Share

4. Penyesalan Ardhan

"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova.

"Ya sudah, aku yang mengepel."

"Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"

Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana.

"Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova.

"Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini.

"Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu.

"Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih.

"Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."

Ardhan mengernyit. "Sekarang kan kamu istri saya. Saya memiliki kewajiban menafkahi kamu."

Oh. Lova kira Ardhan tidak akan menganggapnya sebagai istri. "Terserah Mas saja, asal tidak memberatkan."

"Kamu memang terlalu penurut." Ardhan menggeleng pelan. "Pantas Tami sangat memercayai kamu."

"Seorang istri memang harus menurut kepada suaminya selama tidak melanggar perintah agama."

Ardhan tersenyum. "Nah, sekarang kamu mau sarapan apa?" tanya pria itu setelah menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya semula.

"Terserah Mas saja." Lova tidak berani merekomendasikan makanan apa pun karena khawatir Ardhan tidak akan menyukainya. Selera mereka pasti berbeda.

"Terserah lagi? Sebagian laki-laki itu membenci kata 'terserah'-nya perempuan."

"Aku benar-benar menyerahkan keputusannya kepada Mas Ardhan. Aku ikut saja."

"Ya. Baiklah." Ardhan menghela napas. "Tunggu saja di sana," ucap Ardhan sambil menunjuk kursi yang biasa Lova gunakan saat menjahit.

Lova memandangi punggung Ardhan sampai dirinya menghilang setelah melewati partisi. Apa Ardhan akan memasak? tanya Lova di dalam hatinya. Dia semakin tidak enak kepada Ardhan. Seharusnya tidak seperti ini.

Beberapa saat kemudian, dua porsi omelette terhidang di hadapan Lova. Aromanya menggugah selera.

"Makanlah. Atau, perlu saya suapi?"

Lova lekas menggeleng dan mengambil bagiannya. Seharusnya Ardhan tidak perlu sebaik ini. Lova lebih suka Ardhan hanya memanfaatkannya sebagai mesin pembuat anak.

"Bagaimana?" tanya Ardhan.

"Enak." Sebenarnya terasa hambar.

Ardhan tersenyum senang mendapat pujian.

"Mas sampai kapan ada di sini?"

Khatami pasti sedang menunggu kepulangan suaminya. Lova tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Khatami menyambut sang suami yang baru bermalam dengan perempuan lain.

"Kamu mau saya tinggal lebih lama, atau sedang mengusir saya secara halus?"

 "Mengusir secara halus," jawabnya jujur.

"Bagaimana saya bisa pergi begitu saja setelah apa yang saya lakukan kepada kamu?"

"Aku baik-baik saja, Mas. Lagi pula ...." Wajah Lova memanas. "Aku menerimanya tanpa paksaan," ucap Lova pelan.

"Obat itu adalah bukti jika kamu tidak menginginkannya. Jujur saja, Lova."

Lova menelan susah payah suapan terakhirnya. Dia meraih air minum. Tenggorokannya tiba-tiba serat.

"Tempat Mas Ardhan bukan di sini. Mas harus kembali kepada Mbak Tami."

Ardhan tahu itu. Dia hanya ingin bertanggung jawab. Namun, jika Lova tidak menginginkan kehadirannya, dia bisa apa? Mungkin Lova tidak nyaman. Mungkin, jauh di lubuk hatinya, perempuan itu membenci Ardhan.

"Baiklah, kalau itu keinginan kamu. Saya akan mengirim seseorang untuk membantu pekerjaan kamu."

Sebenarnya Lova tidak memerlukan hal itu. Lova masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah di sela kesibukannya. Kontrakan ini juga kecil. Hanya ada empat ruangan. Ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi.

Ruang tamu Lova gunakan sebagai tempat kerjanya. Lova tidak terlalu sering merapikannya karena selalu berantakan oleh potongan kain. Lova juga jarang menerima tamu kecuali pelanggan yang tidak lain masih tetangganya juga. Jadi hal itu bukan masalah.

Ardhan sedang bersiap pergi saat seseorang mengunjungi kontrakan Lova.

🍼🍼🍼

"Aku mau mengambil CV milik Albi, Lov," ucap seorang perempuan yang usianya hanya terpaut tiga tahun dengan Lova. Dia adalah Alya, kakak perempuan Albi.

Lova terperanjat. Pasalnya saat Lova memberi tahu Albi jika dia akan membatalkan ta'aruf mereka, Albi menyuruh Lova membuang saja CV miliknya.

Namun, Lova tidak banyak bertanya. Lova segera mengambil map merah itu. Lova bersyukur belum sempat membuangnya karena sibuk.

"Ini, Kak. Aku tidak mengembalikannya karena Albi meminta untuk membuangnya saja."

Alya mendengkus. "Dasar anak itu! Sayang kalau dibuang. Repot dua kali kalau bikin yang baru."

Lova tidak menanggapi karena sepertinya Alya berbicara kepada dirinya sendiri.

"Omong-omong, Lov. Betul kamu membatalkan ta'aruf dengan Albi demi menikah dengan pria kaya beristri?"

Lova spontan menahan napas. Beritanya ternyata menyebar sangat cepat. Lova tidak berniat merahasiakan pernikahannya, tetapi tidak juga memberi tahu semua tetangganya. Hanya yang terdekat saja agar tidak terjadi salah paham yang berujung penggerebekan.

Lova tidak menyangka Alya yang tinggal di paling ujung gang sudah mengetahui hal ini.

"Benar, Mbak."

Alya menghela napas panjang. "Kamu ini, Lov. Albi mau menjadikan kamu satu-satunya, kamu malah memilih menjadi yang kedua. Menikah siri pula."

Ucapan Alya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai sasaran.

"Aku dan Albi mungkin memang tidak berjodoh, Mbak."

"Syukurlah. Albi tidak jadi menikahi perempuan matre kayak kamu."

Lova berusaha tetap sabar. Dia tahu dia akan mendapat berbagai respons dari tetangganya, termasuk komentar negatif.

"Urusan Kak Alya sudah selesai kan? Bukannya bermaksud mengusir, tapi aku masih ada kesibukan lain."

Alya memandang Lova dengan tatapan merendahkan. "Sibuk memuaskan suami orang?"

Lova menggumamkan istigfar. "Suamiku juga, Mbak."

Alya tersenyum mengejek. "Aku tidak menyangka ternyata Lova yang katanya perempuan salihah itu aslinya begini."

"Begini bagaimana?" Ardhan yang sudah tidak tahan dengan ocehan perempuan itu segera bergabung. Ardhan menarik Lova sehingga Lova berdiri di belakangnya.

Alya membelalak, lalu mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Aku mau pergi saja," ucapnya, lalu buru-buru meninggalkan kediaman Lova.

Ardhan berdecak. "Orang nyinyir tidak ada habisnya." Pria itu kemudian berbalik menghadap Lova. "Dia siapa?"

"Kakaknya Albi."

Sebelah alis Ardhan terangkat. "Laki-laki yang ingin menikahi kamu?"

"Masih proses perkenalan. Albi belum sempat melamar."

"Kamu menyukai laki-laki itu?"

Albi pria yang baik. Dia sering membantu warga sekitar yang sedang kesusahan. Albi juga sopan kepada semua orang tanpa memandang usia dan kasta. Bagaimana mungkin Lova tidak menyukainya?

"Maaf kamu jadi terlibat masalah kami. Seandainya saya mencari tahu dulu soal kamu lebih dalam lagi, saya tidak akan mengambil keputusan ini," ucap Ardhan benar-benar merasa bersalah.

Ardhan setuju menikahi Lova memang karena ingin membuat Khatami berhenti curiga berlebihan kepadanya. Namun, tidak bisa dipungkiri, Ardhan juga menginginkan buah hati.

"Yang harus terjadi akan tetap terjadi, Mas. Mas tidak perlu meminta maaf."

Tidak. Ardhan akan selalu dihantui rasa bersalah.

Ardhan meraih tangan Lova ke dalam genggamannya. "Setelah tugas kamu selesai nanti, saya berjanji akan menjamin hidup kamu. Saya tidak akan membiarkan kamu kekurangan apa pun. Saya tahu ini terkesan sombong karena saya hanya melihatnya dari segi materi. Tapi, hanya ini yang bisa saya lakukan."

Lova tersenyum, lantas mengangguk. Di dalam hati dia menjawab, "Tapi aku berencana pergi sejauh-jauhnya dari hidup Mas Ardhan, Mbak Tami, dan anak-anakku nanti."

"Sayang!"

Ardhan dan Lova segera menoleh ke sumber suara, dan mereka menemukan Khatami di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status