"Saya nggak enak sama yang lain. Jadi, biarkan saya makan bersama mereka saja, ya?"
Baim menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ayu dengan sorot penuh ketenangan.
"Ayu," katanya, nada suaranya lebih dalam. "Kamu adalah ibu susu anak-anakku. Aku perlu membahagiakanmu demi menjaga kualitas ASI yang kamu berikan untuk mereka."
Ayu tercekat. Kata-kata itu seharusnya terdengar biasa, sangat masuk akal. Tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya bergetar.
Dada Ayu berdesir pelan. Ia menggigit bibir, mencoba menekan perasaan yang mulai menguar di hatinya.
"Ya Allah… andai saja suamiku memperlakukanku seperti dia," bisiknya dalam hati.
Tapi seketika ia menggeleng halus, menepis harapan yang tak seharusnya ada.
Ia menarik napas dalam, lalu dengan ragu meraih sendoknya.
Di hadapannya, Baim masih tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya, Ayu merasa dihargai.
Bik Imah melangkah mendekati meja makan, tatapannya hangat saat i
Mak Ti yang berdiri di dekat Indri menyenggol lengannya pelan. "Udah, jangan cari masalah. Lebih baik kamu bersikap ramah sama karyawan baru kali ini."Indri mendengus, melipat tangan di dada. "Gak mau! Kalau bukan Ibu Laura, gak ada yang boleh memiliki hati Pak Baim—kecuali aku," ujarnya sambil menyeringai.Mak Ti menatapnya tajam. "Kamu pikir Pak Baim mau sama kamu?"Indri segera merangkul lengan Mak Ti dengan manja. "Mak Ti harus bantu aku dong! Pak Baim pasti nurut sama Mak Ti, kan?"Mak Ti mencibir. "Jangan mimpi..."Indri mendengus kesal, kakinya menghentak lantai dengan gemas.Setelah menghabiskan makan malamnya, Ayu segera menuju kamar si kembar untuk menyusui mereka. Sementara itu, para pengasuh menikmati makan malam bersama karyawan lainnya.Seperti biasa, si kembar menyusu dengan lahap sebelum akhirnya terlelap dalam tidur yang damai.Ayu menghela napas lega. Dengan penuh kasih, ia mengusap kepala mungil mereka
Ayu hanya diam, tak ingin terpancing.Indri menyeringai, tangannya semakin kuat menekan pel ke lantai. "Semoga aja gak ada yang lupa diri gara-gara kebaikan orang, ya. Soalnya, kalau jatuh dari angan-angan, sakitnya bisa keterlaluan."Ayu berusaha tak peduli. Ia hendak melangkah ke dispenser, tapi tiba-tiba ujung alat pel Indri berkali-kali menyentuh kakinya, seolah disengaja.Ayu berhenti. Mata mereka bertemu—tatapan Indri tajam, penuh amarah yang tak tersampaikan.Ayu menegakkan tubuhnya, menatap Indri dengan ekspresi tenang tapi menusuk. "Mbak Indri… Aku permisi ya, mau ambil air." Kali ini, nada suaranya mengandung sedikit ketegasan.Indri menyeringai sinis. "Gak liat apa aku lagi ngepel?" Gerakannya makin kasar, membasahi lantai di dekat kaki Ayu."Indri…" Suara Mak Ti dari meja makan terdengar seperti peringatan.
Baim hanya tersenyum kecil. "Apa yang kamu pikirkan? Sampai gak lihat aku yang berdiri di depan."Ayu berusaha tersenyum, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai menjalari tubuhnya. "Nggak kok, Mas. Gak ada…"Baim mengamati wajahnya. "Aku perhatiin, kamu sering jalan sambil nunduk. Di rumah sakit juga begitu. Itu pasti karena kamu banyak pikiran, kan?"Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Beneran enggak."Baim tak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu, dengan suara lebih lembut, ia bertanya, "Ayu… Apa ada sesuatu yang membuatmu gak nyaman di rumah ini?"Ayu ingin menjawab. Ingin sekali mengatakan bahwa iya, dia merasa tak nyaman. Tapi bukan karena rumah ini, bukan karena orang-orang di dalamnya.Tapi karena dia.Baim."Kamu yang membuat aku gak nyaman, Mas. Kebaikanmu terlalu berlebihan. Aku takut..." batinnya.Baim mengulurkan tangan, menyentuh bahunya pe
"Indri?"Indri menyilangkan tangan di dada, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa kaget? Kecewa yang datang bukan Pak Baim?"Ayu mengerjap, berusaha menguasai ekspresinya. "Ah... nggak kok. Aku cuma kaget. Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu nggak suka sama aku?"Indri terkekeh sinis, lalu mengangkat alat bersih-bersih yang dibawanya. "Servis room. Aku mau bersihin kamar kamu."Ayu menghela napas, membuka pintunya lebih lebar. "Oh... baiklah. Silakan."Indri melangkah masuk, bola matanya langsung berkeliling, menelusuri setiap sudut ruangan. Napasnya terdengar berat, seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Matanya menyipit ketika melihat fasilitas yang ada di kamar itu—tempat tidur yang lebih besar, lemari yang lebih mewah, bahkan ada kursi empuk di pojokan."Hebat juga kamu, bisa bikin Pak Baim memberikan semua ini," katanya, suaranya sarat dengan racun.Ia melangkah mendekat, lengannya bersedekap. "Kamu... nggak ngeray
Langkah Baim sempat terhenti, sorot matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku.Ayu buru-buru menutup dadanya dengan telapak tangan, wajahnya memanas seketika.Baim pun tampak kaget, tatapannya hanya bertahan satu detik sebelum dengan cepat ia membalikkan badan, punggungnya kini menghadap Ayu."Ohh, maaf, Ayu. Aku nggak tahu kamu sedang menyusui," ucapnya terbata.Suara beratnya memenuhi ruangan yang mendadak terasa sempit.Ayu menelan ludah. Dada yang sejak tadi sesak karena kejutan kini terasa semakin sulit bernapas."Ada perlu apa, Mas?" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup untuk membuat Baim kembali menegang.Baim terdiam sejenak, mengatur napas sebelum menjawab. "Aku mau pamit sama si kembar sebelum ke kantor."Perlahan, Ayu melepas bibir mungil Arjuna dari dadanya, lalu menarik kain untuk menutup tubuhnya. Dadanya masih naik-turun, bukan karena kelelahan, tapi karena jantungnya yang berdetak tak karuan."Iya
Ayu semakin panik. Situasi ini terasa menjeratnya dalam jebakan tanpa jalan keluar."Ngapain sih Mas Baim tanya terus?" batinnya resah. "Aku nggak mungkin jujur kalau aku jatuh cinta sama dia, kan? Di kontrak itu sudah jelas tertulis... kita nggak boleh terlibat secara emosi."Ia menggigit bibirnya, tetap enggan menatap Baim.Baim hanya tersenyum kecil, seakan sudah memahami semuanya.Perlahan, ia semakin mendekat. Ayu menahan napas, jantungnya semakin tak menentu.Tapi ternyata—Baim menunduk, bukan ke arahnya, melainkan ke bayi mungil dalam pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup kening Srikandi."Sayang..." bisiknya penuh kasih, "Papa berangkat kerja dulu, ya. Kamu jangan rewel, oke?"Ayu menatapnya dalam diam. Cara Baim memperlakukan si kembar, kehangatan yang selalu ia tunjukkan pada anak-anak i
"Indri?"Suara Ayu terdengar tenang, namun tatapannya penuh selidik. "Kamu belum selesai membersihkan kamar ini?"Indri menegakkan tubuhnya, menampilkan senyum setengah. Ia menyeringai kecil, berusaha terlihat santai meskipun jantungnya masih berpacu."Sudah, kok," katanya ringan, meraih perlengkapan kebersihan yang tadi nyaris ia lupakan. "Ini aku mau balik ke bawah."Ia menyelipkan pel ke dalam ember, menarik gagangnya dengan sedikit lebih keras dari seharusnya."Permisi, ya," tambahnya, sebelum melangkah cepat melewati Ayu, meninggalkan kamar itu dengan kepala penuh pertanyaan yang terus berputar.Di area dapur, aroma tumisan bawang bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membantu Bik Imah menyiapkan sarapan. Bunyi piring beradu dan suara gemericik air dari keran memenuhi ruang
Hening. Tak ada yang berbicara. Yang terdengar hanyalah suara penyiar berita yang terus menjelaskan latar belakang rekaman itu.Namun, satu hal yang pasti—semua orang di dapur kini terpaku pada layar, dengan pikiran yang penuh tanda tanya.Tak satu pun dari mereka berkedip. Semua mata terpaku pada layar televisi, menatap sosok Ayu yang masih terpampang jelas dalam rekaman berita."Ayu menantu gubernur?" suara Fatima terdengar gemetar.Mereka saling pandang, seolah berharap ada yang bisa memberikan jawaban masuk akal. Tapi tak ada yang bersuara.Indri, yang masih memproses informasi di kepalanya, akhirnya bersandar di kursi. Tangannya terlipat di atas meja makan. "Menurut kalian, apa Pak Baim tahu soal ini?"Sari, yang sejak tadi diam, akhirnya menatap Indri. "Kalau dia gak tahu, gimana?"Indri menarik napas, lalu menyilangkan tangan di dadanya. Matanya menyipit, seakan mencoba menyusun kepingan teka-teki yang baru saja terbuka.
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda
"M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h