Dokter tersenyum sambil menatap bayi kembar yang tertidur pulas di balik kaca. "Mereka sudah menunjukkan perkembangan yang sangat bagus, Pak Baim. Masing-masing berat badannya sudah mencapai 3,2 sampai 4 kg. Itu adalah peningkatan yang sangat baik untuk bayi prematur."
Baim menghela napas lega, bahunya yang sempat tegang mulai merosot sedikit. "Syukurlah, Dok. Jadi, kapan saya bisa membawa mereka pulang?"
Dokter melipat tangan di depan dada. "Tiga hari lagi, mereka sudah siap keluar dari rumah sakit. Saat ini, mereka sudah tidak tidur di inkubator lagi," jelasnya.
Baim mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada bayi-bayinya. "Lalu bagaimana selama mereka di rumah, Dok? Dan bagaimana dengan ibu susunya yang setiap hari datang ke rumah sakit?"
Dokter menepuk dahinya ringan seolah baru teringat. "Ohh iya. Kemarin saya sudah mencatat nomor telepon ibu itu."
Ia merogoh saku jas putihnya, mengeluarkan secarik kertas yang sedikit terlipat. "Ini nomor ib
"Argh...!"Bruk!!Suara teriakan dan tubuh yang terhempas ke aspal memecah malam. Ayu membuka matanya perlahan, tak berani melihat apa yang terjadi di depannya.Bukan Baim. Para pemuda itu yang justru berlari tunggang-langgang. Salah satu tersungkur, lututnya berdarah, sementara yang lain terbirit-birit tanpa sempat menoleh. Pisau yang tadi mereka acungkan, kini ada di tangan Baim."Baim berdiri dengan tenang. Hanya napasnya yang masih terengah. Pisau itu dilemparkannya ke saluran air tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya—dingin, nyaris kosong.Ayu mulai bernapas lega meski tangan dan kakinya masih gemetar. Ia berlari menghampiri."Mas Baim..." teriaknya. "Astaga, Mas Baim nggak apa-apa, kan?" Tangannya sibuk menyentuh bahu, dada, serta lengan Baim untuk memeriksa kemungkinan adanya luka. "Di mana yang kena? Tadi aku lihat—"Baim meraih tangan Ayu, menghentikan gerakannya.Ayu belum berhenti memandangi Baim. Na
"Dasar! Laki-laki plin plan!" desis Ayu, nyaris tercekik amarah dan luka yang saling bertabrakan di dadanya.Langkah kakinya menghantam lantai lorong rumah sakit yang semakin sepi. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi ia terus berjalan, seolah hanya itu yang bisa dilakukannya. Dadanya sesak—bukan hanya karena pertengkaran barusan, tapi karena perasaan ditinggalkan yang tak bisa ia tolak.Tanpa sadar, ia telah masuk ke bagian lorong yang lebih gelap. Lampu neon meredup. Suara detak jam dinding terdengar terlalu jelas.Ia berhenti. Menoleh ke belakang—mencari. Mungkin... berharap Baim akan muncul dari balik tikungan, berlari mengejarnya, menyesal, memanggil namanya.Tapi lorong itu kosong. Hampa. Hening.Air matanya mengalir lebih deras. Ia mengatupkan mulut agar tidak terisak, tapi gagal. Isaknya pecah, dan tubuhnya terlipat begitu saja ke lantai.Ayu jongkok. Tangannya terlipat di atas lutut, kepala menunduk dalam-dalam."Dasar jahat... Kenapa harus mesra-mesraan di depanku?" bisiknya
Baim melepas pelukannya. Ia menekan tombol emergency sebelum mengusap air mata Laura dengan lembut."Laura... Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Kamu sudah membuktikan, kalau kamu telah berubah demi anak-anak."Laura menatap Baim, matanya masih sembab tapi ada hangat yang kembali muncul di sana."Tapi gimana dengan mereka, Mas? Mereka belum menyusu..."Baim menangkup wajah Laura. Jemarinya menyentuh pelipis istrinya seolah ingin meredakan segala cemas."Kamu nggak usah khawatir. Ayu sudah kembali ke rumah."Seketika mata Laura berbinar. "Benarkah? Jadi si kembar udah tenang?"Baim mengangguk dan tersenyum hangat. "Sudah, Laura. Ayu langsung menyusui mereka."Spontan Laura memeluknya erat. "Mas... Aku lega banget Ayu akhirnya kembali."Baim membalas pelukan itu, tangannya mengusap punggung istrinya perlahan, menghela napas panjang seolah beban besar baru saja terangkat."Iya, Laura. Kamu nggak perlu berjaga di rumah sakit lagi untuk cari donor ASI.""Iya, Mas..."Lalu... pandangan
"Laura… bangun."Baim menepuk pelan pipi istrinya. Suaranya gemetar, nyaris berbisik. Tapi Laura tetap diam. Wajahnya pucat, bibirnya kering, tak ada tanda-tanda kesadaran."Laura, dengar aku… jangan begini," bisiknya lagi, kini lebih putus asa. Ia menyentuh lehernya, mencari denyut, panik.Tanpa pikir panjang, Baim mengangkat tubuh Laura. Langkahnya gontai di awal, tapi seketika berubah menjadi lari tergesa. Lorong rumah sakit terasa panjang tak berujung. Napasnya memburu, jantungnya seakan berpacu dengan waktu. Ia tak akan memaafkan dirinya jika sesuatu terjadi pada Laura."Dokter! Tolong istri saya! Dia pingsan!" teriaknya, suaranya pecah.Seorang dokter dan dua perawat segera menghampiri. Mereka membawa ranjang dorong, menuntun Laura dengan sigap. Baim mengikuti di samping, tangan kirinya masih menggenggam tangan istrinya yang dingin."Kami periksa dulu, Pak," ucap dokter sambil mengecek tekanan darah dan denyut nadi."Apa yang terjadi, Pak? Sepertinya istri Bapak mengalami dehidr
"Lalu, di mana si kembar?" tanya Ayu. Suaranya parau, wajahnya menyimpan luka yang sulit disembunyikan."Fatma dan Sari sedang berusaha menenangkan mereka, Yu," jawab Mak Ti dengan lembut.Bik Imah menambahkan, "Iya, Non. Mereka sering rewel sejak Non Ayu pergi dari rumah ini."Ayu mengangguk pelan. Ia membalikkan badan, menatap Baim dengan sorot mata penuh harap."Mas… tolong ke rumah sakit. Susul Mbak Laura. Ajak dia pulang, ya? Bilang… aku sudah kembali."Tanpa banyak bicara, Baim mengangguk dan segera melangkah keluar.Ayu bergegas menuju lift, jantungnya berdegup tak karuan. Lantai tiga. Tempat dua buah hatinya menunggu.Begitu pintu kamar bayi terbuka, Ayu nyaris terhenti di ambang pintu. Tangis dua bayi menyeruak, memecah udara—keras, pilu, seolah memanggil-manggil seseorang yang tak kunjung datang.Fatma dan Sari sibuk menggendong si kembar, wajah mereka letih, mata sembab.Napas Ayu tersengal. Langkahnya goyah saat ia mendekat, lalu berlari kecil, seakan ingin memeluk seluruh
"Apa kamu pikir sudah menang?" gumam Sambo, menyeringai kecil.Tatapannya tajam seperti bilah pedang yang belum dihunus. Rahangnya mengeras, bola matanya merah menyala seperti bara. Di hadapan deretan kamera dan wartawan yang kini memandangnya dengan sinis, ia tetap berdiri tegak—wajahnya memancarkan kesombongan yang belum luntur."Sekali miskin, tetap miskin. Kamu nggak akan bisa melawan aku. Tukang sayur sepertimu cuma bisa bermimpi."Kata-katanya menyentuh telinga Ayu, tapi tak mengguncang jiwanya. Ia menatapnya dengan ketenangan yang dingin, seolah kata-kata itu hanya riak di permukaan."Kita lihat saja nanti," jawabnya datar. "Apakah Gubernur angkuh masih pantas disebut pemimpin?"Senyumnya tak mengembang. Tapi ada api tenang yang menyala di matanya."Aku akan membuat kalian semua mencicipi tempat paling rendah—lebih rendah dari tempat aku pernah jatuh."Ia berbalik. Langkahnya tenang namun tegas. Meninggalkan podium itu tanpa sekali pun menoleh. Tapi jika ada yang jeli memperhat