Hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya."Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit.Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya.Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan."Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati."Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap
Hujan semalam masih menyisakan jejak di dedaunan yang basah. Angin pagi berembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Ernita berdiri di depan rumah kos sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya. Mata sembabnya menatap kosong ke jalanan sepi.Hari ini genap seminggu sejak Gudel menceraikannya.Pernikahan yang ia jalani dengan penuh harapan kini hanya tinggal kenangan pahit. Ia tak hanya kehilangan bayinya, tetapi juga kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan segala yang pernah ia anggap rumah. Gudel mengusirnya tanpa belas kasihan. Tak ada harta yang bisa ia bawa selain beberapa potong pakaian dan sedikit uang di dalam dompetnya.Ernita menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sakit yang terus menggerogoti hatinya."Sampai kapan aku akan begini?" gumamnya.Ia sadar, larut dalam kesedihan tak akan membuat hidupnya lebih baik. Ia harus bangkit, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Uang yang tersisa semakin menipis, dan ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia
Ernita terbangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, setelah menyusui bayi kembar Taufik, ia tidur lelap tanpa terganggu, tetapi kini dengan pagi yang cerah, beban baru terasa semakin berat. Ernita tahu, pekerjaannya sebagai ibu susu bukanlah hal yang mudah. Namun pagi ini ia tidak bisa membiarkan dirinya ragu, apalagi setelah ia melihat betapa pentingnya peranannya bagi bayi-bayi tersebut. Setelah mandi dan mengenakan pakaian kerja yang diberikan oleh Taufik, Ernita menyiapkan sarapan sederhana di dapur. Setelah itu, ia langsung menuju ruang keluarga untuk merawat bayi-bayi kembar yang sedang tidur nyenyak di buaian. Ernita menatap kedua wajah kecil itu, hatinya tergerak oleh kasih sayang yang mendalam, meskipun mereka bukan darah dagingnya. Dia menggendong salah satu bayi dan duduk dengan hati-hati di kursi yang sudah disiapkan. Bayi itu mulai mengisap dengan tenang, sementara Ernita menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Tentu saja, ia tidak
Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya. Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya. "Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan. Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Mah. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita." Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan. Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu
Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit.Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu."Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan.Lore
Sejak Loren dan Helen berpamitan pulang, Ernita kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengurus bayi kembar dan memenuhi tugasnya sebagai ibu susu mereka. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada perubahan di lingkungan sekitar. Tatapan para tetangga terhadapnya mulai berbeda, dan ada bisikan-bisikan yang terdengar setiap kali ia melewati mereka.Awalnya, Ernita mencoba mengabaikan hal itu. Namun suatu sore, Tia, salah satu asisten rumah tangga senior, menghampirinya dengan ekspresi cemas."Mbak Nita, saya enggak tahu gimana ngomongnya, tapi … ada gosip yang beredar di luar sana. Katanya, Mbak punya hubungan khusus sama Tuan Taufik."Ernita terdiam, matanya melebar. "Apa? Dari mana datangnya gosip seperti itu?"Tia menggeleng dengan raut gusar. "Saya juga enggak tahu pasti, Mbak. Tapi katanya, ada yang melihat Tuan Taufik sering memperhatikan dan melindungi Mbak lebih dari seharusnya. Apalagi sejak kabar perjodohan Pak Taufik sama anak dari keluarga terpandang itu
Ernita baru saja selesai menyusui bayi kembar ketika Nadya kembali muncul di hadapannya, kali ini dengan ekspresi yang lebih tajam dan penuh amarah."Kamu masih di sini juga? Kenapa belum enyah dari sini?" Suara Nadya terdengar sinis.Ernita menghela napas dalam. "Mbak, saya bekerja di sini, jadi tentu saja saya masih di sini."Nadya mendengus. "Bekerja? Paling kamu cuma mencari cara agar Taufik jatuh hati padamu, ya kan?"Ernita menatapnya tajam. "Mbak, saya tidak punya niat seperti itu. Tuan Taufik adalah majikan saya, dan saya hanya menjadi seorang ibu susu untuk anak-anaknya, tidak lebih."Namun Nadya tidak puas dengan jawaban itu. "Kamu pikir aku bodoh? Semua orang di rumah ini bisa melihat bagaimana Taufik lebih peduli padamu dibanding orang lain. Dia bahkan menolak perjodohan kami, dan aku yakin itu semua karena kamu, kamu sudah menghasutnya!"Ernita terkejut mendengar hal itu. "Menolak perjodohan? Maaf, saya tidak mengerti apa-apa.""Jangan berpura-pura tidak tahu!" Nadya mend
Setelah bekerja tanpa henti selama sebulan penuh, akhirnya hari ini Ernita mendapatkan gaji pertamanya. Ia merasa sangat bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.Pagi itu setelah menyelesaikan tugasnya, ia memberanikan diri untuk berpamitan kepada Taufik, setelah sebelumnya menitipkan bayi kembarnya kepada Tia."Permisi, Tuan, hari ini saya ingin keluar sebentar untuk berjalan-jalan. Hanya sebentar saja," kata Ernita dengan sopan.Taufik yang saat itu sedang menyesap kopi di ruang makan, menatapnya dengan dahi berkerut. "Keluar? Kamu mau ke mana?"Ernita tersenyum. "Saya ingin membeli beberapa keperluan. Lagipula, ini hari gajian pertama saya. Saya ingin sedikit menikmati waktu untuk diri sendiri."Taufik meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya dalam. "Kamu yakin tidak ingin aku menyuruh sopir untuk mengantarmu?"Ernita menggeleng. "Tidak perlu, Tuan. Saya ingin berjalan-jalan sendiri, sekalian healing. Lagipula saya tidak akan lama
Keesokan harinya, mentari belum sepenuhnya turun saat suara motor matic berhenti tepat di depan rumah Taufik. Ernita yang sedang menyiram bunga di pekarangan kecil rumah itu menoleh ke arah pagar. Di balik helm berwarna ungu metalik, ia mengenali wajah manis yang turun dari motor itu, Helen.Seketika senyum Ernita mengembang, namun hanya sebentar. Hatinya diliputi rasa was-was. Ia tahu, hubungan mereka dulu tidak sehangat adik dan kakak ipar. Meski Helen tidak pernah terang-terangan menolak kehadirannya, Ernita merasa Helen menyimpan rasa tak suka yang rapi tersembunyi di balik sikap sopannya."Helen?" sapa Ernita ramah.Helen melepas helmnya dan tersenyum sekilas. "Sore, Mbak," jawabnya singkat.Dari dalam rumah, suara pintu terbuka terdengar. Taufik muncul dari ruang tengah. "Helen? Wah, akhirnya kamu datang juga!" seru pria itu sambil mendekat dan langsung memeluk adiknya dengan hangat."Maaf baru bisa mampir sekarang, Kak," ujar Helen sambil tersenyum kecil."Ayo masuk, ayo! Kebet
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai langit. Di kediaman Loren, suasana tampak lebih sibuk dari biasanya. Helen, putri Loren satu-satunya, terlihat anggun dalam balutan gaun wisuda berwarna krem lembut. Rambutnya ditata rapi, dan riasan wajahnya menambah pesona elegan yang tak berlebihan. Hari itu adalah hari istimewa baginya, hari kelulusannya.Loren menatap putrinya dari ambang pintu kamar dengan perasaan haru. Meski sibuk dengan urusan pribadinya selama beberapa bulan terakhir, Loren tetap menyimpan rasa bangga kepada Helen. Namun, pagi itu ia memilih tidak mengungkapkan banyak kata, hanya menepuk bahu Helen dan mengucapkan, "Selamat, Nak. Jadilah perempuan kuat dan mandiri."Helen hanya mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Bu."Setelah acara wisuda di kampus selesai, Helen dan ketiga sahabatnya, Glena, Weni, dan Rose sudah merencanakan untuk merayakannya di luar kota. Mereka memesan vila dengan pemandangan pegunungan yang menenangkan, sebuah tempat sempurna unt
Malam telah larut, dan udara di luar mulai menghembuskan angin dingin yang menembus hingga ke tulang. Gudel menyalakan mesin mobilnya dan melaju menuju sebuah tempat yang selama ini menjadi pelariannya, sebuah klub malam yang berdiri mewah di tengah kota. Musik yang memekakkan telinga, lampu yang berkelap-kelip, dan minuman yang mengalir tanpa henti, semua itu biasanya cukup untuk membuat pikirannya sedikit tenang.Saat memasuki klub, tubuhnya disambut dentuman musik EDM yang menggema di seluruh ruangan. Gudel berjalan melewati kerumunan orang yang berjoget, lalu duduk di bar dan memesan minuman favoritnya. Ia mengambil gelas itu dan menyesapnya perlahan. Matanya menerawang ke lantai dansa, menyapu ruangan yang penuh oleh pengunjung malam itu.Namun kemudian, matanya terpaku pada sosok yang tak asing. Seorang wanita berdiri tak jauh dari sana, mengenakan gaun hitam elegan yang kontras dengan lampu kelap-kelip di sekitarnya. Rambutnya panjang, dibiarkan tergerai, dan wajahnya tampak di
Pagi itu, matahari bersinar cerah menerpa kawasan elit di pusat kota. Restoran mewah 'La Vina' baru saja membuka pintunya untuk tamu sarapan eksklusif. Dari dalam bangunan bergaya modern itu, Gudel melangkah keluar dengan langkah angkuh, mengenakan jas abu-abu muda dan kacamata hitam, menyalakan rokoknya di bibir trotoar sambil mengecek ponsel.Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok perempuan berpakaian rapi namun sederhana mendekat dari arah seberang jalan."Hesti?" gumam Gudel pelan, nyaris tak percaya.Hesti juga tampak terkejut, namun tak menunjukkan senyum ataupun keramahan. Ia berdiri tegak di hadapan pria yang dulu pernah ia cintai, dan kini hanya menyisakan getir di hatinya."Gudel," ujar Hesti datar. "Sudah lama kau tak terlihat. Rupanya kau masih bisa hidup enak ya setelah semua kekacauan yang kau tinggalkan."Gudel mendecih, meniupkan asap rokok ke samping. "Jangan mulai drama pagi-pagi, Hesti. Aku sedang tidak ingin berurusan dengan masa lalu."Hesti menyilangkan tan
Hari itu suasana di sebuah ruangan rapat kecil di sebuah kafe eksklusif terasa tegang. Di balik jendela besar yang menghadap taman, empat orang duduk saling berhadapan. Loren, dengan penampilannya yang anggun dan dingin, duduk berdampingan dengan Pak Bram, seorang pensiunan jaksa yang kini menjadi penasihat hukumnya. Di seberang mereka, Gudel tampak gelisah, sementara di sampingnya duduk Hendra, pengacaranya yang masih muda namun terkenal agresif.Loren membuka pembicaraan dengan suara yang tenang namun tegas. "Saya rasa kita semua sudah cukup paham duduk perkaranya. Tapi saya ingin mendengarnya langsung dari Anda, Gudel. Apa sebenarnya tujuan Anda sampai harus melibatkan hukum untuk menjatuhkan anak saya?"Gudel menahan napas, melirik pada Hendra. Pengacara itu mengangguk pelan, memberi isyarat agar ia menjawab dengan hati-hati."Saya hanya ingin keadilan, Bu. Taufik telah mempermalukan saya. Dia menjauhkan Ernita dari saya. Itu tidak bisa saya terima begitu saja."Loren mengangkat a
Pagi itu cuaca di Jakarta sedikit mendung. Di dalam rumah bergaya kolonial yang berdiri megah di kawasan elit, Loren duduk di ruang kerjanya. Di hadapannya terbuka beberapa berkas hukum dan catatan kecil yang ditulis tangan. Matanya menatap lurus ke selembar kertas yang memuat profil Gudel. Wajahnya kaku, ekspresinya datar, tapi sorot matanya tajam dan penuh perhitungan."Jadi kau mau menjatuhkan anakku dengan jalur hukum, Gudel? Baiklah, permainan dimulai sekarang," gumam Loren pelan.Ia mengangkat ponsel dan menghubungi seseorang. Beberapa detik kemudian sambungan tersambung."Halo, Pak Bram. Ini saya, Loren. Saya butuh bantuan Anda. Ya, soal kasus yang melibatkan anak saya. Kita harus bicarakan strategi menghadapi pengacara Gudel. Bisa ke rumah saya siang ini?"Selesai menelepon, Loren bangkit dan berjalan ke rak buku tua di sisi kanan ruangan. Di antara buku-buku lama, ia menarik satu map kuning kusam. Di dalamnya tersimpan salinan dokumen lama milik Gudel, catatan transaksi, sali
Pagi itu udara terasa lembab setelah semalaman diguyur hujan. Di sebuah kafe tersembunyi di sudut kota, Gudel duduk dengan wajah penuh kegelisahan. Ia datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Tangannya terus menggenggam gelas kopi yang sudah dingin, bibirnya sesekali mengumpat pelan. Ia tahu, pertemuan ini bisa saja menjadi awal dari kekacauan baru, namun ia tak punya pilihan.Tak lama kemudian, sosok elegan dengan setelan warna krem muncul di depan pintu kafe. Loren, wanita paruh baya dengan sorot mata tajam, masuk tanpa senyum. Ia langsung berjalan menuju meja tempat Gudel duduk. Gudel spontan berdiri, mencoba menunjukkan sopan santun yang sejak dulu tak pernah benar-benar ia miliki."Silakan duduk, Bu Loren," ucap Gudel, mencoba terdengar tenang.Loren menatapnya dingin. Ia duduk perlahan, menyilangkan kakinya dan meletakkan tas kecilnya di pangkuan. Pandangannya menusuk tajam, membuat Gudel merasa seperti seekor tikus di hadapan seekor kucing."Langsung saja," kata Loren tanp
Pagi itu, Taufik mengenakan kemeja putih rapi dan celana hitam. Wajahnya tegas dan matanya menyimpan amarah yang masih membara. Ia berdiri di depan kantor kepolisian sektor Jakarta Selatan, menggenggam map berisi bukti-bukti yang telah ia kumpulkan tentang penculikan Ernita. Di sampingnya, Ernita duduk dengan wajah tegang, meski tetap mencoba terlihat tenang."Aku siap memberi keterangan," ucap Ernita pelan, menatap Taufik."Kalau kamu tidak sanggup, biar aku saja yang bicara," sahut Taufik. "Tapi aku tahu kamu kuat, Nita. Kita harus lawan dia. Kali ini secara hukum."Mereka pun masuk ke ruang penyidik. Setelah beberapa formalitas, Taufik menyerahkan bukti-bukti berupa rekaman suara ancaman Gudel yang sempat ia temukan di ponsel Ernita, tangkapan layar pesan-pesan kasar, serta surat keterangan dari dokter tentang trauma psikologis yang dialami Ernita pasca penculikan.Penyidik mencatat dengan saksama ...."Pak Taufik, Bu Ernita, laporan ini akan kami tindaklanjuti. Dengan bukti ini, k
Pagi itu suasana rumah Taufik dan Ernita tampak tenang. Anak kembar mereka, Arkaf dan Asrul, sudah tertidur pulas setelah disusui. Ernita duduk di ruang tengah sambil membaca buku parenting, sedangkan Taufik di sudut ruangan sibuk menelusuri sesuatu dari ponselnya."Aku sudah dapat beberapa kontak," kata Taufik tiba-tiba memecah keheningan.Ernita menoleh pelan. "Kontak apa, Mas?""Bodyguard," jawab Taufik sambil menunjukkan layar ponselnya. "Aku pikir, setelah semua yang kamu alami kemarin, akan lebih baik kalau kamu punya penjaga pribadi. Biar aku tenang saat kamu keluar rumah."Ernita mengernyit. "Mas, kenapa harus pakai bodyguard segala? Aku cuma perempuan biasa, bukan artis atau pejabat negara. Aku rasa itu terlalu berlebihan."Taufik meletakkan ponselnya dan menghampiri Ernita. Dia duduk di sebelah istrinya dan menatapnya dalam-dalam. "Nit, aku tahu kamu kuat. Tapi kemarin itu bukan hal kecil. Gudel sudah keterlaluan. Dia nekat menculikmu. Siapa yang bisa menjamin dia tidak akan