Share

Tawaran tak Terduga

Author: Cancer Girl
last update Last Updated: 2025-02-17 16:18:08

Hujan semalam masih menyisakan jejak di dedaunan yang basah. Angin pagi berembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Ernita berdiri di depan rumah kos sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya. Mata sembabnya menatap kosong ke jalanan sepi.

Hari ini genap seminggu sejak Gudel menceraikannya.

Pernikahan yang ia jalani dengan penuh harapan kini hanya tinggal kenangan pahit. Ia tak hanya kehilangan bayinya, tetapi juga kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan segala yang pernah ia anggap rumah. Gudel mengusirnya tanpa belas kasihan. Tak ada harta yang bisa ia bawa selain beberapa potong pakaian dan sedikit uang di dalam dompetnya.

Ernita menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sakit yang terus menggerogoti hatinya.

"Sampai kapan aku akan begini?" gumamnya.

Ia sadar, larut dalam kesedihan tak akan membuat hidupnya lebih baik. Ia harus bangkit, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Uang yang tersisa semakin menipis, dan ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia andalkan. Kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia.

Ernita mengusap perutnya yang masih terasa nyeri setelah melahirkan. Matanya kembali memerah saat mengingat bayinya yang tak pernah sempat menghirup udara dunia ini.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, ia membuka koran bekas yang ia dapatkan dari meja ruang tamu kos. Ia mencari lowongan pekerjaan.

"Asisten rumah tangga, baby sitter, koki .…"

Matanya terus menelusuri halaman demi halaman. Tidak ada pekerjaan yang benar-benar cocok untuknya, tapi saat ini ia tidak punya pilihan.

"Aku butuh pekerjaan. Pekerjaan apa pun."

Dengan tekad bulat, ia mengambil tas kecilnya, memasukkan sisa uangnya dan berjalan keluar kos. Ia menaiki bus kota menuju pusat kota, berharap bisa menemukan tempat yang menerima pekerja baru.

Setelah satu jam perjalanan, bus berhenti di sebuah kawasan elit. Ernita turun dengan hati yang sedikit berdebar.

Di hadapannya berdiri sebuah rumah tingkat yang begitu megah. Gerbang besi tinggi menjulang, dihiasi ukiran mewah. Dari luar saja sudah terlihat betapa besarnya rumah itu.

Ernita menelan ludah. "Apa benar aku bisa bekerja di sini?"

Namun ia segera menepis keraguannya. Tak ada salahnya mencoba. Tangannya gemetar saat menekan bel di samping gerbang. Tak butuh waktu lama, pintu rumah terbuka.

Seorang pria muda tampan muncul di hadapannya. Wajahnya tegas, dengan mata tajam yang menatap Ernita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Usianya sekitar 29 tahun, dengan tubuh tegap dan aura yang memancarkan wibawa.

"Siapa, ya?" tanyanya, suaranya dalam dan berwibawa.

Ernita langsung menundukkan kepala.

"Maaf, Tuan, apakah Anda membutuhkan pelayan rumah tangga? Saya butuh sekali pekerjaan itu," ucapnya, suaranya penuh harap.

Pria itu, Taufik Wijaya mengernyit. Ia tampak sedang menilai Ernita dengan tatapannya yang tajam.

Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesuatu yang aneh. "Lho, baju kamu kenapa basah gitu? Dan yang basah cuma bagian itu saja," tanyanya curiga.

Ernita terkejut. Ia buru-buru menunduk, menyadari bahwa bagian depan bajunya basah.

Ia menggigit bibir merasa malu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Eh, ini, Tuan .…" Ernita tergagap, mencoba mencari alasan. "Sebenarnya saya baru saja melahirkan seminggu yang lalu, tapi bayi saya meninggal karena penyumbatan placenta. Suami saya juga meninggal karena syok. Dan ini … ASI saya masih mengalir deras," lanjutnya dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca.

Taufik terdiam. Matanya menajam, seolah sedang memproses apa yang baru saja ia dengar. Di dalam hatinya, sebuah kenangan lama kembali menyeruak.

Istrinya, wanita yang sangat ia cintai, juga meninggal dunia setelah melahirkan. Pendarahan hebat merenggut nyawanya sebelum sempat melihat anak-anaknya tumbuh besar. Kini ia hanya memiliki bayi kembar yang membutuhkan ASI untuk bertahan hidup.

Sebagai seorang presdir perusahaan ternama, Taufik memiliki segalanya. Uang, kekuasaan, dan kemewahan. Tapi satu hal yang ia tak punya adalah seorang ibu untuk kedua anaknya.

Dan kini, seorang wanita asing berdiri di hadapannya dengan air susu yang masih mengalir deras .…

Ia menatap Ernita dalam-dalam. "Apakah kamu mau berbagi ASI-mu untuk bayi kembarku?"

Ernita terhenyak. Tawaran itu tak pernah terpikirkan olehnya.

Bagaimana mungkin takdir membawanya ke sini? Bagaimana mungkin ia yang kehilangan bayi kini diminta menjadi ibu susu bagi anak orang lain?

Namun di tengah keterkejutannya, ia sadar bahwa ini adalah kesempatan besar. Ia membutuhkan pekerjaan. Ia membutuhkan tempat untuk bertahan hidup.

Dengan suara pelan, Ernita mengangguk. "Saya … saya bersedia, Tuan."

Dan dengan jawaban itu, tanpa sadar ia telah membuka lembaran baru dalam hidupnya, lembaran yang penuh dengan kejutan, luka lama, dan mungkin sebuah harapan baru.

Taufik mengangguk pelan, seakan menyetujui keputusan itu. "Baik. Ikut saya masuk."

Ernita mengikuti langkah Taufik menuju dalam rumah. Begitu melewati pintu utama, Ernita dibuat terpana oleh interior rumah yang begitu megah. Marmer putih menghiasi lantai, lampu kristal tergantung di langit-langit, dan perabotan mahal tampak tertata rapi. Semua itu terasa begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana.

Namun sebelum sempat mengagumi lebih jauh, tangisan bayi terdengar dari lantai atas.

Taufik melangkah cepat menaiki tangga, sementara Ernita mengikutinya dengan ragu. Setibanya di lantai atas, mereka memasuki sebuah kamar luas yang didominasi warna lembut. Dua boks bayi berdiri berdampingan, dan di dalamnya dua bayi mungil menangis dengan wajah memerah.

Seorang wanita paruh baya yang tampaknya seorang pengasuh berusaha menenangkan mereka, tetapi kedua bayi itu tetap meraung seakan kelaparan.

Taufik segera mendekati boks dan menatap bayi-bayi itu dengan mata yang melembut. Ada kesedihan mendalam di sorot matanya, kesedihan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

"Mereka menolak susu formula sejak dua hari lalu. Aku sudah mencoba segalanya, tapi mereka tetap menangis," katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Ernita menatap bayi-bayi itu dengan perasaan campur aduk. Hatinya mencelos. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat nalurinya sebagai seorang ibu tersentuh.

Perlahan Ernita berlutut di samping salah satu boks dan mengulurkan jemarinya. Bayi mungil itu meraih jarinya, genggamannya lemah namun terasa begitu kuat di hati Ernita.

"Bolehkah saya mencobanya, Tuan?" tanyanya hati-hati.

Taufik menoleh lalu mengangguk. "Silakan."

Dengan tangan sedikit gemetar, Ernita menggendong salah satu bayi dengan penuh kehati-hatian. Begitu tubuh mungil itu bersentuhan dengannya, ada perasaan aneh yang menjalar di dadanya. Perasaan kehilangan yang selama ini menghantui, kini bercampur dengan rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan.

Perlahan, Ernita mulai menyusui bayi itu ....

Tangisannya yang tadinya begitu keras perlahan mereda, digantikan oleh suara isapan lembut. Ernita menatap wajah mungil itu dengan mata berkaca-kaca.

Taufik yang berdiri di sampingnya hanya diam. Tatapannya tak lepas dari pemandangan di hadapannya. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.

Sebuah keajaiban kecil telah terjadi di rumah itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 99

    Sudah beberapa bulan berlalu sejak Arkaf dan Asrul ikut bersama Maria dan Sanjaya tinggal di Swiss. Di awal-awal kepergian mereka, dua bocah kembar itu sempat mengalami homesick. Mereka beberapa kali terdiam menatap jendela, seolah menanti seseorang datang menjemput. Namun, hari demi hari mereka mulai terbiasa dengan kehidupan di negeri dingin itu.Maria adalah sosok nenek yang penuh perhatian. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan bergizi untuk cucu angkatnya, membangunkan mereka dengan ciuman lembut di kening dan menyelipkan jaket tebal ke tubuh mungil mereka. Sementara Sanjaya, meski tak terlalu banyak bicara, selalu menjadi sosok pelindung yang hangat. Ia sering mengajak keduanya berjalan-jalan di taman dekat rumah, atau sekadar bermain salju di halaman belakang."Nek, kapan salju turunnya lebat lagi? Aku mau bikin manusia salju yang lebih besar dari kemarin," tanya Arkaf suatu pagi sambil menatap keluar jendela.Maria tersenyum. "Sebentar lagi, sayang. Musim salju tahun ini memang a

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 98

    Sore itu, cuaca begitu bersahabat. Langit tampak bersih dan matahari sore menyinari dengan hangat, menyelinap masuk melalui jendela besar rumah megah milik Reza. Pintu utama rumah tiba-tiba terbuka perlahan dan masuklah sepasang suami istri paruh baya dengan penampilan rapi dan elegan. Wajah mereka penuh senyum bahagia. Koper-koper tertata rapi di belakang, dibawa oleh supir yang setia melayani mereka sejak dari bandara."Halo!" seru wanita itu dengan nada ceria.Reza yang tengah duduk di ruang tamu, nyaris tersedak kopi sore yang baru saja ia teguk. Ia cepat-cepat berdiri, matanya melebar tak percaya. "Mama? Papa?"Maria, wanita anggun berambut sebahu itu tersenyum lebar dan langsung memeluk putranya."Lho, mama sama papa pulang nggak ngabarin dulu," ujar Reza masih setengah kaget.Sanjaya, sang ayah yang berdiri di samping Maria, hanya tertawa kecil. "Kita mau kasih kejutan, Rez," ujarnya tenang."Iya benar, kalau kita ngabarin dulu, namanya bukan kejutan," sambung Maria sambil tert

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 97

    Di sebuah rumah, suasana sore itu terasa hangat. Si kembar, Asrul dan Arkaf, tengah duduk santai di ruang tengah bersama Reza. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan celana pendek, sementara si kembar tampak nyaman mengenakan baju baru pemberian Reza. Di atas meja, beberapa bungkus es krim yang sudah habis masih berserakan, bukti betapa mereka menikmatinya.Reza menatap kedua anak itu dengan ekspresi lembut, tapi dalam hatinya, ia dipenuhi tanda tanya. Siapa sebenarnya mereka? Ia mencoba untuk menggalinya secara perlahan."Apa kalian masih ingat sekolah kalian di mana?" tanya Reza hati-hati sambil duduk bersila di depan mereka.Asrul dan Arkaf saling berpandangan sejenak, seolah mencari jawaban di mata satu sama lain. Namun akhirnya mereka menggelengkan kepala bersamaan."Nggak tau, Om," ujar Asrul."Iya, Om, aku juga nggak inget," sambung Arkaf.Reza tersenyum tipis, berusaha tak memperlihatkan rasa kecewanya. "Atau gini aja, nama sekolah kalian apa? Mungkin masih

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 96

    Sore itu, cuaca terlihat cerah, langit biru tak berawan membentang indah di atas kota yang sibuk. Setelah seharian bekerja, Taufik akhirnya sampai di rumah. Tubuhnya memang lelah, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Seperti hari-hari sebelumnya, wajah si kembar masih terus menghantui benaknya. Namun kali ini, Ernita menyambutnya dengan ajakan yang sedikit berbeda."Mas, ayo kita keluar sebentar, keliling kota, siapa tahu kita bisa nemu petunjuk apa pun soal anak-anak," ajak Ernita dengan raut yang sudah sedikit lebih segar. Rupanya, ia mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan.Taufik sempat ragu. "Sekarang? Kamu yakin nggak capek, Nit?""Justru aku makin gelisah kalau cuma duduk di rumah. Kita keliling saja, mungkin takdir lagi baik hati sama kita hari ini."Melihat tekad di wajah istrinya, Taufik akhirnya mengangguk. "Oke. Aku mandi dulu, habis itu kita berangkat."Tak lama, mereka sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalanan kota. Suara mesin mobil terdengar lembut, menyatu den

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 95

    Di tempat lain, Gudel tampak berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya yang sepi dan dipenuhi oleh aroma kopi yang sudah dingin. Wajahnya terlihat gelisah. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tangannya beberapa kali mengepal kuat. Rasa tak tenang menggeliat di dadanya seperti ular yang mencari jalan keluar."Ke mana sebenarnya anak-anak itu?" gumamnya pelan, namun penuh kemarahan dan kekhawatiran.Ia berhenti sejenak di depan jendela besar ruangannya. Menatap keluar, tetapi pikirannya tak benar-benar melihat apa pun. Semua hanya bayangan samar dalam pikirannya. Dua wajah kecil itu, Asrul dan Arkaf terus muncul di benaknya."Kalau mereka sudah pulang ke rumah, pasti Taufik nggak akan sempat-sempatnya datang menanyakan mereka ke kantorku. Dia bahkan berani mengobrak-abrik ruanganku, berarti jelas dia belum nemu anak-anaknya," lanjut Gudel berbicara pada dirinya sendiri.Ia menepuk dahinya keras. "Tapi kalau bukan di rumah Taufik, terus ke mana mereka? Apa mungkin ada orang lain y

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 94

    Sore itu, langit tampak merona jingga ketika Helen tiba di rumah kakaknya, Taufik. Ia turun dari mobil sambil membawa sekotak kue yang baru saja dibelinya di toko langganan. Setibanya di depan pintu, ia disambut ramah oleh Tia yang mengenakan apron dengan noda saus di bagian bawahnya."Selamat sore, Mbak Helen. Ayo, silakan masuk. Nyonya Ernita ada di ruang tamu," ujar Tia sopan sambil membukakan pintu.Helen mengangguk, masuk dengan langkah ringan. Di ruang tamu, Ernita duduk di sofa sambil memegang cangkir teh hangat. Senyuman merekah saat melihat kedatangan adik iparnya."Wah, Helen, tumben mampir?" sapa Ernita."Iya, aku lagi pengen ngobrol aja, Mbak. Di rumah sendirian tuh rasanya kayak sumpek," ucap Helen sembari meletakkan kotak kue di atas meja.Mereka pun duduk dan mulai berbincang ringan tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan Helen sebagai bendahara perusahaan, sampai resep masakan yang baru dipelajari Tia dari internet.Beberapa saat kemudian, Taufik muncul dari dalam r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status