Pagi itu Sherly membuka hari dengan senyuman lebar. Ia duduk di teras apartemen, ditemani secangkir kopi dan langit kota yang cerah. Gaun tidurnya masih membalut tubuh rampingnya. Ia merasa seperti ratu yang baru saja menaklukkan medan perangnya sendiri.Ia mengangkat ponselnya dan membuka media sosial. Wajahnya langsung berbinar saat melihat jumlah views pada video fitnah yang ia unggah malam sebelumnya. Ratusan ribu penonton. Ribuan komentar. Banyak yang mencaci Albert, menyudutkan Eliza, dan mempertanyakan moral keluarga Hermawan.Sherly tersenyum puas."Lihat, dunia percaya padaku," batinnya penuh kemenangan.Namun, hanya beberapa detik kemudian, senyum itu menghilang.Video yang ia unggah sudah tidak ada.Tombolnya kini bertuliskan: “Video telah dihapus karena melanggar kebijakan.”Sherly mengerutkan kening. Ia mencoba memuat ulang halaman, namun hasilnya tetap sama. Video itu lenyap. Ia segera membuka akun-akun gosip yang sebelumnya membantu menyebarkannya. Tapi tidak hanya vide
Aruna mulai membereskan barang-barangnya. Ia tidak membawa banyak, meski selama tinggal di rumah ini, ia diberikan berbagai pakaian indah, berkelas, dan mahal, semuanya ia tinggalkan. Ia hanya memilih beberapa helai pakaian yang pernah ia kenakan. Bagi Aruna, bukan harga yang penting, tapi makna dan kenyamanan. Ia tidak ingin membawa apa pun yang bisa menambah beban hatinya.Setelah semuanya siap, Aruna melangkah keluar dari kamarnya. Ia mencari Eliza. Kebetulan, wanita hamil itu tengah duduk di meja makan, menikmati sepiring rujak favoritnya dengan wajah yang terlihat lebih segar dari biasanya."Eliza," ucap Aruna lembut, seraya menarik kursi dan duduk di samping wanita itu.Eliza menoleh dan tersenyum hangat. "Mau rujak? Pedas banget, loh. Bayi kembar ini sepertinya doyan banget rujak."Aruna menggeleng sambil tersenyum kecil. Tapi senyum itu mengandung makna yang dalam."Aku... mau pamit," ujarnya pelan namun tegas.Eliza menghentikan sendoknya. Matanya menatap Aruna, penuh tanya.
Meskipun permasalahan yang mereka hadapi belum sepenuhnya selesai, pagi ini suasana rumah sudah kembali hangat seperti biasanya. Tawa kecil dan obrolan ringan mewarnai waktu sarapan mereka. Seolah untuk sejenak, semua beban bisa ditinggalkan di luar rumah.Albert pun terlihat berbeda. Wajahnya tak lagi suram seperti sebelumnya. Tatapannya lebih hidup, bibirnya tak segan mengulas senyum.Setelah selesai sarapan, Albert bangkit dari tempat duduk lebih dulu. Ia merapikan jasnya, lalu mengambil ponsel dan kunci mobil yang terletak di meja samping.“Aku ke kantor lebih awal, banyak urusan yang harus aku selesaikan,” ucap Albert kepada Hermawan.Karena permasalahannya dengan Sherly, membuat Albert tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Pada akhirnya pekerjannya jadi menumpuk. "Hati-hati," jawab Hermawan. Albert yang sudah berlalu pergi, hanya menjawab dengan melambaikan tangannya. Namun langkahnya terhenti saat melihat Aruna lewat di depannya. Tanpa berpikir panjang, Albert segera mem
Di sebuah ruangan hotel di pinggiran kota, Sherly duduk bersandar santai di atas sofa berbalut beludru. Gaun tidurnya yang tipis meluncur lembut di bahunya, memperlihatkan kulit putih pucat yang kontras dengan layar ponsel di tangannya. Cahaya dari layar itu memantul di matanya yang tajam. Mata seorang wanita yang sedang menikmati kemenangan.Senyum lebar merekah di wajahnya. Jemarinya yang ramping menelusuri komentar-komentar di media sosial yang meledak karena video yang ia unggah kemarin malam."VIRAL!! Bos Besar Terlibat Skandal Cinta Segitiga!""Bukan Hanya Albert, Putra Pewaris Keluarga Hermawan Juga Ikut Terseret!"Sherly tertawa kecil. Tawanya manis, namun menyimpan racun. Ia menekan tombol replay dan kembali menonton cuplikan video itu. Adegan yang ia rekam dengan sangat cermat. Wajah Albert terpampang jelas. Sorot matanya. Nada suaranya. Bahkan Nathan yang hanya muncul sepintas, ikut terbawa arus opini publik. Semua berjalan sesuai rencananya.“Bagus… Sangat bagus…” gumamnya
Langit mulai berwarna gelap ketika motor matic Aruna perlahan memasuki halaman rumah. Albert turun lebih dulu, lalu membantunya mematikan mesin dan memarkir motor itu dengan hati-hati di samping teras.Aruna menatapnya heran. “Kamu bisa parkir motor?”Albert mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. “Kalau untuk kamu, aku bisa apa aja.”Aruna menggeleng pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Wajah Albert memang berbeda, tidak lagi suram, tidak lagi berat seperti beban dunia ada di pundaknya. Kini, pria itu tampak ringan dan bahagia.Pintu rumah terbuka perlahan dari dalam. Olivia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater putih dan celana panjang. Rambutnya diikat tinggi, dan bola matanya membulat saat melihat siapa yang datang.“Daddy?” ucap Olivia pelan.Albert berdiri di tangga teras. Matanya langsung bertemu dengan mata anak gadisnya. Sejenak suasana terasa hening, seperti waktu berhenti berdetak.Olivia menatap pria itu dengan tatapan bingung. Tapi bukan itu yang membuat Alb
Mereka pun tertawa bersama. Bahkan orang-orang yang melihat di pinggir jalan ikut tersenyum. Sepasang pria dan wanita yang tampaknya berbeda dunia, namun kini terlihat begitu menyatu oleh canda sederhana di atas motor matic kecil.Namun bukan candaan Aruna dan Albert yang membuat mereka tertawa. Melainkan melihat Albert yang duduk di boncengan belakang. Benar-benar sangat lucu. Sedangkan yang membawa motor, gadis berubah mungil.Setelah beberapa menit, mereka memutuskan berhenti di sebuah taman kecil di pojok kompleks. Aruna turun duluan, lalu membantu Albert turun dari motor yang tampaknya ‘lelah’ membawa beban sekelas CEO besar itu.“Albert, kamu tahu nggak? Kalau kamu duduk di belakang terus, motor ini bisa masuk ICU.”Mata Albert melotot mendengar perkataan Aruna. Ia ingin menyangkal, tapi perkataan Aruna memang benar. “Aku ganti dengan moge.”“Nggak usah moge. Ganti aja sama sepeda listrik. Biar aku bisa tetap cantik dan tidak ngos-ngosan.”Mereka kemudian duduk di bangku taman,