Hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya.
"Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya. Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan. "Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati. "Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap ada keajaiban. Namun keajaiban tidak datang malam itu. "Bu, bayi Ibu mengalami penyumbatan placenta sewaktu dilahirkan. Kami sudah mencoba menyelamatkannya, tapi Tuhan berkehendak lain." Dokter kembali mencoba menenangkan. Ernita menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia ingin berteriak lebih kencang, ingin meluapkan kepedihannya, tetapi suaranya semakin lirih. Pandangannya mulai berputar. Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Beberapa orang masuk, suara langkah kaki mereka tergesa-gesa. Ernita mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dan melihat wajah-wajah yang sama sekali tidak ia harapkan saat ini. Pak Harno dan Bu Pinah mertuanya, berdiri di depan pintu dengan ekspresi kecewa. Bukannya menunjukkan simpati atau belas kasih, mereka malah memandangnya dengan tatapan tajam seolah kematian bayinya adalah kesalahan Ernita. "Kami sudah duga! Pasti ini gara-gara kamu!" Bu Pinah menunjuk wajah Ernita dengan jari gemetar, bukan karena sedih tapi karena marah. "Bu, saya ...." "Jangan panggil aku Ibu! Kamu itu memang pembawa sial! Sudah aku bilang sama Gudel, jangan nikahi kamu! Lihat sekarang! Bayinya mati! Kamu istri tidak becus!" Ernita menggeleng lemah, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Pak Harno, suami Bu Pinah, melipat tangan di dada. "Kami ini orang terpandang! Kamu malah bikin aib begini! Gimana tanggapan orang-orang nanti? Hah?! Kami harus menanggung malu karena menantu tidak becus sepertimu!" Ernita ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin bayinya meninggal, bahwa ia juga berduka. Tapi tubuhnya terlalu lemah dan hatinya terlalu hancur. Tak lama kemudian, seorang pria masuk. Gudel, suaminya, berdiri di ambang pintu. Wajahnya kusut, matanya bingung. "Suamiku!" Ernita memandang Gudel dengan harapan. Gudel tidak langsung mendekat. Matanya terarah ke tubuh bayi mereka yang telah tiada. Rahangnya mengeras. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Bu Pinah sudah lebih dulu bicara. "Gudel! Kamu lihat ini?! Anakmu mati! Istrimu ini memang sial! Aku sudah bilang dari awal!" Gudel menoleh ke ibunya, lalu kembali memandang Ernita. Matanya yang semula penuh kebingungan kini dipenuhi dengan keraguan dan kemarahan. "Iya, Del! Istri macam apa dia? Tidak bisa jaga anaknya sendiri!" Pak Harno menambahkan. Gudel mengepalkan tangannya, matanya merah. "Kenapa, Er?! Kenapa anak kita bisa mati?! Kamu ini ngapain selama ini?! Harusnya kamu jaga dia!" Gudel akhirnya membuka suara, suaranya tajam dan penuh amarah. Ernita membeku. "Aku ... Aku sudah berusaha, Mas. Aku juga tidak ingin dia meninggal ...." "Omong kosong! Kamu itu cuma istri pemalas! Kamu nggak becus jadi ibu!" Gudel menunjuk wajahnya dengan kasar. Hati Ernita seakan dicabik-cabik. Air matanya semakin deras mengalir. "Mas, tolong ... aku juga kehilangan anak kita ...." "Tutup mulutmu!" Gudel berteriak membuat semua orang di ruangan itu terdiam. "Aku capek! Aku muak! Aku menyesal menikahi perempuan lemah seperti kamu!" Ernita menatap suaminya dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak. Suster yang berada di ruangan itu berusaha menengahi. "Maaf, Pak, ini rumah sakit. Tolong jangan bikin gaduh di sini." Bu Pinah mendengus dan meraih tangan Gudel. "Ayo, Del! Kita pulang! Perempuan ini nggak pantas jadi istrimu lagi!" Pak Harno menambahkan, "Benar! Ceraikan dia! Buang dia dari keluarga kita!" Gudel diam sesaat. Ia menatap tubuh bayinya yang tak bernyawa, lalu kembali menatap Ernita yang masih terduduk di ranjang dengan wajah penuh air mata. Seakan beban di pundaknya semakin berat. Dan saat itu juga, Gudel mengeluarkan kata-kata yang membuat dunia Ernita runtuh sepenuhnya. "Aku akan menceraikanmu!" Ernita terdiam. Napasnya tercekat. Seakan jantungnya berhenti berdetak. "Mas, jangan lakukan ini." Ernita berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Tidak ada alasan bagiku untuk tetap bersamamu. Kamu bukan istri yang bisa menjaga anaknya sendiri. Kamu cuma membawa kesialan dalam hidupku!" Setelah berkata demikian, Gudel berbalik dan berjalan keluar meninggalkan Ernita yang terisak sendirian. Bu Pinah dan Pak Harno mengikuti di belakangnya, meninggalkan sang menantu di ruangan itu. Ernita menggenggam selimut rumah sakit dengan erat. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena duka yang tak tertahankan. Suster yang tadi berusaha menenangkan kini menatapnya dengan iba. "Bu, saya benar-benar turut berduka. Anda butuh waktu untuk beristirahat." Tapi bagaimana Ernita bisa beristirahat ketika hatinya sudah hancur berkeping-keping? Ia baru saja kehilangan bayinya. Dan kini, ia kehilangan suaminya juga. Malam itu hujan terus turun dengan derasnya, seakan langit pun turut menangisi kepergian bayinya. Dan Ernita, seorang wanita yang baru saja menjadi ibu, kini mendapati dirinya sendirian di dunia yang terasa begitu kejam. **** Hujan semakin deras, membasahi kaca jendela rumah sakit. Petir menyambar-nyambar, seakan membelah langit menjadi dua. Di dalam kamar rawat yang dingin itu, Ernita masih terduduk dengan mata kosong. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi bayi mungilnya yang kini telah membeku. Dadanya terasa sesak, napasnya terasa berat. "Apa salahku?" bisiknya pelan hampir tak terdengar. Namun pertanyaannya tak akan pernah mendapat jawaban. Di luar ruangan, langkah-langkah Gudel menggema di sepanjang koridor. Pria itu berjalan dengan cepat, diiringi orang tuanya yang masih terus berbicara tentang perceraian. "Kamu jangan sampai luluh, Del! Perempuan seperti itu tidak pantas jadi bagian dari keluarga kita!" Bu Pinah menegaskan. Pak Harno mengangguk setuju. "Jangan biarkan dia merayu atau menangis di depanmu. Itu hanya trik murahan." Gudel hanya diam. Wajahnya masih menyiratkan kebingungan, tapi kemarahan dalam dirinya terlalu besar untuk berpikir jernih. Sementara itu, di dalam kamar rawat, Ernita masih menatap tubuh kecil itu dengan pandangan kosong. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena kedinginan, melainkan karena kenyataan pahit yang harus ia telan. Ia kehilangan segalanya! Dan malam itu, Ernita berjanji dalam hati, jika dunia telah membuangnya, maka ia akan mencari jalannya sendiri untuk bertahan hidup. 'Kenapa suamiku tega sekali kepadaku,' batin Ernita sembari sesekali terisak.Pagi itu, di sebuah rumah terpencil yang dikelilingi pepohonan rimbun dan pagar tinggi, matahari menyelinap melalui celah-celah jendela yang tertutup tirai tebal. Di dalamnya, Nadya tengah sibuk di dapur sederhana, menyiapkan sarapan untuk dua bocah laki-laki yang terus-menerus membuat kegaduhan sejak bangun tidur."Asrul! Arkaf! Sarapan dulu, ayo sini!" panggil Nadya dengan nada sedikit memaksa, namun berusaha terdengar manis.Kedua bocah itu, Asrul dan Arkaf, tampak duduk di sudut ruangan, masih mengenakan piyama bergambar superhero. Mereka saling berbisik dan menatap Nadya dengan penuh curiga. Asrul menggoyangkan kakinya, sementara Arkaf memainkan mainan kecil dari saku bajunya."Kita mau pulang!" teriak Arkaf tiba-tiba."Iya! Kita mau sama Mama dan Papa!" sambung Asrul, wajahnya memerah karena emosi yang ditahan sejak kemarin.Nadya menghela napas panjang, lalu membawa dua piring berisi nasi goreng dan telur dadar ke meja. "Dengar, Nak. Mama dan Papa kalian lagi sibuk. Mereka mint
Malam hari menyelimuti sebuah vila mewah yang tersembunyi di balik deretan pepohonan pinus di lereng perbukitan. Di dalam ruang tamu vila itu, lampu gantung berkilauan redup, menciptakan bayangan misterius di sudut-sudut ruangan. Dua sosok tengah duduk berhadapan. Gudel, dengan wajah dingin dan tatapan penuh perhitungan, menyeruput anggur dari gelas kristal di tangannya. Di hadapannya, Nadya duduk dengan tubuh tegap namun mata yang menyiratkan kebimbangan. "Aku sudah culik anak-anaknya Taufik," kata Gudel dengan suara pelan namun tajam seperti belati. "Sekarang tugasmu adalah bikin mereka luluh. Aku akan buat Taufik gila karena kehilangan anak-anaknya. Kalau pikirannya terganggu, dia pasti akan jatuh dan bangkrut. Dan saat dia berada di titik terendah, aku akan ambil semua miliknya." Nadya mengerutkan kening. Ia menunduk sejenak sebelum menatap mata Gudel. "Bukannya Taufik kaya tujuh turunan ya? Hartanya nggak mungkin habis, dia sih. Bahkan kalau perusahaan dia jatuh, dia masih pun
Siang itu, langit terlihat cerah, dan suasana di sekitar SD Harapan Bunda cukup ramai. Para orang tua mulai berdatangan, menunggu anak-anak mereka pulang sekolah. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap berhenti perlahan. Mesin dimatikan, dan dari dalam mobil keluar seorang pria berkacamata hitam. Dialah Gudel.Gudel berdiri bersandar di kap mobilnya, memperhatikan gerbang sekolah dengan penuh minat. Senyumnya sinis, matanya awas. Ia tampak seperti seorang pria yang sedang menunggu seseorang, tapi tidak seorang pun tahu, ada niat jahat tersembunyi dalam diamnya.Jam menunjukkan pukul 12.58. Bel sekolah berbunyi. Dari dalam gerbang, anak-anak SD mulai keluar satu per satu. Ada yang tertawa riang, ada pula yang berjalan pelan menanti jemputan. Tak lama, dua bocah laki-laki kembar muncul. Seragam mereka rapi, wajah mereka ceria seperti biasa."Hem, si kembar," gumam Gudel, mengenali keduanya dari foto-foto yang pernah ia lihat diam-diam lewat sosial media dan pengintaian
Bar itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pengunjung duduk dengan tenang sambil menikmati minuman masing-masing. Musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan, memberikan suasana yang cukup nyaman bagi siapa pun yang ingin melepas penat atau sekadar melewati waktu.Gudel duduk di salah satu sudut ruangan, mengenakan kemeja gelap dengan kancing atas terbuka. Di hadapannya segelas minuman berwarna cokelat terang, aroma manis dengan kadar alkohol rendah menguar dari gelas tersebut. Ia menyesap pelan, sambil sesekali melirik ke pintu masuk bar.Tak lama kemudian, seorang wanita memasuki ruangan. Langkahnya mantap, namun matanya menyiratkan kehati-hatian. Ia mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana panjang berbahan kain. Rambutnya digerai lurus dan dibiarkan tergerai alami. Saat matanya bertemu dengan Gudel, senyum tipis mengembang di bibirnya."Nadya," sapa Gudel sambil melambaikan tangan. Wanita itu berjalan mendekat dan duduk di hadapannya."Sudah lama nunggu?" tanya Nad
Beberapa tahun telah berlalu sejak kepergian Loren. Waktu berjalan begitu cepat, menyisakan kenangan yang masih lekat di hati setiap anggota keluarga. Kini, Taufik telah berpindah dan menetap di rumah warisan peninggalan Loren. Rumah besar yang dulu terasa dingin dan penuh tekanan, kini berubah menjadi hangat dan penuh kebahagiaan.Taufik tinggal bersama Ernita, istrinya yang setia, serta dua buah hati mereka, si kembar Asrul dan Arkaf, yang kini telah berusia tujuh tahun dan duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Tak ketinggalan, Tia juga masih menjadi bagian penting dalam keluarga itu. Ia kini tumbuh menjadi gadis remaja yang ceria dan bertanggung jawab, membantu Ernita menjaga si kembar dan tak jarang memasak makanan kesukaan mereka semua.Pagi hari selalu dimulai dengan riuh suara tawa si kembar. Asrul yang suka berceloteh, dan Arkaf yang lebih pendiam, tetapi cerdas, membuat suasana rumah tak pernah sepi. Ernita biasanya sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Taufik
Pagi itu, langit tampak cerah, tapi suasana hati Helen justru sebaliknya. Ia berdiri di depan pintu kantor tempatnya bekerja selama beberapa minggu terakhir. Kali ini bukan untuk memulai pekerjaan seperti biasanya, tapi untuk mengakhirinya. Tangannya menggenggam amplop berisi surat pengunduran diri yang sudah ia siapkan sejak semalam. Dengan langkah mantap namun hati yang sedikit gemetar, Helen masuk ke dalam kantor. Ia langsung menuju ruangan atasan tempat Gudel biasa duduk dengan angkuhnya. Sekretaris Gudel yang duduk di meja depan sempat menatap Helen dengan alis terangkat, tetapi tidak berkata apa-apa saat Helen membuka pintu dan masuk begitu saja. Gudel sedang duduk sambil menatap layar laptopnya ketika Helen masuk. Ia mengangkat kepala dan menyipitkan mata, tampak sedikit terkejut. "Helen? Ada apa pagi-pagi begini?" Tanpa basa-basi, Helen meletakkan amplop coklat di atas meja Gudel. "Saya mau mengajukan pengunduran diri, Pak. Mulai hari ini, saya tidak lagi bekerja di sin