"Ini kamarmu. Kau akan tinggal di rumahku sampai Melvin berhenti menyusui."
Suara Kalen bergema di antara dinding-dinding ruangan yang luas, namun tetap terasa dingin—sedingin es yang mengiris udara malam.
Langkah-langkah mereka terdengar samar di lantai marmer, berbaur dengan denyut waktu yang terasa begitu lambat.
Begitu tiba di dalam kamar, Kalen menunjuk ke arah ranjang yang telah disiapkan. Nadya masih duduk di kursi roda, menggendong Melvin erat-erat, seolah anak itu adalah satu-satunya pegangan di dunia yang terasa semakin asing baginya.
"Kau akan tidur dengan Melvin. Setiap dua jam sekali, kau harus menyusuinya." Suara Kalen datar, nyaris tanpa emosi, tetapi sorot matanya menusuk, seakan memastikan bahwa perintahnya tak bisa diganggu gugat.
Nadya menoleh pelan, matanya mencari sesuatu di wajah pria itu—sesuatu yang dulu pernah ia kenali, tetapi kini telah berubah menjadi bayangan yang asing.
Ada pertanyaan yang berputar di benaknya, sebuah rasa ingin tahu yang begitu kuat hingga ia tak bisa menahannya lebih lama.
"Aku boleh bertanya tentang istrimu?" suara Nadya lirih, nyaris seperti bisikan angin yang takut mengusik ketenangan malam. "Kenapa dia meninggal?"
Kalen tidak langsung menjawab. Ia menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering seakan menelan kepedihan yang tak kunjung hilang.
Lalu, tanpa menatap Nadya, ia melangkah ke sofa dan duduk di sana. Sorot matanya kosong saat menatap Melvin—anak yang kini menjadi satu-satunya alasan ia masih bernapas.
"Kecelakaan," jawabnya akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah di tengah badai. "Ada orang yang menyabotase mobilku. Mereka salah target. Sehingga Rania-lah yang harus meninggal dalam kecelakaan itu."
Nadya menutup mulutnya, napasnya tercekat oleh keterkejutan. Udara di ruangan itu seakan berubah menjadi lebih berat, menghimpitnya dengan kepedihan yang bukan miliknya, tetapi kini terasa begitu dekat.
"Aku... turut berdukacita atas kepergian istrimu," ucapnya pelan, hampir berbisik.
Kalen menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. Tatapannya berubah tajam saat ia menoleh ke arah Nadya.
"Jangan pernah menanyakan tentang istriku lagi, Nadya," katanya, suaranya mengandung ketegasan yang tak bisa dibantah. "Tugasmu di sini hanya merawat dan menyusui Melvin. Tidak lebih dari itu."
Nadya mengangkat kepalanya, menatap Kalen dengan mata yang mencari kebenaran di balik ucapannya.
Namun, yang ia temukan hanyalah dinding kokoh yang tak bisa ditembus. Kata-kata Kalen seperti palu godam yang menghancurkan harapan yang bahkan belum sempat ia bentuk.
Dari caranya berbicara, dari keteguhan yang tergambar jelas di wajahnya, Nadya tahu satu hal—Kalen memang tidak akan menggantikan Rania dengan siapa pun. Sampai kapan pun.
"Memangnya kau pikir aku akan melakukan apa? Akan menculik anakmu?" ucap Nadya dengan nada sedikit kesal, mencoba menyembunyikan perasaan tak nyaman yang mulai menyelinap ke hatinya.
Kalen tidak menjawab, tetapi Nadya bisa merasakan ketegangan di udara, seperti badai yang mengintai di balik langit mendung.
"Aku… baru saja kehilangan seorang anak yang bahkan belum sempat aku gendong," lanjutnya, suaranya merendah, penuh luka yang tak kasatmata. "Mana mungkin aku tega memisahkanmu dengan anakmu."
Sorot matanya jatuh pada wajah kecil Melvin yang tertidur begitu lelap di pelukannya. Bayi itu terlihat begitu damai, tak tahu betapa dunia di sekelilingnya penuh dengan kehancuran dan kehilangan.
Tangan Kalen mengepal erat. Rahangnya mengeras, matanya berkabut.
Kata-kata Nadya, sehalus apa pun itu, telah menghantamnya tepat di bagian terdalam jiwanya—tempat di mana semua luka dan rasa bersalahnya mengendap, tak pernah benar-benar sembuh.
"Jangan memasang wajah memelas seperti itu di hadapanku, Nadya. Aku tahu kau baru saja kehilangan bayimu, bahkan diceraikan oleh suamimu. Tapi, jika kau terus-menerus terpuruk dalam kesedihan, itu hanya akan menghambat ASI-mu."
Nada suara Kalen dingin, tajam seperti angin musim dingin yang menusuk kulit. Setiap katanya terucap tanpa belas kasih, seolah ia tak peduli bahwa luka di hati Nadya masih basah, masih menganga, masih perih dengan setiap tarikan napas yang ia hembuskan.
Nadya sontak mengangkat kepalanya, sorot matanya bertemu dengan milik Kalen—tatapan yang dulu pernah ia kenali sebagai tempatnya pulang, tetapi kini hanya seonggok kebekuan tanpa cahaya.
Ada bara kecil yang menyala di dadanya, antara marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.
"Kau benar-benar berubah, Kalen. Seolah tidak mengenalku," suaranya lirih, penuh dengan kepedihan yang tertahan. "Kenapa kau seolah membentang jarak dan bersikap arogan padaku?"
Ia bukan meminta simpati, bukan juga meminta tempat di hatinya. Yang ia inginkan hanyalah sedikit kehangatan, sedikit rasa kemanusiaan di antara kepahitan yang telah mereka jalani.
Kalen menghela napas, rahangnya mengeras, tetapi matanya tetap terjaga dalam ketenangan yang menyebalkan.
"Aku tahu kau hanya membutuhkan ASI milikku. Tapi, caramu memperlakukanku tidak lebih dari seorang pengasuh untuk anakmu," lanjut Nadya, suaranya mengandung nada getir yang tak bisa ia sembunyikan.
Matanya yang berkabut memandang pria di hadapannya, berharap menemukan sesuatu di sana—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa Kalen bukan hanya pria tak berperasaan seperti yang terlihat di permukaan.
"Kau takut aku akan menggantikan posisi Rania di hatimu?"
Nadya tersenyum lirih, senyum yang bukan berasal dari kebahagiaan, melainkan dari kepedihan yang mengalir begitu dalam.
Ia terkekeh kecil, tetapi suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang mengiris udara.
"Hanya karena kita pernah saling mencintai, lima tahun yang lalu."
Ucapannya menggantung di udara, meninggalkan bayangan masa lalu yang kini hanya tinggal abu.
Nadya menghela napas panjang, membiarkan keheningan menyusup di antara mereka. Angin malam yang masuk melalui celah jendela berbisik pelan di telinganya, membawa kenangan yang selama ini ia simpan di sudut hatinya.
Kalen mengalihkan pandangan, ekspresinya tetap dingin. Ia menatap Nadya tanpa sedikit pun getaran di matanya, seolah kata-kata wanita itu tak lebih dari angin lalu yang tak berarti apa-apa baginya.
"Aku bahkan tidak pernah berpikir seperti itu." Suaranya tajam, seperti pisau yang menggores luka lama, membuatnya kembali berdarah.
"Asal kau tahu, Nadya. Kesalahan yang kau buat padaku lima tahun yang lalu berhasil disembuhkan oleh Rania. Tidak akan pernah aku ulangi lagi.”
Nadya terdiam. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit paru-parunya.
Kalen mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, seolah lima tahun yang lalu hanyalah mimpi buruk yang ingin segera ia lupakan.
“Kau hanya salah paham, Kalen. Aku bisa menjelaskan semuanya—”
“Tidak perlu!” potong Kalen seolah tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Nadya.
Sorot matanya yang tajam siap menghantam dada Nadya lagi. "Jika bukan karena anakku alergi susu formula, mana mau aku menjadikanmu ibu susu untuk anakku!”
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya. Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam. Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat. Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya. “Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu. Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk. “Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?” Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata. Matanya m
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan