"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...." Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar. Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri. Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab. Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres. Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan. "Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang." Tekad Ayu sudah bula
Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?" Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. H
"Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta
"Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi
Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket
Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda
"M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h
"Maaf, Nyonya. Saya harus mengepel lantai ini lagi. Permisi..."Tanpa membantah, Ayu mulai bekerja. Ia mengepel lantai dengan tenang, seolah tanpa emosi—meskipun di dalam hatinya, mungkin ia sedang menyusun balasan yang rapi dan penuh perhitungan.Semua orang di ruangan itu terdiam, tercengang. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Ayu.Rani mendekati ibunya, Hayati, lalu berbisik pelan,"Ada apa dengan Ayu, Ma? Tumben dia nggak melawan. Padahal tadi kelihatan banget dia siap berperang."Hayati mengerutkan kening, matanya terus mengikuti gerakan Ayu yang sibuk mengepel."Mama juga nggak tahu. Apa mungkin berita itu membuatnya berubah?""Oh... iya. Sekarang semua orang balik menyalahkannya," ujar Rani, tampak berpikir. "Jangan-jangan dia nyesel sudah sok berani di pesta Jaka kemarin."Tak lama kemudian, Sambo datang dengan langkah perlahan."Ayu... kamu sudah kembali?"Ayu berdiri. Tubuhnya menegang mendengar suara Sambo. "Tumben dia bertanya. Ada drama apalagi kali ini?"
"Apaan sih, Mas..."Sentuhan itu nyaris kena, tapi Ayu lebih cepat menghindar. Tubuhnya bergeser tanpa banyak usaha, menolak Jaka tanpa perlu tenaga.Jaka menyeringai kecil. "Yakin nggak mau? Nindi aja ketagihan.""Aku nggak sebodoh dia, Mas," desis Ayu. Matanya menusuk, pandangan dingin penuh penghinaan. "Mau-maunya melayani cowok mokondo."Seketika itu juga, pintu kamar terbuka.Nindi muncul, setengah berlari, memeluk Jaka dari belakang. Kain tipis membalut tubuhnya, nyaris transparan, memperlihatkan kulit bersih yang seperti sengaja dipamerkan."Mas Jaka... Ayolah. Aku masih mau lagi," suara Nindi terdengar manja.Jaka menggenggam tangan Nindi yang melingkar di pinggangnya. Ia terkekeh kecil, seolah pamer."Sayang... Kita kedatangan tamu," katanya sambil melirik Ayu.Nindi mengerucutkan bibir. "Dia itu bukan tamu, Mas. Dia juga istri kamu, kan? Suruh aja dia masuk. Pas banget rumah kita kayak kapal pecah. Biar
"Aku gak nyangka. Hidup Ayu setragis ini," bisik Laura. Kelopak matanya jatuh. Matanya berkaca-kaca. "Tragis? Memangnya Ayu kenapa, Bu?" tanya Indri, penasaran. Laura tak langsung menjawab. Ia menurunkan surat itu sedikit, lalu membalik halaman terakhir. Di sana, stempel kepolisian tampak samar, tapi jelas. "Ini… sepertinya surat perjanjian dengan suaminya. Dikeluarkan oleh kepolisian," gumamnya. Suara Laura terdengar jauh lebih pelan. Bukan karena ragu—melainkan karena beban. Amarah yang tadi menyulut-nyulut kini seolah meleleh begitu saja. Tatapannya tidak lagi membenci. Justru ada sesuatu yang menyerupai iba di sana. "Dikeluarkan oleh kepolisian? Memangnya itu surat apa, Bu?" Laura menarik napas dalam, menggeleng pelan. "Indri…" panggilnya, dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Jangan pernah ceritakan soal ini pada siapa pun. Termasuk Mas Bai
"Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang?"Baim menunduk, kedua bahunya turun seolah menahan beban yang tak terlihat. Tangannya meremas ujung jas, dan napas berat keluar perlahan dari sela-sela bibir. Di dalam dadanya, sesuatu terasa mengganjal, mencekik, membuat pikirannya kacau.Ia tetap berdiri mematung. Tatapan kosongnya melekat pada pintu yang tertutup rapat—sebuah jalan keluar yang terasa begitu jauh.Langkah kaki terdengar mendekat, membuat Baim menoleh pelan."Yoga..." suaranya serak, nyaris hanya bisikan. "Apa sebenarnya hubungan Bram dengan Gubernur?"Yoga berhenti beberapa langkah dari Baim, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada telinga lain yang mengintai. Ia melangkah lebih dekat, membungkuk sedikit, lalu berbisik di samping Baim, nadanya seperti mengendap di udara."Beliau adalah salah satu donatur utama dalam pemilihan Gubernur. Setelah itu, bisnis-bisnisnya tumbuh pesat, bahkan termasuk yang tidak ter
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Suara Baim terdengar berat. Seperti menahan beban yang teramat besar.Suasana di ruang rapat Hotel Gran Mahakam ini tampak mencekam. Lampu kristal menggantung tenang di atas meja panjang yang penuh oleh wajah-wajah tegang. Dua puluh pasang mata menatap ke arah ujung meja, tempat Baim duduk, jasnya rapi tapi kerah kemeja bagian dalam tampak sedikit kusut—seperti baru saja disesuaikan dengan tergesa.Tangan seorang pria paruh baya mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja, semakin cepat, semakin gelisah. "Kami gak mau tau," katanya akhirnya, suaranya berat dan memotong udara yang sejak tadi pekat. "Bagaimanapun juga, Baim harus turun dari jabatannya. Dia sudah mencoreng nama perusahaan."Baim menarik napas dalam, tapi matanya tak bergeming dari lawan bicaranya. Di balik ketenangan itu, jarinya menggenggam lengan kursi sedikit lebih erat."Pak…" katanya pelan, hampir seperti memohon tapi tetap berusaha menjaga