“Aku istirahat sebentar, kamu juga boleh tidur. Pasang alarm satu jam ke depan. Besok semua tumpukan map itu harus selesai,” ucap Reyvan pelan, matanya sudah berat, tubuhnya seolah dipaksa berdiri tegak padahal sudah terlalu lelah. Dia duduk di sofa dengan kepala bersandar lemas. Padahal ada ruang istirahat khusus. Yang penting sekarang adalah memejamkan mata, sebentar saja.Prama yang sudah terbiasa melihat bosnya keras kepala, hanya bisa menuruti. Dia memasang alarm dengan hati-hati, takut kalau mereka kebablasan tidur sampai pagi. Pekerjaan masih menumpuk, sementara tenaga mereka sudah habis terkuras.Baru saja Prama hendak memejamkan mata di kursi seberang, tubuhnya tiba-tiba tegap. Matanya membelalak menatap bosnya. Dahinya berkerut. "Ha?" Mulutnya ternganga.Ternyata baru sebentar memejamkan mata, Reyvan sudah mengigau. “Amber … Amber … Amber …,” lirihnya, sambil tersenyum samar, kedua tangannya seolah memeluk seseorang.Prama menggeleng kecil, hatinya jadi terenyuh. “Dasar bo
Reyvan duduk bersama Prama di depan Deandra. Dia tidak melirik sedikit pun ke makanan mewah yang tersaji. “Katakan, memangnya apa masalahku? Apa aku punya masalah?”Deandra tersenyum tipis. “Tidak sulit menebak, Rey. Jadwalmu kacau, beberapa meeting diwakilkan, dan aku tahu kamu mengundur jatuh tempo pengiriman pesanan. Rey, aku bukan direktur amatir. Jadi jangan mengelak. Kamu mau terima bantuanku, atau menikmati kekalahanmu dari orang-orang yang ingin melihatmu turun dari kursi CEO?”'Dia masih tak mau ngaku. Biarlah. Dia tidak mengaku pun, aku sudah tahu siapa pelakunya. Hanya memastikan saja apa wanita ini punya hubungan khusus dengan Arsen saja,' batin Reyvan.Reyvan menghela napas berat. Sikap Deandra malam ini memang berbeda jauh dengan sebelumnya. Tidak ada sorot mata menjijikkan. Malam ini dia tampak elegan, profesional. Entah kenapa, bisa berubah seketika. Namun, dia malah makin waspada."Katakan saja dari mana kamu tahu soal situasiku? Cuma menebak? Omong kosong!" Reyvan te
Amber mengerutkan kening. Perasaan tak enak menjalari dadanya.Beberapa lembar foto dijajarkan di atas meja kayu mahal itu. Semua bergambar wanita-wanita cantik dengan penampilan eksekutif elegan. Dari cara berpakaian, jelas sekali mereka berasal dari keluarga kaya raya.Tangan Amber yang diam di pangkuan pelan meremas. Tapi wajahnya tetap tenang. Dia tersenyum tipis. “Apa maksud Mama dengan semua ini?”Tania tersenyum sinis. “Jangan pura-pura bodoh. Waktumu sudah habis menjadi istri Reyvan. Dan mereka ini kandidat istri Reyvan. Jadi pilihkan salah satunya. Siapa pun yang kamu pilih, bagiku sama saja. Mereka semua setara untuk keluarga Kalingga.”Amber menghela napas, lalu terkekeh kecil. “Kenapa Mama menunjukkannya padaku? Suruh Reyvan memilih sendiri.”“Reyvan jelas setuju.” Tania mendesah puas. “Apalagi saat ini dia sedang butuh dukungan. Asal kamu tahu, mereka semua anak pengusaha besar yang siap menyokong posisi Reyvan di perusahaan. Perusahaan keluarga mereka semua kuat. Apalagi
“Benar, Nyonya. Tuan memang pulang semalam, tapi lewat tengah malam,” ucap pembantu lirih.Amber tercenung. Dia mengedarkan pandangan ke penjuru ruang, lalu menatap sisi ranjangnya dengan jeli. Memang ada bekas habis dipakai tidur. Dadanya jadi berdesir.'Jadi Reyvan memang pulang semalam?' batinnya bertanya.Rasa kecewanya sedikit terkikis. Lalu, dua sudut bibirnya melengkung tipis, senyum yang tak bisa dia bendung. Namun, yang membuatnya semakin tercengang adalah posisi bantal yang sangat dekat dengan bantalnya. Mungkinkah-? Amber hanya bisa menduga-duga.Amber kembali menoleh pada pembantunya. “Lalu apa dia juga tidur di kamar ini? Apa saja yang dia lakukan setelah pulang? Kenapa tidak ada yang membangunkanku?”Pembantu itu tersenyum tipis. “Tuan memang masuk ke kamar ini. Tuan bahkan makan makanan yang Nyonya siapkan.”Deg. Dada Amber terasa lapang seketika, lega bercampur berbunga-bunga."Dia makan makanan yang aku siapkan? Jadi dia tahu kalau aku menunggunya dan sudah ada effort
Reyvan terdiam. Kepalanya berputar. Dia baru saja dipercaya kembali menduduki kursi pimpinan, dan kini perusahaan belum stabil benar. Sekarang malah ada masalah 70% bahan baku rusak. Mencari gantinya bukan perkara mudah. Kualitas dan jumlah itu tak bisa didapat dalam waktu singkat. Jika gagal, bukan hanya dewan direksi yang meragukannya, tapi klien besar pun bisa membatalkan kontrak.Tangannya meremas rambut, lalu menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia memijit pangkal hidung yang mulai berdenyut.“Pram … kamu—” Reyvan menatap asistennya. Dia mulai menyusun beberapa terobosan yang bisa dijadikan solusi. Satu per satu dia jelaskan detail. Jalur alternatif, pemasok cadangan, dan cara menutup kabar agar tak sampai keluar.Prama mengangguk kecil. “Saya paham, Pak.”“Dan soal insiden ini .…” Reyvan menatapnya tajam. “Jangan sampai kantor pusat dan Opa tahu dulu. Termasuk ke mana kita akan pergi nanti. Kita akan bergerak cepat dan rahasia. Kalau Arsen atau yang lain tahu, mereka tid
Para pembantu dan pengurus rumah masih ada di sekitar meja makan yang Amber siapkan. Mereka hanya bisa menatap kasihan dan saling berbisik. "Apa Tuan cuma kasih harapan palsu, ya? Mengingat bagaimana cerita mereka bisa menikah?""Apa Tuan sengaja kasih peringatan kalau Nyonya Amber nggak mungkin mendapatkan hati dan perhatiannya?""Mungkin ini juga buat peringatan kalau Nyonya Amber nggak akan menang dari Tuan.""Sssttt! Jangan pada mikir macam-macam. Nggak lihat apa, Nyonya tulus menyiapkan makan malam ini. Kasihan dia. Pasti sudah kedinginan dan lapar sejak tadi."Sedang Amber menoleh ke arah jam dinding yang serasa berdetak pelan. Hampir jam sebelas malam. Dan suaminya belum juga pulang. Padahal saat telepon tadi, Reyvan dengan tegas mengatakan akan makan malam bersamanya di rumah.Amber menghela napas berat, dadanya terasa sesak. “Sepertinya memang aku yang terlalu berharap,” gumamnya lirih. Dengan senyum getir.Udara malam telah menembus kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Apala