LOGINSetibanya di kampus, Samuel tetap bersikeras mengantar sampai ke dalam.“Mas Sam, aku bisa sendiri kok,” protes Violet sambil menahan tawa.“Tentu bisa. Tapi aku tidak percaya dengan insting arahmu,” balas Samuel datar.Violet mendengus kecil, tapi membiarkan Samuel berjalan di sebelahnya. Beberapa mahasiswa yang lewat melirik mereka. Sebagian tersenyum sopan, sebagian lagi malah berbisik pelan, mungkin mengira Samuel adalah dosen muda atau ayah Violet."Mas Sam," Belum sempat Violet berbicara, seorang mahasiswa laki-laki mendekat. Tinggi, berwajah Eropa, dengan rambut sedikit acak dan senyum menawan.“Excuse me,” katanya sopan sambil menatap Samuel. “Apakah Anda ayah dari Mademoiselle Violet?”Samuel langsung menegang. “Ayah?” ulangnya pelan, nada suaranya naik setengah oktaf.Violet menunduk menahan tawa. “Dia bukan ayahku… dia—”Namun sebelum Violet sempat menjelaskan, si mahasiswa itu melanjutkan,“Nama saya Adrien. Saya sekelas dengan Violet. Saya ingin memperkenalkan diri karen
Pagi itu Paris tampak cerah. Langit biru muda seolah memantulkan semangat Violet yang sedang bersiap ke kampus. Gadis itu berlari kecil sambil memegang roti panggang di tangan.“Mas Sam! Cepat! Aku telat!”Samuel, yang sudah berdiri rapi dengan jas abu dan kemeja putih, menghela napas pelan. “Mon Amour, kamu baru hari kedua kuliah, tapi sudah seperti pekerja kantoran yang dikejar tenggat waktu.”Violet menjulurkan lidah kecilnya. “Aku tidak mau terlambat, Mas! Nanti aku malu di depan dosen!”Samuel menatap wajah gadis itu, rambutnya dikuncir setengah, Baju kasual, dan senyum yang membuat seluruh rumah terasa terang. Astaga, pikirnya, kenapa anak ini makin mirip malaikat kecil yang tumbuh terlalu cepat?---Beberapa menit kemudian, mobil hitam Samuel kembali meluncur di jalanan kota Paris. Langit biru pucat berbaur dengan sisa kabut pagi, dan musik pelan mengalun dari radio, nada lembut dari lagu Prancis lama yang entah kenapa terasa pas dengan suasana mereka hari itu.Violet duduk di
Begitu memasuki ruangan, Violet langsung disambut udara hangat dari penghangat ruangan (heater). Ia duduk di deretan tengah, membuka buku catatan barunya dengan tangan sedikit canggung.“Tenang, Violet. Ini cuma hari pertama,” bisiknya pada diri sendiri.Tapi tetap saja, pikirannya masih tertinggal di depan gedung tempat Samuel berdiri sambil tersenyum.Ia bisa membayangkan ekspresi pria itu yang tampak puas karena berhasil menyelamatkannya dari taman.“Mas Sam itu kayak detektif…” gumamnya pelan sambil menulis nama di pojok buku. “Tapi versi yang suka ngomel.”Gadis di sebelahnya, seorang mahasiswa asal Prancis bernama Amélie, menoleh penasaran.“Tu parles toute seule?” (Kau bicara sendiri?)Violet langsung panik. “Ah! No— I mean, yes— I mean… sorry!”Amélie tertawa lembut. “Don’t worry. First day is always crazy.” (Jangan khawatir, hari pertama memang selalu gila.)Violet tersenyum malu. “Yeah, crazy… very crazy.” (Iya, benar-benar gila.)Ia menatap ke arah jendela. Dari tempat dudu
Begitu memasuki ruangan, Violet langsung disambut udara hangat dari penghangat ruangan (heater). Ke mm Ia duduk di deretan tengah, membuka buku catatan barunya dengan tangan sedikit gemetar.“Tenang, Violet. Ini cuma hari pertama,” bisiknya pada diri sendiri.Tapi tetap saja, pikirannya masih tertinggal di depan gedung—tempat Samuel berdiri sambil tersenyum.Ia bisa membayangkan ekspresi pria itu yang tampak puas karena berhasil menyelamatkannya dari taman.“Mas Sam itu kayak detektif…” gumamnya pelan sambil menulis nama di pojok buku. “Tapi versi yang suka ngomel.”Gadis di sebelahnya, seorang mahasiswa asal Prancis bernama Amélie, menoleh penasaran.“Tu parles toute seule?” (Kau bicara sendiri?)Violet langsung panik. “Ah! No— I mean, yes— I mean… sorry!”Amélie tertawa lembut. “Don’t worry. First day is always crazy.”Violet tersenyum malu. “Yeah, crazy… very crazy.”Ia menatap ke arah jendela. Dari tempat duduknya, samar-samar ia bisa melihat pelataran depan kampus. Dan di sana, t
Sementara itu di dalam kampus, Violet berusaha keras mengingat arah gedung sesuai peta yang diberi panitia orientasi.Namun sayangnya, kemampuan mengingat arah bukanlah keahliannya.“Gedung C ke kiri, lalu belok kanan… atau sebaliknya?” gumamnya bingung.Ia melangkah ke arah yang salah, dan dalam waktu sepuluh menit sudah tersesat di antara taman luas dengan patung-patung tua.Beberapa mahasiswa menatapnya sambil tersenyum kecil. Melihat wajah Violet yang tampak kebingungan, membuat mereka gemes. Apa lagi Violet memang memiliki wajah yang cantik dan juga imut.Violet hanya bisa tersenyum kaku sambil berpura-pura membaca peta yang terbalik.Ponselnya bergetar.Pesan dari Samuel muncul di layar:"Sudah sampai kelas, Mon Amour? Jangan bilang kamu tersesat."Violet mendengus kecil.Bagaimana mungkin pria itu bisa selalu tahu?Ia membalas cepat.“Tidak tersesat, hanya… sedang menikmati taman.”Beberapa detik kemudian, notifikasi balasan muncul.“Taman di sisi timur atau barat?”“Kalau di t
Mobil hitam milik Samuel meluncur mulus di jalanan Paris yang mulai padat. Udara pagi terasa segar, langit biru muda bersih tanpa awan. Di dalam mobil, suasana awalnya hening hanya ada suara lembut dari musik yang memutar lagu La Vie en Rose versi instrumental.Violet menatap keluar jendela, matanya berbinar melihat bangunan-bangunan klasik kota itu. “Paris selalu seperti ini, ya? Cantik tapi juga kelihatan sibuk.”Samuel melirik sekilas, tersenyum. “Paris itu seperti perempuan cantik yang tahu dirinya menarik. Tidak pernah terburu-buru, tapi selalu membuat orang terpana.”Violet menoleh cepat, menatapnya. “Perempuan cantik, ya?”Samuel sadar ucapannya bisa diartikan ganda, lalu buru-buru berdehem. “Maksudku… kota ini.”“Tentu saja,” jawab Violet dengan senyum jahil di sudut bibirnya.Samuel meliriknya dari ujung mata. Gadis itu, meski masih sangat muda, sudah tahu cara membuat seseorang kehilangan fokus, terutama dirinya.Beberapa menit berlalu, lalu Violet mulai menunduk, membuka ko







