Ayu masih menunduk, tapi perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan mata Baim, dan saat itu juga, sesuatu bergetar di dadanya. Pria ini… bukan orang asing.
Seketika, ia menunduk lagi, enggan membiarkan perasaan aneh itu muncul.
Baim mengangkat alis. "Benar, bukan? Kita pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit."
Ayu menggeleng kecil. "Nggak, Pak. Itu hanya sekali."
Senyum kecil tersungging di sudut bibir Baim. "Ya, karena pertemuan kedua, kamu nggak mau melihatku. Kamu fokus berjalan menuju ruang kandungan."
Kalimat itu seperti petir yang menyambar udara. Suasana hening sejenak. Baim tampak berpikir, lalu tiba-tiba raut wajahnya berubah.
"Oh ya," katanya lebih pelan, seolah baru menyadari sesuatu. "Apa yang waktu itu kamu lakukan di ruang kandungan? Bukankah kamu masih di bawah umur?"
Ayu tersentak.
Baim menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi."Sudahlah. Semoga nanti dia memilih jalan yang lebih baik. Anak zaman sekarang benar-benar mengkhawatirkan," gumamnya pelan.Namun, meski ia berusaha menepisnya, ada perasaan aneh yang mengendap di dadanya. Entah kenapa, ia merasa ini bukanlah pertemuan terakhirnya dengan gadis itu.Setelah mendapat jamuan mewah di hotel Baim, Ayu melangkah keluar dengan langkah berat. Aroma parfum mahal masih samar di bajunya, tetapi tak ada lagi yang bisa ia nikmati. Yoga membukakan pintu taksi untuknya."Pak, turunkan saya di area pertokoan," katanya lirih.Supir taksi mengangguk. Ayu menatap kosong ke luar jendela sepanjang perjalanan. Gedung-gedung tinggi berkelebat, jendelanya menyilaukan di bawah terik matahari. Di kaca, ia melihat bayangannya sendiri—mata lelah, wajah kusut, bibir terkatup rapat.Taksi berhenti di kawasan pertokoan Kebayoran Baru. Ayu menarik napas dalam, menggen
Petugas itu mengecek data di komputernya. "Jika menuju alamat yang tertera di sini, satu juta lima ratus, Bu."Jantung Ayu mencelos.Tiga ratus ribu rupiah. Itu semua yang ia punya sekarang.Tangannya yang menggenggam uang mengepal lebih erat, seolah mencoba menciptakan keajaiban agar jumlahnya bertambah. Tapi tetap sama.Ia menundukkan kepala, kelopak matanya terasa panas. Dadanya naik-turun tak beraturan, lalu—air matanya jatuh.Tanpa suara, tanpa isakan. Hanya tetesan yang mengalir begitu saja, membasahi pipinya.Tangan kirinya naik ke dahi, memijit pelan bagian yang terasa berdenyut. Lelah. Kosong.Ia menghapus air matanya cepat, lalu mengangkat wajah dengan sisa keberanian yang ia punya. "Saya bawa sendiri saja, Pak," suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Petugas menatapnya sejenak, seperti ing
"Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui anak Anda meninggal karena sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari?""Ada yang mengatakan Anda sengaja membiarkan keadaan ini terjadi. Bagaimana Anda membuktikan bahwa Anda bukan ibu yang lalai?""Jika bisa mengulang waktu, apa yang akan Anda lakukan berbeda? Atau Anda memang sejak awal tidak siap menjadi seorang ibu?"Pertanyaan dari wartawan itu menekan Ayu secara emosional. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.Ayu mengeratkan pelukannya pada jenazah Bintang. Tubuh mungil itu terasa semakin ringan di dekapannya, seolah angin bisa saja menerbangkannya kapan saja. Kakinya gemetar, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena amarah yang mulai berdesir di dadanya.Dari mana mereka tahu? Dari mana datangnya semua orang ini? Keluarga Jaka bahkan tak peduli. Tidak ada seorang pun di rumah sakit, tidak ada yang menanyakan keadaannya. Tapi sekarang, di sini, mereka berkumpul seolah mereka peduli.Langkahnya
"Tapi jangan harap, aku akan melupakan apa yang Kak Rani lakukan padaku."Maharani membelalakkan mata, napasnya tersengal. Tangannya terangkat, jemarinya menegang, nyaris menghantam Ayu. Namun, sebelum pukulan itu melayang, Narendra mencengkeram pergelangan tangannya."Jaga sikapmu, sayang." Suaranya rendah, tapi tegas. "Di sini banyak orang."Maharani membeku. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah, tetapi hanya sekejap. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia menarik napas dalam, menurunkan tangannya dengan gerakan terkendali. Seketika, wajahnya kembali seperti semula—tenang, nyaris tanpa cela, seolah ledakan amarah tadi tak pernah ada.Di sudut lain, Sambo menghela napas panjang, lalu berkata cukup lantang, seolah ingin semua orang mendengar, "Jangan terlalu keras pada mereka, Ayu. Kita semua sangat kehilangan hari ini."Ayu berbalik, menatap ayah mertuanya itu."Kita?" tanyanya, dengan nada suara yang nyaris terdengar sep
"Ini terlalu menyakitkan... terlalu menyakitkan." sahut Hayati, sesenggukan.Namun Ayu hanya berdiri diam. Gamis sederhana yang ia kenakan berkibar pelan ditiup angin. Wajahnya kosong, seakan semua rasa sudah habis terkuras bersama kepergian Bintang. Tidak ada air mata. Tidak ada lagi isakan.Tatapannya beralih ke gundukan tanah merah di hadapannya. Jemarinya meremas kain rok yang ia kenakan. Bintang kini telah pergi, dan tak ada yang bisa mengubah itu. Apapun yang keluarga Jaka lakukan hari ini, semua hanya tampak seperti panggung sandiwara di matanya.Setelah pemakaman usai, para pelayat satu persatu meninggalkan area pemakaman.Jaka menelan ludah, matanya terasa perih oleh cairan yang baru saja diteteskan ibunya. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan waktu untuk mengeluh. Kamera wartawan masih terus mengawasi dia dan keluarganya, menunggu momen kesedihan yang bisa dijadikan berita utama.Kini ia mendekati Ayu, agar terlihat seperti suami yang san
"Hidupku sudah nggak ada artinya lagi. Bukankah itu justru menguntungkan kalian? Bisa pasang muka sedih, memancing simpati, dan jadi pusat perhatian. Semakin banyak yang terharu, semakin terhormat, bukan?"Maharani tersentak. Sorot matanya membara, napasnya memburu. Dengan gerakan cepat, ia meraih tas barunya—kulit asli, berlogo mahal—dan mengangkatnya tinggi, siap menghantam Ayu. "Kurang ajar kamu, ya!"Ayu tidak mundur. Tatapannya tajam, menusuk. Bibirnya melengkung sinis. "Itu tas yang Kakak beli setelah menjual aku kemarin, kan?"Gerakan Rani terhenti di udara. Matanya berkedip cepat. Jemarinya mencengkeram tas itu, lalu buru-buru ia sembunyikan di belakang tubuhnya, seolah bisa menghapus jejak dosa yang melekat padanya. "Menjual? Apa maksudmu?" suaranya bergetar, nyaris gugup.Hening sejenak. Semua mata tertuju padanya—termasuk Narendra. Pria itu menyipitkan mata, meneliti wajah Rani. "Sayang... apa yang dibilang barusan?"Ra
Baim mengusap wajahnya, pikirannya kembali kalut. "Jadi, saya harus mencari ibu susu baru?""Itu pilihan terbaik, Pak. Jika Anda bisa mencari ibu susu secara mandiri, kebutuhan ASI si kembar bisa tercukupi lebih baik."Baim mengangguk pelan. Wajahnya kembali dipenuhi kecemasan yang lain. Satu masalah selesai, tapi masalah baru selalu muncul. "Baik, Dok, saya akan mencari ibu susu untuk mereka secepatnya.""Kami juga akan membantu mencarikan dari sini," kata dokter menenangkan."Terima kasih, Dok," ucap Baim, suaranya sedikit melemah.Tak lama kemudian, dokter menyerahkan kedua bayi mungil itu kepadanya. Dengan hati-hati, Baim meletakkan mereka di kereta dorong bersusun. Kedua bayi itu tertidur lelap, wajah mereka begitu damai.Menghela napas panjang, Baim mulai mendorong kereta itu menuju area drop-off.Untuk pertama kalinya sejak bayi itu lahir, ia benar-benar membawa anak-anaknya pulang. Tapi entah kenapa, dadanya terasa semakin ber
"Kamu sudah bahagia, kan? Ibu senang kamu nggak perlu merasakan zalimnya keluarga ayahmu. Ibu senang kamu sudah tinggal di tempat yang nyaman di sana."Ia merebahkan tubuhnya di atas tanah, membiarkan dinginnya meresap ke kulitnya. Tangannya masih mengelus nisan Bintang, seakan berharap bisa merasakan denyut kehidupan yang telah pergi."Nak… Ibu rindu. Ibu kesepian di dunia ini. Bisakah kamu mengajak Ibu ke sana?"Matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Di tempat ini, di bawah langit yang perlahan menggelap, Ayu merasa dirinya bukan siapa-siapa. Hidupnya terasa begitu hampa, seolah ia hanya bayangan yang tersisa dari masa lalu.Setelah lama terisak dalam sunyi, Ayu menggerakkan tangannya ke dalam tas lusuh yang ia bawa. Ditariknya sebotol kecil ASIP yang hanya berisi tak lebih dari 15 ml. Tangannya gemetar saat menatap cairan bening itu.
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda
"M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h