit pun membiarkan perasaannya menerobos keluar.
Nadya beranjak perlahan, tubuhnya masih lemah. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menapak di atas serpihan kaca, menyakitkan dan penuh kehati-hatian. Ia akhirnya duduk di kursi roda yang telah disiapkan.
Matanya beralih kembali ke Kalen, lalu ke bayi kecil yang masih berada dalam dekapan pria itu.
Ada sesuatu yang menusuk dadanya saat ia menyadari betapa eratnya Kalen memeluk anaknya, seolah Melvin adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap berdiri.
"Kemarikan anakmu. Aku akan membawanya bersamaku," kata Nadya, suaranya lebih tegas kali ini, meskipun ada getar halus yang tersembunyi di baliknya.
Kalen terdiam. Waktu seolah melambat. Ada keheningan panjang sebelum akhirnya ia menyerahkan bayinya kepada Nadya.
Namun, sebelum ia melepaskan genggamannya sepenuhnya, bibirnya terbuka, mengeluarkan bisikan yang lebih menyerupai pengakuan luka yang tak pernah sembuh.
"Hati-hati... Hanya dia yang kumiliki setelah kepergian istriku," suaranya lirih, tetapi penuh dengan kepedihan yang dalam. "Hanya dia... kenang-kenangan yang kumiliki bersama istriku."
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya. Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam. Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat. Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya. “Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu. Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk. “Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?” Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata. Matanya m
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan