LOGINBegitu memasuki ruangan, Violet langsung disambut udara hangat dari penghangat ruangan (heater). Ke mm Ia duduk di deretan tengah, membuka buku catatan barunya dengan tangan sedikit gemetar.“Tenang, Violet. Ini cuma hari pertama,” bisiknya pada diri sendiri.Tapi tetap saja, pikirannya masih tertinggal di depan gedung—tempat Samuel berdiri sambil tersenyum.Ia bisa membayangkan ekspresi pria itu yang tampak puas karena berhasil menyelamatkannya dari taman.“Mas Sam itu kayak detektif…” gumamnya pelan sambil menulis nama di pojok buku. “Tapi versi yang suka ngomel.”Gadis di sebelahnya, seorang mahasiswa asal Prancis bernama Amélie, menoleh penasaran.“Tu parles toute seule?” (Kau bicara sendiri?)Violet langsung panik. “Ah! No— I mean, yes— I mean… sorry!”Amélie tertawa lembut. “Don’t worry. First day is always crazy.”Violet tersenyum malu. “Yeah, crazy… very crazy.”Ia menatap ke arah jendela. Dari tempat duduknya, samar-samar ia bisa melihat pelataran depan kampus. Dan di sana, t
Sementara itu di dalam kampus, Violet berusaha keras mengingat arah gedung sesuai peta yang diberi panitia orientasi.Namun sayangnya, kemampuan mengingat arah bukanlah keahliannya.“Gedung C ke kiri, lalu belok kanan… atau sebaliknya?” gumamnya bingung.Ia melangkah ke arah yang salah, dan dalam waktu sepuluh menit sudah tersesat di antara taman luas dengan patung-patung tua.Beberapa mahasiswa menatapnya sambil tersenyum kecil. Melihat wajah Violet yang tampak kebingungan, membuat mereka gemes. Apa lagi Violet memang memiliki wajah yang cantik dan juga imut.Violet hanya bisa tersenyum kaku sambil berpura-pura membaca peta yang terbalik.Ponselnya bergetar.Pesan dari Samuel muncul di layar:"Sudah sampai kelas, Mon Amour? Jangan bilang kamu tersesat."Violet mendengus kecil.Bagaimana mungkin pria itu bisa selalu tahu?Ia membalas cepat.“Tidak tersesat, hanya… sedang menikmati taman.”Beberapa detik kemudian, notifikasi balasan muncul.“Taman di sisi timur atau barat?”“Kalau di t
Mobil hitam milik Samuel meluncur mulus di jalanan Paris yang mulai padat. Udara pagi terasa segar, langit biru muda bersih tanpa awan. Di dalam mobil, suasana awalnya hening hanya ada suara lembut dari musik yang memutar lagu La Vie en Rose versi instrumental.Violet menatap keluar jendela, matanya berbinar melihat bangunan-bangunan klasik kota itu. “Paris selalu seperti ini, ya? Cantik tapi juga kelihatan sibuk.”Samuel melirik sekilas, tersenyum. “Paris itu seperti perempuan cantik yang tahu dirinya menarik. Tidak pernah terburu-buru, tapi selalu membuat orang terpana.”Violet menoleh cepat, menatapnya. “Perempuan cantik, ya?”Samuel sadar ucapannya bisa diartikan ganda, lalu buru-buru berdehem. “Maksudku… kota ini.”“Tentu saja,” jawab Violet dengan senyum jahil di sudut bibirnya.Samuel meliriknya dari ujung mata. Gadis itu, meski masih sangat muda, sudah tahu cara membuat seseorang kehilangan fokus, terutama dirinya.Beberapa menit berlalu, lalu Violet mulai menunduk, membuka ko
Violet duduk di kursi rotan, mengenakan sweater putih yang kebesaran, sweater milik Samuel. Lengan bajunya menutupi hingga ke telapak tangan, membuatnya terlihat semakin mungil.Samuel datang membawa dua cangkir cokelat panas.“Minum ini, Paris bisa sangat dingin di malam hari.”Dari balkon lantai dua rumah Michael, aroma bunga lavender dari taman belakang terbawa angin, menyatu dengan suara kota yang pelan.Violet menerima cangkir itu dengan senyum malu. “Terima kasih, Mas Sam.”Tangannya bersentuhan dengan tangan Samuel dan meskipun hanya sekejap, cukup untuk membuat jantung Samuel berdetak sedikit lebih cepat.Ia berdehem kecil, mencoba mengalihkan suasana. “Jadi… bagaimana perjalananmu? Capek?”“Sedikit,” jawab Violet, meniup permukaan minumannya. “Tapi aku suka aroma udaranya di sini. Rasanya seperti… sangat segar dan bersih.”Samuel menatap gadis itu lama. Ucapan sederhana itu terdengar jauh lebih dalam di telinganya. "Aku senang jika kamu suka. Jarak dari apartemenku ke kampus
Bandara Aéroport de Paris–Charles de Gaulle sore itu ramai luar biasa. Suara koper bergulir, panggilan dari pengeras suara, dan langkah-langkah terburu-buru bercampur menjadi satu. Di antara keramaian itu, Samuel berdiri tegak di dekat area kedatangan internasional, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya.Matanya menatap jam di dinding, sudah lewat sepuluh menit dari jadwal kedatangan pesawat dari jakarta.Entah mengapa, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.Ini cuma menjemput anak kecil, katanya dalam hati.Tapi hatinya menolak tenang.Beberapa penumpang mulai keluar dari pintu kaca besar. Di antara kerumunan itu, Samuel melihat sosok yang ia kenal, Eliza, mengenakan mantel biru tua, sedangkan tangannya mengandeng seorang gadis muda yang rambut hitamnya terurai lembut di bahu.Gadis itu Violet.Samuel terpaku. Jantungnya berdebar dengan cepat. Violet, bukan lagi gadis kecil yang dulu ia gendong, yang selalu berlari ke arahnya sambil membawa boneka beru
Sore itu, matahari menurun perlahan, memantulkan warna jingga keemasan di dinding apartemen. Di tengah ruangan yang luas dan rapi, terdengar tawa kecil seorang gadis berusia lima tahun, Meline, keponakan yang paling disayangi Samuel.Ia tengah duduk di pangkuan pamannya, memegang sisir kecil berwarna merah muda, mencoba menata rambut Samuel yang berwarna kecoklatan… dengan sedikit uban di sisi pelipisnya.“Paman Sam!” serunya dengan nada setengah protes. “Lihat, rambutmu sudah putih! Ini tandanya kamu sudah tua.”Samuel tertawa pelan. “Oh ya? Meline tahu dari siapa itu?”“Dari mommy! Mommy bilang rambut orang yang sudah putih itu artinya dia sudah tua, seperti Daddy. Tapi kenapa paman belum menikah? Bukankah orang dewasa kalau sudah tua harus menikah?”Samuel mendesah pelan, menatap wajah mungil keponakannya yang tampak begitu polos. “Pertanyaan kamu kadang terlalu serius, Meline.”Meline mengerucutkan bibirnya. “Aku cuma penasaran. Paman baik, paman ganteng, paman jenius, paman juga







