“Berikan aku ruang. Aku sudah bisa bergerak seperti dulu lagi. Aku juga ingin bebas pergi ke mana pun. Melakukan banyak hal tanpa harus merasa diawasi. Jangan kamu beri kekangan yang terlalu. Jangan pakai pengawal atau supir. Biarkan aku bergerak normal, seperti wanita lain pada umumnya.”Permintaan itu membuat Reyvan terdiam. Nafasnya tertahan sesaat. Itu bukan permintaan biasa, tapi sebuah hal berat. Di balik sorot matanya, banyak nama berkelebat--Arsen yang licik, Deandra dengan penuh tipu daya, Viona yang penuh dendam, David yang rival cintanya, bahkan mamanya sendiri, juga Tante Olla yang selalu mencari celah. Semua itu membuatnya dilema.Amber kembali memohon, “Aku janji nggak akan pergi dan nggak akan kabur. Please, kasih aku ruang.”Reyvan menutup mata sejenak. Keputusan itu terasa menyesakkan, tapi dia tak ingin lagi mengecewakan perempuan yang ada di pelukannya. Perlahan, dia kembali merengkuh Amber erat-erat. “Asal kamu janji akan menjaga diri, dan selalu mengabariku.”Seny
"Kamu jangan menyalahkan Mama! Salahkan dirimu sendiri. Kenapa sejak lahir selalu bawa sial!" ketus Diana.Kaki Reyvan sudah bergeser. Dia ingin masuk lagi, tapi ditahan sekuat hati. Lalu, tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras. Dadanya terbesit nyeri saat mendengar istrinya terus dihujat seperti itu. Rasanya ingin merengkuh, mendekap Amber, lalu membawa pergi. Tapi, Amber belum selesai meluapkan gejolak perasaannya.Amber menekan napasnya yang berat. Dia tak mau menghadapi Mamanya lebih lama lagi. “Soal Reyvan memperlakukan Mama seperti ini? Itu karena sikap Mama sendiri. Bukannya sudah bagus, Mama dikasih rumah, pembantu, penjaga. Dan kalau Mama mau lebih, tolong jaga sikap.”Diana menahan kesal. "Kamu benar-benar nggak bisa diandalkan! Anak nggak tahu diri!"Amber menatapnya tajam. “Dan seperti yang Reyvan katakan. Mulai sekarang, aku sendiri yang akan menentukan bagaimana hidupku. Mau aku tetap jadi istri Reyvan atau bukan, itu tidak ada hubungannya dengan Mama lagi.”Dian
“Bercerailah dengan Reyvan? Mama berpikir memang seharus begitu, biar kita tetap hidup enak, tenang, damai. Mama sudah punya 5 kandidat yang lebih cocok buatmu. Mereka sanggup menawarmu dengan mahar selangit. Amber, kamu itu cantik, jadi laku mahal. Jangan sampai nyesel kalau tetap di sisi Reyvan. Mama sudah menghadapinya beberapa hari ini, dan masih bisa napas sampai detik ini saja, Mama sudah dikatakan selamat.” Diana menatap sendu, wajahnya bak wanita paling teraniaya di dunia.Amber menatap lekat. Heran kenapa kalimat seperti itu bisa keluar dari wanita yang melahirkannya. Dadanya begitu sesak. Padahal tadi dia sangat mencemaskan mamanya. Kini, satu sudut bibirnya terangkat miring. Dia menggeleng pelan, menahan tawa getir.Lalu Amber terkekeh pelan. “Berpikir? Mama berpikir mau menjualku? Huffff ... Kapan pikiran Mama benar? Sejak dulu, Mama selalu salah berpikir kalau soal keputusan hidup. Apalagi soal hidupku.”Mata Diana melotot, kaget sekaligus tersinggung. “Mama bukan mau men
Mata Amber membelalak tajam, tapi sebenarnya gugup menatap Reyvan. "A-apa yang sudah kamu lakukan sama, Mamaku?"Reyvan mengerutkan dahinya, lalu menatap Prama yang duduk di sebelah kemudi. "Pram, mertuaku kamu kasih buaya atau singa?"Amber sinyal memegang tangan Reyvan. "Apa yang kamu katakan? Jangan bercanda, Rey! Dari tadi pikiranku hampir meledak, tapi kamu cuma bercanda."Reyvan menaikkan dua pundaknya, lalu mengusap tangan Amber yang memegangnya. "Kamu tenang saja, tulang-tulangnya masih ada," ucapnya santai.Amber membuang tangan Reyvan. "Awas, Kamu nanti!"Reyvan mengangguk tenang. "Ya, aku tunggu apa yang mau kamu lakukan padaku nanti. Mau lanjutin yang tadi? Atau-""Rey! Diam!" bentak Amber. Dia menggeram dalam hati.Reyvan mengatup matanya sambil mengangguk. "Hem."Amber semakin geregetan. Dari tadi suaminya itu tidak pernah serius. "Kamu sengaja mempermainkanku, kan?""Siapa yang sedang bermain-main?" Reyvan tersenyum tipis.Amber memukul-mukul dada Reyvan. "Awas saja kal
Serangan mendadak. Pikirannya seketika kacau.Mata Amber membelalak. Tubuhnya menegang, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.Waktu seakan berhenti, udara sekitar serasa lenyap ditelan hening. Yang terdengar hanyalah degupan jantung, yang berdentum keras seolah hendak pecah. Sentuhan itu hangat, lembut, tapi juga mendebarkan. Amber merasa seperti tersambar sesuatu, ada geliat listrik yang mengalir deras.'Apa-apaan ini?' batin Amber tersentak panik. Jantungnya berdegup makin kacau. Ada gelombang-gelombang rasa yang melintas cepat, menohok dadanya. Dia ingin segera mendorong, ingin melepaskan diri, tapi—Satu tangan Reyvan sudah merengkuh pinggang Amber, menariknya lebih dekat. Hingga tubuh Amber tak punya ruang lagi untuk mundur. Nafasnya pun tercekat.Reyvan memejamkan matanya, memperdalam rasa itu, meski jantungnya berdegup menggila. Pria itu mendominasi, dengan kelembutannya. Seolah ingin berkata banyak hal, tapi memilih menyampaikannya dengan bahasa hati.Dua napas berb
Supir langsung panik. “Maaf, Nyonya. Kalau Anda nekat, kami bisa dipecat sama Tuan. Nyonya mau nyari apa, biar saya saja yang carikan.”Amber terdiam sesaat. Yah, begitulah Reyvan. Kalau sampai murka, tak ada yang bisa menahannya. Dia tak tega membuat orang lain jadi korban. Dengan pasrah, dia menarik tangannya. “Baiklah. Kamu cari baik-baik. Dan langsung hubungi aku kalau ketemu.”Pembantu itu bernapas lega.Mereka turun di restoran.Saat masuk, tidak ada yang mencurigakan bagi Amber. Karena banyak pengunjung pada umumnya.“Nyonya, saya sudah pesan tempatnya. Anda akan diantar oleh waiters,” kata pembantu itu.Amber menurut saja. Waiters berseragam hitam putih menghampirinya dan mempersilakan mengikuti.Langkahnya berakhir di depan sebuah private room. Pintu langsung dibuka dan disambut dengan cahaya temaram.“Silakan, Nyonya,” ucap waiters itu, lalu meninggalkannya begitu saja.Amber mematung di depan pintu. Ada rasa aneh. Mengapa dia ditinggalkan begitu saja? Ragu melingkar dalam