"Kami sudah mempersiapkan rekamannya, Pak Taufik," ujar kepala sekolah sambil mempersilakan Taufik duduk.Setelah mendapatkan salinan rekaman itu dalam bentuk flashdisk, Taufik mengucapkan terima kasih dan segera bergegas keluar menuju mobil. Hatinya membara. Gudel, pria yang selama ini menjadi duri dalam daging hidupnya, ternyata pelakunya."Bajingan, rupanya kamu, Del. Aku sudah menduga sebelumnya," gumam Taufik dengan suara menahan marah. Tangannya mengepal."Sampai hati kamu mainin anak-anak kecil, Del. Kau kira aku tinggal diam?" geramnya sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melaju cepat meninggalkan area sekolah. Tatapannya tajam menembus kaca depan, pikirannya dipenuhi strategi untuk menyelamatkan Asrul dan Arkaf.Sementara itu, di sebuah tempat terpencil yang sepi dan jauh dari perkampungan, Asrul dan Arkaf bersembunyi di balik semak-semak tebal. Mereka kelelahan, namun tetap bertahan."Rul, ini di mana sih kita? Jauh banget ya dari rumah," tanya Arkaf sambil memeluk lututn
Pagi itu udara di sekitar rumah kosong milik Gudel masih terasa lembap, sisa dari hujan semalam. Di dalam rumah, Nadya terlihat tengah bersiap-siap. Ia telah mengenakan pakaian santainya, siap untuk pergi ke mall membeli beberapa kebutuhan untuk Asrul dan Arkaf. Di meja makan kecil dekat dapur, ia meletakkan dua piring berisi telur dadar dan nasi hangat."Anak-anak," ujar Nadya sambil tersenyum, meskipun senyum itu tak berbalas. "Tante udah masakin telur. Nanti dimakan ya. Tante mau ke mall sebentar, beliin jajanan juga buat kalian."Asrul dan Arkaf hanya duduk diam di sudut ruangan. Mata mereka tak berpaling sedikit pun. Sejak diculik, mereka tak banyak bicara. Meskipun Nadya berusaha ramah, hati mereka tak bisa dibohongi. Mereka tetap waspada.Nadya tak terlalu memperhatikan reaksi mereka. Ia berjalan ke pintu, lalu membuka kunci dan melangkah ke halaman. Tapi belum jauh dari teras, ia menyadari sesuatu."Duh, kunci mobilnya ketinggalan," gerutunya.Ia berbalik dan melangkah masuk l
Pagi itu, matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur. Udara pagi masih terasa sejuk menyapa halaman rumah keluarga Taufik. Di dapur, Ernita tampak sedang sibuk menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan mengiris bawang, sementara sesekali ia mengecek air di dalam panci yang mulai mendidih. Wajahnya tampak lelah dan pucat, seperti kurang tidur selama beberapa hari terakhir.Di sisi lain dapur, Tia, pengasuh keluarga mereka, juga turut membantu. Ia menggoreng ayam dan menyiapkan sayur untuk dimasak. Tia beberapa kali mencuri pandang ke arah Ernita, memperhatikan raut wajah wanita itu yang jelas-jelas sedang memendam duka dan kegelisahan yang mendalam."Nyonya biar saya aja yang iris bawangnya," ujar Tia pelan, mencoba menawarkan bantuan.Ernita tersentak sedikit, seolah baru sadar bahwa dirinya seperti terlarut dalam lamunannya. Ia menoleh dan tersenyum samar."Nggak apa-apa, Mbak Tia. Aku butuh kegiatan biar pikiranku nggak kemana-mana," katanya lirih.Tia mengangguk pelan, meski
Pagi itu, di sebuah rumah terpencil yang dikelilingi pepohonan rimbun dan pagar tinggi, matahari menyelinap melalui celah-celah jendela yang tertutup tirai tebal. Di dalamnya, Nadya tengah sibuk di dapur sederhana, menyiapkan sarapan untuk dua bocah laki-laki yang terus-menerus membuat kegaduhan sejak bangun tidur."Asrul! Arkaf! Sarapan dulu, ayo sini!" panggil Nadya dengan nada sedikit memaksa, namun berusaha terdengar manis.Kedua bocah itu, Asrul dan Arkaf, tampak duduk di sudut ruangan, masih mengenakan piyama bergambar superhero. Mereka saling berbisik dan menatap Nadya dengan penuh curiga. Asrul menggoyangkan kakinya, sementara Arkaf memainkan mainan kecil dari saku bajunya."Kita mau pulang!" teriak Arkaf tiba-tiba."Iya! Kita mau sama Mama dan Papa!" sambung Asrul, wajahnya memerah karena emosi yang ditahan sejak kemarin.Nadya menghela napas panjang, lalu membawa dua piring berisi nasi goreng dan telur dadar ke meja. "Dengar, Nak. Mama dan Papa kalian lagi sibuk. Mereka mint
Malam hari menyelimuti sebuah vila mewah yang tersembunyi di balik deretan pepohonan pinus di lereng perbukitan. Di dalam ruang tamu vila itu, lampu gantung berkilauan redup, menciptakan bayangan misterius di sudut-sudut ruangan. Dua sosok tengah duduk berhadapan. Gudel, dengan wajah dingin dan tatapan penuh perhitungan, menyeruput anggur dari gelas kristal di tangannya. Di hadapannya, Nadya duduk dengan tubuh tegap namun mata yang menyiratkan kebimbangan. "Aku sudah culik anak-anaknya Taufik," kata Gudel dengan suara pelan namun tajam seperti belati. "Sekarang tugasmu adalah bikin mereka luluh. Aku akan buat Taufik gila karena kehilangan anak-anaknya. Kalau pikirannya terganggu, dia pasti akan jatuh dan bangkrut. Dan saat dia berada di titik terendah, aku akan ambil semua miliknya." Nadya mengerutkan kening. Ia menunduk sejenak sebelum menatap mata Gudel. "Bukannya Taufik kaya tujuh turunan ya? Hartanya nggak mungkin habis, dia sih. Bahkan kalau perusahaan dia jatuh, dia masih pun
Siang itu, langit terlihat cerah, dan suasana di sekitar SD Harapan Bunda cukup ramai. Para orang tua mulai berdatangan, menunggu anak-anak mereka pulang sekolah. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap berhenti perlahan. Mesin dimatikan, dan dari dalam mobil keluar seorang pria berkacamata hitam. Dialah Gudel.Gudel berdiri bersandar di kap mobilnya, memperhatikan gerbang sekolah dengan penuh minat. Senyumnya sinis, matanya awas. Ia tampak seperti seorang pria yang sedang menunggu seseorang, tapi tidak seorang pun tahu, ada niat jahat tersembunyi dalam diamnya.Jam menunjukkan pukul 12.58. Bel sekolah berbunyi. Dari dalam gerbang, anak-anak SD mulai keluar satu per satu. Ada yang tertawa riang, ada pula yang berjalan pelan menanti jemputan. Tak lama, dua bocah laki-laki kembar muncul. Seragam mereka rapi, wajah mereka ceria seperti biasa."Hem, si kembar," gumam Gudel, mengenali keduanya dari foto-foto yang pernah ia lihat diam-diam lewat sosial media dan pengintaian