Sejak pertemuan dengan pengacara kepercayaannya beberapa hari lalu, pikiran Loren tak pernah tenang. Ucapan yang dilontarkan sang pengacara begitu membekas di dalam hatinya. Ia tak bisa melupakan pernyataan yang seolah mencabut seluruh keyakinan yang selama ini ia pegang teguh: bahwa ia telah bertindak benar demi masa depan anaknya. Tapi kini ia mulai sadar, mungkin justru dialah yang selama ini menghambat kebahagiaan Taufik.Setiap pagi Loren terbangun dengan wajah murung. Nafsu makannya menurun drastis. Bahkan teh hangat kesukaannya yang biasanya menemani pagi kini hanya disentuh sekilas, lalu dibiarkan dingin di meja. Para asisten rumah tangganya pun mulai cemas."Bu Loren nggak keluar kamar lagi ya, Mbak?" bisik salah satu pelayan pada rekan kerja di dapur."Iya, kayaknya lagi nggak enak badan. Tapi kemarin-kemarin masih duduk di taman. Sekarang nggak keluar sama sekali."Di dalam kamar, Loren hanya terbaring diam di tempat tidur. Tatapannya kosong, menembus langit-langit kamar. T
Malam itu suasana rumah terasa hangat dan tenang. Setelah anak kembar mereka, Arkaf dan Asrul, tertidur pulas di kamar, Ernita dan Taufik memutuskan untuk duduk santai di ruang tamu. Lampu gantung di atas kepala mereka memancarkan cahaya temaram yang menambah kesan intim dalam obrolan malam itu. Taufik duduk di samping Ernita, lalu meraih rambut istrinya dengan lembut dan membelainya penuh kasih."Kamu pulang jam berapa tadi, sayang?" tanya Taufik sambil tersenyum, matanya menatap wajah Ernita dengan penuh perhatian.Ernita menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, lalu menjawab pelan, "Masih sore kok, Mas. Mbak Tia minta izin libur tiga hari, jadi aku nggak mau kelamaan di rumah dia. Takut malah ngerepotin."Taufik mengangguk pelan. "Nggak papa. Dia juga punya keluarga dan harus dijenguk juga, aku maklum kok. Lagian kamu juga butuh refreshing."Ernita tertawa kecil, lalu menatap wajah suaminya. "Refreshing sih iya, tapi bawa dua balita itu bukan refreshing, Mas. Capeknya dobel."Taufi
Malam itu, suasana rumah Loren tampak tenang. Perempuan paruh baya itu tengah duduk di ruang tamu sambil membaca majalah ketika suara bel pintu membuyarkan konsentrasinya. Loren melangkah pelan ke pintu dan membukanya. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda dengan senyum canggung."Nadya?""Selamat malam, Tante Loren," sapa Nadya dengan sopan."Silakan masuk. Tumben kamu malam-malam ke sini," ujar Loren sambil mempersilakan Nadya duduk di sofa ruang tamu.Nadya duduk perlahan, lalu menarik napas panjang. Wajahnya tampak menyimpan sesuatu."Tadi siang aku ketemu Ernita, Tante," ucapnya akhirnya.Loren langsung menatap tajam. "Kamu yakin itu Ernita?""Iya, Tante. Aku ketemu dia di sebuah kedai jus. Dia sendirian. Aku sempat bicara sebentar sama dia," jelas Nadya.Loren menyilangkan tangan, wajahnya berubah tegang. "Jadi, Ernita ada di kota ini?""Sepertinya begitu, Tante. Tapi aku nggak lihat Mas Taufik. Dia sendirian. Aku pikir dia mungkin sedang pulang kampung ke tempat saudaranya.
Setelah perjalanan cukup jauh dari rumah Tia, Ernita merasa haus. Ia memutuskan berhenti sejenak di sebuah kedai sederhana di tepi jalan yang tampak cukup ramai. Kedai itu menyajikan berbagai macam minuman dingin dan jajanan ringan. Ernita memilih duduk di bangku sudut dekat jendela dan memesan segelas jus mangga yang segar.Sambil menunggu minumannya datang, Ernita menyandarkan punggung dan menarik napas panjang. Ia merasa cukup lelah setelah seharian bermain bersama Arkaf dan Asrul, lalu berjalan ke pasar dan membeli oleh-oleh. Saat ia hendak menyeruput jus yang baru saja dihidangkan, matanya menangkap sosok wanita berpenampilan modis yang baru masuk ke dalam kedai.Langkah Ernita terhenti. Ia mengenali wanita itu. Nadya.Wanita yang dulu hendak dijodohkan dengan Taufik oleh Loren, tapi rencana itu gagal karena kehadiran Ernita sendiri. Ernita berharap Nadya tidak mengenalinya atau setidaknya mengabaikannya. Namun harapan itu pupus begitu saja saat Nadya menoleh dan tersenyum sinis.
Pagi itu, mentari bersinar cerah menyusup melalui celah-celah tirai jendela kamar. Suara burung berkicau memecah keheningan pagi yang damai. Setelah Taufik berangkat ke kantor, Ernita menuntun si kembar Arkaf dan Asrul yang masih memakai piyama ke ruang tengah untuk bermain sebentar sebelum mandi.Tia yang sedang menyapu halaman depan masuk ke dalam rumah dan menatap Ernita dengan ragu. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu namun masih menimbang-nimbang."Nyonya, aku mau pamit pulang kampung hari ini. Orang rumah minta aku nengok sebentar. Nggak lama kok, paling cuma dua hari," ucap Tia dengan nada hati-hati.Ernita menoleh dari mainan si kembar dan tersenyum. "Oh, ya? Ya sudah, nggak apa-apa, Tia. Memang udah lama juga kamu nggak pulang, ya?"Tia mengangguk. "Iya, Nyonya. Tapi saya tetap pamit sama Nyonya dulu. Siapa tahu ada yang perlu dititip atau disampaikan.""Mbak Tia nginep berapa hari?""Seperti biasa, Mbk, tiga hari saja."Ernita mengangguk lalu mendekat ke Tia. "Ngomong-ngomong
Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Taufik memarkirkan mobilnya di pelataran kantor Gudel. Cahaya matahari belum terlalu terik, namun suasana kantor sudah menunjukkan aktivitas. Ia datang untuk melanjutkan urusan kerjasama yang kemarin belum sempat selesai sepenuhnya.Setelah mematikan mesin mobil, Taufik merapikan kemejanya dan mengambil map cokelat berisi berkas yang dibutuhkannya. Ia keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk kantor dengan langkah tegap. Namun baru beberapa meter dari lobi, langkahnya terhenti. Matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya."Helen?" batinnya seketika.Di depan sana, sekitar lima belas meter dari tempatnya berdiri, terlihat seorang wanita muda berpakaian formal, mengenakan kemeja biru muda dan rok hitam selutut. Rambutnya diikat sederhana. Di tangannya ada map biru yang tampak berisi dokumen. Wanita itu melangkah terburu-buru masuk ke kantor.Taufik berdiri terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Sosok itu tak lain adalah Helen, adik yang s