Setelah perjalanan cukup jauh dari rumah Tia, Ernita merasa haus. Ia memutuskan berhenti sejenak di sebuah kedai sederhana di tepi jalan yang tampak cukup ramai. Kedai itu menyajikan berbagai macam minuman dingin dan jajanan ringan. Ernita memilih duduk di bangku sudut dekat jendela dan memesan segelas jus mangga yang segar.Sambil menunggu minumannya datang, Ernita menyandarkan punggung dan menarik napas panjang. Ia merasa cukup lelah setelah seharian bermain bersama Arkaf dan Asrul, lalu berjalan ke pasar dan membeli oleh-oleh. Saat ia hendak menyeruput jus yang baru saja dihidangkan, matanya menangkap sosok wanita berpenampilan modis yang baru masuk ke dalam kedai.Langkah Ernita terhenti. Ia mengenali wanita itu. Nadya.Wanita yang dulu hendak dijodohkan dengan Taufik oleh Loren, tapi rencana itu gagal karena kehadiran Ernita sendiri. Ernita berharap Nadya tidak mengenalinya atau setidaknya mengabaikannya. Namun harapan itu pupus begitu saja saat Nadya menoleh dan tersenyum sinis.
Pagi itu, mentari bersinar cerah menyusup melalui celah-celah tirai jendela kamar. Suara burung berkicau memecah keheningan pagi yang damai. Setelah Taufik berangkat ke kantor, Ernita menuntun si kembar Arkaf dan Asrul yang masih memakai piyama ke ruang tengah untuk bermain sebentar sebelum mandi.Tia yang sedang menyapu halaman depan masuk ke dalam rumah dan menatap Ernita dengan ragu. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu namun masih menimbang-nimbang."Nyonya, aku mau pamit pulang kampung hari ini. Orang rumah minta aku nengok sebentar. Nggak lama kok, paling cuma dua hari," ucap Tia dengan nada hati-hati.Ernita menoleh dari mainan si kembar dan tersenyum. "Oh, ya? Ya sudah, nggak apa-apa, Tia. Memang udah lama juga kamu nggak pulang, ya?"Tia mengangguk. "Iya, Nyonya. Tapi saya tetap pamit sama Nyonya dulu. Siapa tahu ada yang perlu dititip atau disampaikan.""Mbak Tia nginep berapa hari?""Seperti biasa, Mbk, tiga hari saja."Ernita mengangguk lalu mendekat ke Tia. "Ngomong-ngomong
Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Taufik memarkirkan mobilnya di pelataran kantor Gudel. Cahaya matahari belum terlalu terik, namun suasana kantor sudah menunjukkan aktivitas. Ia datang untuk melanjutkan urusan kerjasama yang kemarin belum sempat selesai sepenuhnya.Setelah mematikan mesin mobil, Taufik merapikan kemejanya dan mengambil map cokelat berisi berkas yang dibutuhkannya. Ia keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk kantor dengan langkah tegap. Namun baru beberapa meter dari lobi, langkahnya terhenti. Matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya."Helen?" batinnya seketika.Di depan sana, sekitar lima belas meter dari tempatnya berdiri, terlihat seorang wanita muda berpakaian formal, mengenakan kemeja biru muda dan rok hitam selutut. Rambutnya diikat sederhana. Di tangannya ada map biru yang tampak berisi dokumen. Wanita itu melangkah terburu-buru masuk ke kantor.Taufik berdiri terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Sosok itu tak lain adalah Helen, adik yang s
Malam itu udara terasa sejuk, angin malam bertiup lembut melalui jendela kamar yang sedikit terbuka. Taufik tengah duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan tumpukan dokumen di pangkuannya. Ernita yang baru selesai menyusui si kembar, duduk di sisinya sambil membetulkan selimut Arkaf dan Asrul yang terlelap di boks bayi. Mereka tampak damai, tidur dengan posisi saling berdekatan.Ernita menoleh ke arah suaminya, lalu bersandar di bahunya. "Capek ya, Mas? Hari ini kayaknya padat banget." Suaranya lembut dan penuh perhatian.Taufik mengangguk pelan, meletakkan dokumen ke atas nakas. "Lumayan. Tapi ada hal yang bikin Mas kepikiran."Ernita langsung menangkap nada serius dari suaminya. Ia menegakkan tubuhnya. "Memangnya, ada apa, Mas? Masalah kerja yang tadi?"Taufik menarik napas dalam-dalam. Ia menatap wajah istrinya sejenak sebelum membuka suara. "Tadi siang aku ke kantor yang akan kerja sama dengan kita, dan aku sempat melihat Helen."Mata Ernita membulat. "Helen? Di kantor Gude
Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Helen memarkirkan sepeda motornya di halaman kantor. Ia turun dengan hati-hati, merapikan kemeja putih dan rok sepan hitamnya, serta menenteng tas kerjanya dengan langkah mantap. Meski dalam hati masih ada keraguan, Helen mencoba menegakkan kepala. Hari ini, ia bertekad untuk tetap profesional meski hatinya tidak tenang.Namun semua ketenangan itu runtuh dalam sekejap. Baru saja ia melangkah menuju pintu masuk kantor, Helen berpapasan langsung dengan seseorang yang tak pernah ia duga akan bertemu di tempat ini. Sosok lelaki dengan jas biru dongker dan wajah serius itu menatapnya dengan sorot mata yang mengenal."Helen?" suara itu terdengar familiar namun juga penuh tanda tanya.Helen tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba tetap tenang meski wajahnya terasa panas. "Eh, em, Kak Taufik?" jawabnya kaku sambil menatap bingung ke arah pintu.Taufik menatapnya dalam, seolah sedang membaca pikirannya. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya penuh s
Malam itu angin bertiup pelan, menyapu lembut dedaunan di halaman depan. Di teras rumah yang sederhana namun bersih, Loren duduk berhadapan dengan Helen. Di atas meja kecil, dua cangkir kopi hitam mengepulkan aroma yang menenangkan. Lampu temaram menggantung di atas kepala mereka, menciptakan suasana hening yang seolah menyimpan rahasia.Helen menggenggam cangkirnya erat-erat. Uap panas dari kopi menyentuh wajahnya yang terlihat lebih murung dari biasanya. Loren menatap anaknya lama. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak pertemuan tak terduga dengan Gudel di restoran siang itu. Pria itu, dengan senyum sinisnya, menyimpan nada menyindir yang sulit Loren lupakan."Hel, ibu kok jadi kepikiran sama ucapan si Gudel waktu di restoran tadi siang," kata Loren perlahan, mencoba membuka percakapan. Suaranya datar namun dalam. "Dia seperti tahu banyak soal kamu. Bahkan soal kerjaan kamu."Helen menahan napas. Cangkir di tangannya sedikit bergetar. Ia tidak menyangka ibunya akan mengangkat