Pukul 01:00 dini hari, layar televisi di berbagai sudut kota menayangkan berita yang mengguncang publik.
"Kami telah menemukan bukti kuat dugaan korupsi yang melibatkan Sambo," ujar juru bicara KPK dalam siaran pers yang disiarkan secara langsung."Salah satu bukti kunci adalah rekaman video yang memperlihatkan Bram—tersangka kasus narkoba—mendatangi rumah Sambo dan menyerahkan sebuah amplop tebal. Dugaan kami, amplop tersebut berisi uang pelicin untuk melancarkan bisnis ilegal Bram."Tayangan berganti cepat, memperlihatkan cuplikan video berdurasi pendek: Bram mengenakan jaket gelap, melangkah masuk ke rumah Sambo, lalu menyerahkan sesuatu kepada seorang pria di ruang tamu."Selain itu, kami juga menemukan hubungan Sambo dengan beberapa perusahaan bermasalah," lanjut suara berita, diiringi tampilan grafik koneksi antar pihak."Semua data sedang kami proses dan akan segera diserahkan kepada pihak kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjutAyu menelan ludah. Tenggorokannya serasa tercekik. Pandangannya membeku pada mata Narendra, namun kakinya seperti tertancap di lantai. Dada Ayu naik-turun tak teratur, dan untuk sesaat, ia bahkan lupa cara bernapas dengan benar.Narendra perlahan bergeser, gerakannya tenang, penuh kendali. Ia menyibak helai-helai rambut Ayu yang tergerai ke pipinya, lalu menyelipkannya ke balik telinga—gerakan lembut yang justru terasa mengancam."Sungguh bodoh Jaka," ucapnya, nadanya seakan menyayat. "Gimana bisa dia menyia-nyiakan wanita secantik kamu?"Ia tertawa kecil, datar. Jemarinya masih melayang di dekat wajah Ayu."Aku selalu gregetan tiap lihat kalian. Dia cuma anak nakal yang nggak bisa mikir panjang—mabuk, wanita, pesta. Kamu pasti capek, ya?"Kelopak mata Ayu mulai berkedip cepat, seperti ingin menghalau air mata yang mulai mendesak naik. Napasnya makin tersengal. Ada getaran di bibirnya, seperti ingin bicara, tapi suaranya tertaha
Pukul 01:00 dini hari, layar televisi di berbagai sudut kota menayangkan berita yang mengguncang publik."Kami telah menemukan bukti kuat dugaan korupsi yang melibatkan Sambo," ujar juru bicara KPK dalam siaran pers yang disiarkan secara langsung."Salah satu bukti kunci adalah rekaman video yang memperlihatkan Bram—tersangka kasus narkoba—mendatangi rumah Sambo dan menyerahkan sebuah amplop tebal. Dugaan kami, amplop tersebut berisi uang pelicin untuk melancarkan bisnis ilegal Bram."Tayangan berganti cepat, memperlihatkan cuplikan video berdurasi pendek: Bram mengenakan jaket gelap, melangkah masuk ke rumah Sambo, lalu menyerahkan sesuatu kepada seorang pria di ruang tamu."Selain itu, kami juga menemukan hubungan Sambo dengan beberapa perusahaan bermasalah," lanjut suara berita, diiringi tampilan grafik koneksi antar pihak."Semua data sedang kami proses dan akan segera diserahkan kepada pihak kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut
Ayu menatap wajah Laura yang basah oleh air mata. Hatinya ikut hangus. Perlahan, ia meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat."Aku ngerti, Mbak," katanya lirih namun tulus. "Yang penting... Mbak Laura sekarang sudah kembali. Sayangilah keluargamu. Jangan sia-siakan mereka lagi."Ia menatap mata Laura, mencoba menyalurkan kekuatan lewat genggaman kecil yang mantap. "Tebus semua kesalahan di masa lalu."Laura mengangguk pelan, tapi matanya tetap sendu. Ia menyeka pipinya dengan tisu, lalu tersenyum pahit."Aku bahkan nggak bisa nenangin Arjuna dan Srikandi waktu mereka nangis. Cuma kamu yang bisa. Sampai-sampai... aku harus jadikan bajumu sebagai selimut mereka. Biar mereka merasa kamu masih ada."Ayu tercekat. Kata-kata itu menghunjam jantungnya seperti sembilu. Ia ingin tersenyum, tapi otot wajahnya tak sanggup bergerak. Pandangannya jatuh ke lantai. Napasnya pelan, namun berat.Maafkan aku, Nak... Maafkan ibu susumu..
"M-Mbak Laura... sejak kapan di sini?" suara Ayu nyaris tenggelam, menggantung di ujung lidahnya.Tubuhnya kaku di ambang pintu kamar. Pandangannya tertumbuk pada sosok Laura yang berdiri di belakang Umi Euis, seolah baru muncul dari bayangan.Jantung Ayu mencelos. Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini?Laura melangkah maju dengan senyum yang tak menyentuh matanya. Gerakannya tenang, terlalu tenang. "Sudah lumayan lama. Aku memang sengaja menunggu Baim pulang."Mata Ayu membesar. Bahunya naik turun, napasnya mulai tak teratur. "Jadi...""Sudahlah, jangan bicara di sini." Suara Umi Euis memotong, lembut tapi tegas. "Ayu, ajak tamu kamu ke ruang tamu, ya.""I-iya, Umi..."Langkah Ayu terdengar ringan tapi terburu. Suaranya menyisakan gema samar di sepanjang lorong. Laura menyusul, pandangannya menyapu dinding pucat, karpet usang, dan rak sepatu yang sedikit miring. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya, entah mengejek atau sekadar menilai."Silakan duduk, Mbak," ucap Ayu sambil m
"Menantu bodoh! Siapa yang kamu telepon?" desis Hayati, wajahnya menegang, satu tangan memegangi pergelangan yang memerah.Ayu berdiri tegak. Napasnya memburu, tapi senyum tipis menggantung di bibirnya—bukan senyum manis, melainkan dingin dan sinis."Kenapa? Anda mulai takut?"Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Umi Euis datang membawa nampan berisi wedang uwuh, aroma rempah menyeruak seketika. Matanya membesar melihat ketegangan di ruang tamu."Heh... ada apa ini? Kalian bertengkar?"Hayati menunjuk Ayu dengan dagu terangkat."Bilang sama anak yatim ini supaya tahu sopan santun. Dia barusan memelintir tanganku!"Umi Euis tertegun sejenak, lalu buru-buru meletakkan nampan di meja dan menghampiri Ayu."Ayu... ada apa, Nak? Kenapa sampai seperti ini?"Ayu tidak menjawab. Matanya tetap memandang ke depan, tak berkedip. Tapi perlahan, air mata mengalir di pipinya.Hayati mendengus."Ingat Ayu. Kamu masih punya utang sama aku. Kalau kamu nggak nurut, utang itu bakal berlipat!"Lalu ia
"Mama?" suara Ayu tercekat.Tubuhnya membeku. Tatapannya terpaku pada sosok Hayati yang berdiri kaku di ambang pintu. Sorot matanya tajam, menyala penuh bara.Langkah Hayati menghentak lantai. Tatapannya menusuk saat melihat Ayu duduk berdekatan dengan Baim."Bagus. Keluarga suamimu sedang dilanda masalah, dan kamu malah enak-enakan bersenang-senang dengan pria lain. Dasar tukang selingkuh!" suaranya melengking, membelah udara.Ayu bangkit. Tangannya mengepal di sisi tubuh."Selingkuh? Dari siapa?" suaranya meninggi. Kesabarannya retak."Mas Jaka? Jadi sekarang Mama mengakuiku sebagai menantu?"Ia tersenyum masam. "Padahal sejak awal, aku ini cuma pembantu buat kalian. Bahkan Mas Jaka lebih sering hamburkan uang buat perempuan jalanan daripada pulang bawa beras."Kening Hayati berkerut. Wajahnya menegang. Matanya memerah, hampir menyala."Tentu saja. Pembantu memang sebutan paling pantas buat kamu. Lalu maumu apa? Dicintai? Kamu itu cuma anak penjual sayur. Jangan mimpi tinggi!"Ayu m
Ayu menoleh secepat kilat. Napasnya tercekat."Mas Baim?" suaranya nyaris tak terdengar.Langkah Baim ringan saat mendekat, tapi sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung lepas, senyum yang tak bisa ditahan."Tega banget, ninggalin aku gitu aja."Ayu mundur setengah langkah, tangan meremas ujung bajunya."D-dari mana Mas tahu aku di sini?"Baim mengangkat alis, setengah mengejek. "Kamu pikir kamu punya banyak tempat buat sembunyi?"Diam. Ayu menunduk, seperti ada beban berat yang ditahan di tenggorokan. Pandangannya tak berani bertemu mata itu—mata yang dulu, dan mungkin masih, membuatnya lemah.Baim tak bergerak, hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Ayu semakin sempit."Sampai kapan kamu akan terus menghindar?"Perlahan, Ayu mendongak. Tatapannya hanya sebentar—cukup untuk mengaduk dadanya. Detak jantungnya jadi gaduh. Ia buru-buru menoleh ke arah lain."Ngapain Mas ke sini?" tanyanya, mencoba terdengar datar, tapi suaranya goyah."Anak-anak merindukanmu," kata Baim, pel
"Kamu masih belum percaya sama aku?" Narendra tersenyum tipis, dingin, tanpa hangat sedikit pun di matanya.Ayu terdiam. Pandangannya terkunci pada wajah itu—bukan karena rindu, tapi karena asingnya. Tatapan mata Narendra bukan seperti yang biasa ia kenal. Ada sesuatu yang gelap, seperti kabut yang menyelimuti."Tatapan ini... persis seperti pertama kali kami bertemu," batinnya.Kilasan itu datang tanpa permisi.—Dua tahun lalu. Di antara keramaian pasar Glodok, suara teriakan pedagang dan aroma bawang putih bercampur keringat. Ayu—gadis lugu dengan celemek lusuh—menenteng dua kantong sayuran, terburu-buru menuju lapak orang tuanya.Bruk!Tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Plastik di tangannya robek, tomat-tomat berserakan di tanah. Lelaki itu, berdasi tapi berkemeja santai, buru-buru membungkuk."Maaf… maaf banget. Aku nggak lihat jalan."Ayu hanya menunduk, canggung. Tapi lelaki itu menatapnya cukup lama. Sorot matanya menyala—bukan karena empati, tapi rasa tertarik yang belum
"Kalau begitu, kami pamit."Salah satu petugas KPK mengangguk singkat, lalu berbalik meninggalkan ruang tamu. Anggota lainnya mengikuti, membawa berkas dan beberapa barang bukti dalam kotak coklat.Begitu pintu terbuka, suara gemuruh langsung menyergap. Blitz kamera menyala, mikrofon terulur liar."Apakah benar Sambo menyembunyikan Jaka sebagai pembunuh orang tua Ayu?""Apakah Pak Sambo akan ditahan?""Apa benar Jaka menikahi Ayu agar terbebas dari jerat hukum?"Beberapa wartawan mencoba menyelinap masuk, mendorong tubuh mereka ke celah pintu yang masih setengah terbuka. Namun para pengawal Sambo bergerak cepat, membentuk barikade hidup. Sikut bersentuhan, tubuh berbenturan, namun rumah tetap tertutup rapat dari mata publik.Di dalam, Sambo ambruk bersimpuh di lantai marmer. Tubuhnya lunglai, kepalanya tertunduk dalam. Ia mencengkeram rambutnya, mencakar pelipisnya sendiri. "Hancur… semuanya hancur…" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.Hayati berlari mendekat, lututnya jatuh di sam