LOGIN"Silahkan duduk, siapa namamu tadi?" tanya Axel.
"Namaku Kinan,"
"Oh, ya, Kinan. Selamat datang di rumahku, mulai hari ini kamu bisa bekerja disini." Kata Axel memberikan sebuah senyuman manis pada gadis itu.
Suara sepasang sepatu terdengar menandakan seseorang datang menghampiri mereka. Ternyata benar, Nenek Axel datang bersamaan seorang wanita muda di sampingnya.
Mereka begitu terkejut saat melihat Kinan yang kini duduk bersebrangan bersama Axel di ruang tamu.
"Nenek, bukankah itu..." ucap perempuan bertubuh ramping dengan blue dress selutut yang dikenakannya.
Belum saja dia bicara, Axel sudah menoleh ke arah mereka.
"Itu nenek dan juga teman kakakku." Kata Axel memberitahu.
Kinan segera bangkit, sambil tersenyum, dengan sopan dia menyalami nenek dan juga perempuan itu. Tapi mereka seolah enggan bersentuhan dengan Kinan. Keduanya saling berlirikkan satu sama lain.
"Segera pekerjakan dia, jangan banyak bicara lagi!" kata nenek, lalu dia kembali pergi di ikuti oleh perempuan tadi.
"Maafkan sikap nenekku, mungkin dia sedang badmood," ucap Axel sambil bercanda.
Dia mengantar Kinan ke sebuah ruangan, seorang pelayan membawakan tas Kinan, lalu menaruhnya di kamar tersebut. Sebuah ruangan yang berukuran cukup luas di sertai fasilitas yang nyaman dan juga lengkap di dalamnya.
"Ini kamarmu, kamu bisa istirahat disini," ucap Axel.
"Eu... bukankah ini terlalu mewah dan aku hanya..."
"Siapapun yang berada di rumah ini harus patuh pada peraturanku dan tidak ada yang boleh menolak, membantah apalagi melarangnya. Jadi, sebaiknya kamu tidak merasa keberatan bukan?" kata Axel lagi.
"Iya, Tuan," ucap Kinan sambil mengangguk ragu.
"Aku pergi dulu, kamu bereskan saja dulu barang-barangmu, setelah itu sarapan dan langsung bekerja, oke?" kata Axel sebelum dia pergi.
Lagi, Kinan hanya mengangguk saja. Senyumnya merekah saat melihat kamar yang begitu luas, rapih dan bersih akan menjadi tempatnya beristirahat setiap hari. Baru kali ini dia di perlakukan baik oleh sang majikan.
"Wah, kasurnya nyaman sekali," Kinan merebahkan diri di atas ranjang.
"Ehem!" tiba-tiba saja suara deheman terdengar. Perempuan yang mendampingi nenek Rianti datang menghampiri Kinan.
Tanpa ragu dia menarik kasar tangan gadis itu lalu menampar pipinya.
Plak!
"Berani-beraninya kau tidur di kamar adikku! Kau pikir kau ini siapa hah?!" ujar perempuan itu matanya menyorot tajam dengan emosi penuh menggebu-gebu.
Sambil menahan rasa sakit Kinan memegang pipinya. "Tapi Bu, aku..."
"Hei! Berani sekali kau memanggilku dengan sebutan ibu! Kau pikir aku sudah tua hah?! Kau ini siapa sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba saja datang dalam kehidupan Axel dan seketika membuatnya berubah padaku?" katanya lagi, dia memegang dagu Kinan dengan kasar.
"Ma-maaf Nyonya, aku tidak mengerti apa yang anda maksud, aku pikir anda terlalu berlebihan. Dan aku datang ke tempat ini hanya untuk bekerja, bukan merusak hubungan siapapun." Jelas Kinan.
Plak!
Satu tamparan lagi mendarat di pipi Kinan.
"Berani kau menjawab ucapanku!" Perempuan itu mengangkat telunjuknya di hadapan Kinan. "Ingat ya! Tidak ada satupun orang yang akan selamat jika dia berani merusak hubungan di antara aku dan Axel. Terutama kau, babu sialan!" ujarnya lalu pergi begitu saja menutup pintu dengan keras.
Mendapat perlakuan barusan membuat Kinan tersentak. Dia segera membereskan semua pakaiannya ke dalam lemari, lalu berjalan keluar kamar.
Kebetulan sekali Axel baru saja turun dari atas tangga. Dia tersenyum saat melihat Kinan yang melirik ke arahnya. Lalu tanpa ragu menarik tangan gadis itu menuju meja makan.
"Ayo kita sarapan bersama!" ajaknya begitu ramah dan lembut.
"Tapi Tuan Axel...maaf, aku hanya seorang pekerja, aku tidak pantas makan bersama kalian di atas meja makan." Tolak Kinan secara halus.
"Apa kamu tidak mendengar perkataanku di ruangan tadi? Semua orang di rumah ini harus patuh pada aturanku, tidak ada yang boleh menolak, membantah apalagi melarangnya. Ayok duduklah dan makan bersama kami!" Axel memundurkan sebuah kursi, mempersilahkan Kinan duduk.
Sikapnya begitu manis dan lembut sekali. Kinan merasa nyaman dibuatnya. Sesekali dia melirik ke arah Nenek Rianti dan juga perempuan bernama Sania yang duduk berdampingan bersamanya.
Mereka melihat tak suka pada Kinan yang terlalu di spesialkan oleh Axel, padahal gadis itu hanyalah seorang pekerja.
"Makanlah yang banyak, mengasuh seorang bayi akan membutuhkan tenaga yang banyak. Jadi, kamu harus makan yang banyak dan bergizi." Axel menaruh nasi dan beberapa lauk di atas piring Kinan yang kebingungan di buatnya.
"Tidak perlu repot-repot Tuan, aku bisa mengambilnya sendiri," ucap Kinan yang merasa risih di perhatikan oleh nenek dan juga Sania.
"Tidak apa-apa Kinan, kamu harus..."
"Cukup Axel!" nenek menggebrak meja makan dengan keras membuat Axel melihat ke arahnya.
"Ada apa nek?" tanya Axel heran.
"Jangan terlalu berlebihan memperlakukan seorang pembantu! Dan tidak seharusnya dia berada satu meja makan bersama kita. Dia hanya seorang pembantu!" kata nenek menekankan kata terakhirnya.
"Nenek, tolong tenang dan duduk kembali!" ucap Axel dengan lembut pada neneknya.
"Bagaimana nenek bisa tenang di saat kamu memperlakukan orang asing yang berstatus sebagai pembantu ini begitu spesial, nenek tidak habis pikir, apa yang membuatmu terpikat padanya?" jawab nenek Rianti.
"Iya Axel, lagipula kita tidak tahu bagaimana sifat asli perempuan ini. Mungkin saja dia adalah mantan kriminal atau...ada niat lain yang dia inginkan makannya dia mendekatimu," tambah Sania.
Axel mulai emosi. Dia merasa apa yang diucapkan nenek beserta mantan kakak iparnya itu sangat berlebihan. Baginya semua orang itu sama dan tidak harus di bedakan karena statusnya saja.
Brak!
Axel menggebrak meja tak kalah kasar dan kerasnya membuat mereka ketakutan.
"Apa kalian tidak mengerti tentang ucapanku waktu lalu? Aku yang berkuasa atas rumah ini. Rumah ini milikku, dan semua orang yang berada di rumah ini harus mematuhi aturanku, tidak ada yang boleh menolak, membantah apalagi melarang selain diriku. Apa kalian lupa?" kata Axel penuh emosi.
Nenek Rianti dan Sania mendadak diam seribu bahasa apalagi Kinan yang kini menunduk merasa tak nyaman karena keberadaannya membuat kacau suasana rumah.
"Permisi, kalau begitu aku..."
"Kinan! Tetap berada di kursimu dan habiskan sarapanmu!" kata Axel tegas.
Kinan yang hendak bangkit tak jadi. Dia kembali duduk, dengan ragu mengambil sendok makan. Sesekali melirik ke arah Nenek dan Sania yang seketika pergi meninggalkan mereka berdua di meja makan.
"Jangan diambil hati perkataan mereka. Makanlah, habiskan sarapanmu!" ucap Axel sambil menyuap sarapannya.
Kinan menurut, dia hanya mengangguk lalu menyuap makanan ke mulutnya meski selera makannya sudah hilang sejak tadi.
Beberapa menit berikutnya Axel mengajaknya menuju sebuah ruangan bayi. Di ikuti oleh Kepala pelayan mereka memasuki ruangan yang tampak seorang bayi perempuan kini tengah menangis di dalam boxnya.
Jiwa keibuan Kinan merasa terpanggil, dia segera mendekat ke arah box, lalu menggendong bayi itu dengan hati-hati. Seketika tangisannya berhenti saat Kinan menimangnya sambil bernyanyi untuk bayi itu.
"Jangan menagis lagi ya sayang," ucap Kinan pada bayi itu.
Melihat hal demikian membuat Axel tersenyum kagum begitupun kepala pelayan yang melihat sikap lembut Kinan yang terlihat sangat tulus menimang bayi.
"Kinan...kamu benar-benar sangat mirip sekali dengan Lea. Bahkan Bayi Reina saja sangat nyaman berada dalam gendonganmu, saat melihatmu seperti melihat sosok Lea hadir dalam dirimu, senyumanmu, wajahmu yang cantik, kalian sungguh mirip." Ucap Axel dalam hatinya.
"Tuan, sepertinya dia sudah berpengalaman mengasuh bayi, dia terlihat sangat tulus dan telaten," bisik Kepala pelayan pada Axel yang tersenyum mendengarnya.
"Iya, sepertinya aku tidak salah mempekerjakan seorang pengasuh untuk Reina." Balas Axel.
Kinan duduk sambil berusaha mengobrol bersama bayi itu. Tapi tiba-tiba saja dia teringat dengan sosok Januar. Saat mereka masih berpacaran dia sering sekali mengasuh keponakan Januar bahkan mereka sering sekali membawa bayi itu pergi bersama kemanapun mereka pergi.
Lagi-lagi Kinan melamun. Dia masih sangat mengingat kenangan-kenangan indah bersama kekasihnya. Angan-angan yang begitu tinggi selalu terbayang berkhayal bisa menikah dengan laki-laki yang sangat dicintainya. Tak terasa air matanya menetes.
"Kinan..." panggil Axel yang membuatnya tersadar kembali. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya setelah melihat Kinan yang tiba-tiba meneteskan air mata.
"Axel!" panggil Sania saat Axel berniat akan pergi menuju kamar Kinan. "Ya?" balas Axel menoleh ke arah mantan kakak iparnya. "Eu...boleh aku meminta tolong padamu?" tanyanya sedikit canggung."Maaf Sania aku..." "Ini bukan tentangku Axel. Tapi tentang Nenek Rianti, keinginannya yang sempat tertunda dan kau mungkin tidak tahu itu." Kata Sania yang membuat kening Axel mengerut. "Keinginan apa maksudmu? Baru saja aku keluar dari kamarnya dan dia tidak membicarakan hal apapun denganku." Jawab Axel. "Kau salah Axel. Justru Nenekmu sangat merahasiakan semua ini darimu agar kau tidak banyak pikiran. Dan aku hanya ingin dia bahagia. Aku akan memberitahumu soal ini." "Apa itu? Cepat katakan dan jangan membuatku lama menunggu!" tegas Axel tak sabar. "Dia ingin kau segera menikah Axel, dan dia ingin kau menikah di hari ulang tahunnya." Jelas Sania. Axel sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Sania perihal keinginan Neneknya tersebut. Beberapa jam yang lalu dia mendengar ucapan yang
isak tangisan Kinan yang memungut bekas sobekan kertas itu terdengar samar di telinga Axel yang tengah menuruni tangga. "Kinan? Apa itu suara tangisannya?" gumam Axel. Kakinya melangkah terburu-buru, tapi saat hendak menuju ke arah Kinan, Tiba-tiba saja Sania datang lalu menahan tangan Axel. "Axel, Nenek Rianti memanggilmu. Katanya dia ingin membicarakan sesuatu denganmu." Kata Sania yang sontak saja membuat Axel menoleh ke arahnya. Langkahnya yang terhenti kini berbalik arah menuju kamar Nenek Rianti. Axel tak sedikitpun memperlihatkan kecemasannya pada Kinan. Padahal hati dan pikirannya tengah kalut dan juga penasaran dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan gadis itu tanpanya. Sambil berjalan di ikuti Sania di belakangnya, hati laki-laki itu tak bisa berhenti bicara. Merasa bersalah, kesal dan gundah gulana. "Apa mungkin hasilnya tidak sesuai dengan yang dia inginkan? Makannya dia menangis? Atau...mungkin dia sedang meminta simpati dariku?" ucap batinnya. Tiba di kamar sang N
Mereka saling memandang satu sama lain. Memberi jarak cukup jauh, sambil mengingat kejadian saat pertama kali mereka bertemu. Bayangan-bayangan itu muncul kembali tanpa di minta. Saat pertama kali Axel memeluknya dengan hangat. Mengecup keningnya, mengucapkan kata indah dan menjadi garda terdepan di saat semua orang melukainya. Kinan berjalan melewati Axel, tanpa permisi ataupun merasa tak sopan pada majikannya. Hap! Dengan cepat Axel menangkap lengannya. "Siapa yang menyuruhmu keluar dari mobil tanpa seizin ku?" tanya Axel memperkuat genggaman tangannya. Kinan meringis sakit. Tapi dia mencoba menahannya. "Anda sendiri yang memaksaku keluar dari mobil. Memaksaku berkeinginan untuk pergi bahkan bukan hanya keluar dari mobil. Tapi, keluar dari kehidupanmu!" jawab Kinan tanpa rasa takut. Entah darimana dia tiba-tiba saja mempunyai keberanian menatap tajam ke arah Axel. Sambil tersenyum licik Axel mengarahkan tubuh Kinan ke hadapannya. "Kau sendiri yang memulainya! Jadi, nikmati sa
Tak ingin menjawab. Kinan hanya duduk di atas ranjang sambil menatap kosong. Tasnya terjatuh begitu saja tanpa dia pedulikan. Meri duduk di sampingnya sambil menatap iba. "Pasti kamu baru saja mendapat hal yang buruk 'kan?" ucapnya sambil memegang tangan Kinan. Kinan melirik ke arahnya memaksa memberi sebuah senyuman agar sahabatnya itu tidak merasa sedih. "Aku baik-baik saja." Katanya. "Ganti pakaianmu! Kita ke rumah sakit sekarang!" ujar Axel yang tiba-tiba saja datang. Kinan dan Meri saling berlirikkan. Karena takut kena omel, Meri segera pergi. Sementara Axel tetap menunggu. "Tunggu apalagi? Cepat ganti pakaianmu!" bentak Axel lagi. "Bagaimana bisa aku mengganti pakaian kalau Tuan masih berada disini!" jawab Kinan tegas. Axel tersadar. Dia menutupi rasa malunya dengan berbalik badan. "Kalau begitu aku tunggu di luar!" katanya pergi sambil menutup pintu dengan keras. Kinan tersentak kaget. Dia segera berjalan menuju lemari, mengganti bajunya lalu sesegera mungkin menyusul A
"Bohong! Tadi dia sempat mengatakan sesuatu, apa itu? Apa dia sudah mengetahui tentang kehamilamu hah?!" "Tidak! Tuan Axel tidak mengatakan apapun." Jawab Kinan tegas membuat Sania melotot padanya. "Awas saja jika kau berbohong. Aku akan mengadukanmu pada Nenek Rianti. Kau akan tahu akibatnya!" Sania pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Kinan kembali ke dapur untuk mengerjakan aktivitas lain. "Ada apa? Kenapa wajahmu muram sekali?" tanya Meri yang kini sedang mencuci piring di wastafel. "Haruskah aku pergi darisini?" tanya Kinan tiba-tiba yang membuat Meri segera menghentikan pekerjaannya. Dia membasuh tangan lalu duduk di samping Kinan. "Apa maksudmu Kinan? Kau ingin pergi? Memangnya ada masalah apalagi?" tanya Meri lagi. "Ceritanya panjang Meri. Rasanya aku tidak sanggup lagi hidup di neraka ini." Jawab Kinan dengan suara parau menahan tangisnya. Meri mendekat, lalu memeluk sahabatnya. "Aku tahu dan aku sangat paham dengan keadaanmu. Tapi bayimu harus mendapat pengaku
"Aku harap kau bisa berbicara dengan kedua orangtuamu agar pernikahan ini di undur. Maaf aku harus segera pergi, ada pekerjaan yang sangat penting yang harus segera aku kerjakan." Kata Axel pergi terburu-buru meninggalkan Stella yang kini berdiri sendiri di depan gedung. "Axel..." panggil Siella yang sudah terlambat. Axel memasuki sebuah taxi yang baru saja lewat. Dia melihat ke arah handphone yang terdapat video CCTV di rumahnya. Axel ingin tahu apa saja yang dilakukan Adrian pada Kinan.Terlihat dalam rekaman itu Adrian yang memaksa Kinan untuk mengambil beberapa paper bag hasil belanjaannya tadi. Ternyata Adrian sengaja membeli beberapa kebutuhan Kinan. "Terimalah Kinan. Anggap saja ini sebagai rasa terimakasihku padamu karena kamu sudah menemaniku berbelanja dan memberi banyak saran yang baik untukku." Kata Adrian. "Tapi Adrian...aku tidak bisa menerima semuanya. Maaf, aku merasa tidak pantas menerimanya." Tolak Kinan."Kenapa tidak pantas? Kau melakukan kebaikan, dan ini sang







