Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham.
Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman.
"Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan.
"Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja.
Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu."
Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja.
"Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang."
"Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova."
"Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotkan lagi. Lova sudah cukup berkorban. Ardhan tidak akan membiarkan hal itu.
"Ini urusan sesama perempuan, Sayang. Kamu tidak akan paham." Khatami mendorong Ardhan keluar, lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Hei, Tami!"
Seruan suaminya tidak Khatami hiraukan. Dia melenggang menuju dapur. Lova sedang mencuci piring rupanya. Di antara piring-piring kotor itu, ada gelas bekas jus jeruk.
"Jadi Mas Ardhan meminumnya?"
Lova yang setengah melamun terenyak. Dia segera membasuh tangannya yang belepotan sabun dan mengelapnya. "Eh, Mbak Tami."
Khatami meraih gelas bekas jus jeruk yang belum Lova cuci. Masih ada beberapa tetes sisanya. "Mas Ardhan meminumnya?" Perempuan itu mengulangi pertanyaan.
"Itu ...."
Seharusnya jus jeruk itu memang untuk Ardhan seandainya dia tidak bergairah kepada Lova. Namun, Lova ternyata lebih membutuhnya untuk menghilangkan ragu yang melanda.
Khatami menghela napas lega. Dia berpikir Ardhan meminumnya. Artinya Lova adalah pilihan yang tepat. Ardhan tidak akan mungkin berpaling darinya kepada Lova. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Lov. Aku ke sini cuma mau memastikan saja."
Ah, Lova memilih menyimpan kebenarannya. Dia tidak ingin membuat Khatami sedih seandainya tahu jika Ardhan sama sekali tidak membutuhkan minuman itu.
Lova mengantar Khatami ke depan. Ternyata Ardhan masih di sana. Khatami langsung menggandeng tangannya. "Kamu menungguku?" tanya perempuan itu semringah.
Ardhan tidak menyangkal maupun mengiyakan. Dia justru menatap Lova yang juga memandangnya. Lova segera membuang muka.
"Kami pulang dulu, ya, Lov," ucap Khatami. "Segera kabari aku kalau ada berita bagus."
"Iya, Mbak. Pasti."
Ardhan sebenarnya khawatir meninggalkan Lova sendirian. Dia takut tetangga yang lain juga menghujat Lova. Tadi saat Ardhan sendirian di luar, ada sekolompok ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur menatap sinis ke arahnya sambil bisik-bisik. Tidak perlu memiliki indra keenam untuk tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
"Saya rasa sebaiknya kamu pindah rumah," ucap Ardhan.
Khatami dan Lova bertanya bersamaan. "Kenapa?"
"Saya tidak mau kamu tinggal di lingkungan yang toksik. Kalau kamu sampai stress saat hamil nanti, bukankah hal itu tidak bagus untuk perkembangan bayinya?"
Ardha harus menjadikan bayi sebagai alasan agar Khatami tidak banyak berkomentar.
"Benar juga," ucap Khatami. "Bagaimana kalau kamu pindah ke apartemen? Dekat dengan rumah pula. Aku bisa sering-sering mengunjungimu nanti."
Ardhan setuju. "Iya. Lebih baik kamu pindah ke apartemen."
"Tapi ... pekerjaan aku?"
Ardhan menghela napas. "Lova, kamu sudah menjadi tanggung jawab saya."
Khatami mengangguk.
"Ya sudah. Aku mau," jawab Lova.
🍼🍼🍼Apartemen ini didominasi warna hitam, putih, dan abu. Memiliki dua kamar tidur, walk in closet, ruang tengah, dapur, dan satu kamar mandi. Terdapat balkon tertutup untuk menikmati pemandangan di luar sana.Apartemen ini dulunya ditempati Ardhan dan Khatami saat mereka baru menikah. Oleh karena itu Lova tidak memilih kamar utama. Dia sudah satu minggu tinggal di sini. Selama itu, Lova tidak pernah keluar.
Semua kebutuhannya selalu disediakan. Ada Bu Mar yang setiap hari datang untuk bersih-bersih dan memasak. Lova hanya perlu duduk santai menikmati hidup. Tempat favoritnya di balkon. Dia sering menghabiskan waktu di sana sambil membaca buku.
"Makanannya sudah siap, Non," ucap Bu Mar.
Lova menutup buku soal kehamilan pemberian Khatami. Khatami sebenarnya membeli buku itu untuk dirinya sendiri. Dia sudah hafal sebagian besar isinya, tetapi tidak hamil juga.
"Terima kasih, Bu," jawab Lova tulus sambil tersenyum.
"Sama-sama, Non. Sudah menjadi tugas saya."
"Mari makan bersama."
Lova memang selalu mengajak Bu Mar makan satu meja dengannya. Awalnya Bu Mar menolak, tetapi Lova memaksa.
"Non Lova sudah tes kehamilan?" tanya Bu Mar.
Lova menggeleng. "Nanti kalau saya telat menstruasi."
Jadwal menstruasi Lova teratur. Seharusnya dua hari lagi tamu bulanan itu datang. Sekarang Lova tidak mengharapkan kehadirannya. Lova ingin segera ada kehidupan di dalam perutnya.
Namun, beberapa hari kemudian, Lova mendapati dirinya haid. Lova terduduk lesu di tempat tidurnya. Dia meraih ponsel, hendak menghubungi Khatami.
"Assalamu'alaikum, Mbak," ucap Lova setelah sambungan terhubung.
[Wa'alaikumussalam. Ada apa, Lov? Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?]
Lova menggigit bibir bawah. Dengan menyesal dia mengatakan, "Aku haid, Mbak."
Khatami tidak langsung menjawab. Terdengar helaan napas.
[Yah, mau bagaimana lagi?]
"Mbak Tami kecewa?"
[Kecewa. Tapi, aku tidak menyalahkanmu. Aku tahu itu bukan sesuatu yang bisa kamu kendalikan.]
"Terus aku harus bagaimana, Mbak?"
[Bagaimana apanya? Kamu harus mencobanya sampai berhasil.]
"Mbak baik-baik saja dengan hal ini? Aku dan Mas Ardhan harus ...." Lova tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
[Aku tidak punya pilihan lain. Bisa sih kamu program bayi tabung. Keberhasilannya pasti lebih baik. Tapi, dua kali gagal membuatku trauma, Lov. Dan kalau mertuaku tahu, dia pasti bikin keributan luar biasa. Dia pasti mendesak Mas Ardhan menceraikan kita detik itu juga."
Lova juga sudah mencari tahu soal proses bayi tabung karena masalah hal ini. Dan memang tidak menjamin sekali percobaan langsung berhasil. Lagi pula, yang menjalankan program itu harus pasangan suami istri yang sah secara negara.
"Aku minta maaf, Mbak."
Khatami tertawa sumbang. [Aku kan sudah bilang, aku tidak menyalahkan kamu."
Tetap saja Lova merasa bersalah.
[Beri tahu aku kalau kamu sudah selesai, ya. Mas Ardhan akan ke sana di masa subur kamu.]
"Iya, Mbak."
Setelah berbasa-basi, telepon terputus. Lova mengembuskan napas panjang. Dia harus mengulangi hal itu bersama Ardhan.
Tidak terasa waktu berlalu sangat cepat, padahal Lova berharap waktu bisa melambat. Jantungnya berdegub kencang saat menerima pesan dari Khatami.
[Mas Ardhan akan ke sana malam nanti. Kamu persiapkan diri, ya.]
Sejak tinggal di apartemen, Ardhan hanya datang saat Lova baru pindah. Setelahnya, Khatami yang mengurus keperluan Lova. Lova tidak pernah berinteraksi dengan Ardhan lagi. Hal itu membuat Lova harus kembali beradaptasi dengan kehadiran Ardhan.
Bel apartemen berbunyi. Lova mengatur napasnya sebelum membukakan pintu untuk Ardhan.
"Lova, apa kabar?"
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela