Mag-log inTamat riwayatmu, Boy! 😁😁😁😁😁 🥰🥰🥰🥰 Thor, Laura kok nggak ikutan di penjara? Proses hukum sekretaris itu lagi mulai ya .....
David dan Boy saling tatap sekilas, sebuah komunikasi tanpa kata yang hanya mereka berdua pahami.Boy tahu kalau saat ini David sedang mengumpulkan kekuatan dan sisa kesabaran, untuk menahan diri agar tidak mengamuk. Jadi dia menekan sorot matanya. Berharap bos itu sekali saja nurut kalau dikasih tahu asistennya.Sekian detik, hasilnya-David menatap Laura dengan Wajah merah menahan kesal. "Aku cuma punya waktu sepuluh menit, dari sekarang!" ketusnya."Itu sudah cukup," balas Laura cepat, dengan senyum lebar.Mereka mulai berjalan, jarak antara David dan Laura sangat dekat di koridor, Laura berusaha memanfaatkan momen keintiman palsu itu.Boy berjalan sigap di belakang mereka, sambil terus memicing tajam jarak antara keduanya. "Vid, besok kamu bisa memanggil jurnalis untuk membuat konferensi pers. Aku pasti akan menjelaskan sejelas-jelasnya pada publik. Hanya dengan cara seperti ini aku bisa tenang, karena bisa menebus dosa-dosaku.""Ehem!" Dari arah ujung koridor, sebuah suara deham
David menyeringai sinis, tatapannya dibuang ke sembarang arah sambil tertawa remeh. Dia tidak percaya satu kata pun yang keluar dari mulut Laura."Vid, please. Kasih aku satu kesempatan lagi untuk membuktikan kalau aku nggak salah. Aku cuma dibuat alat dan kambing hitam. Kemarin aku ngomong seperti itu, cuma karena suasana hatiku aja yang lagi kacau. Please, percayalah padaku."Tiba-tiba, Boy datang dengan lari tergesa. Wajahnya begitu tampak serius. Dia langsung mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga David.Seketika, mata David melebar. Ekspresi dinginnya hilang, digantikan raut wajah tegang dan geram yang nyata.Lalu, ekor matanya melirik Laura. Lirikannya mematikan dan seperti ingin melibas."Bagaimana bisa?!" sentak David pada Boy, suaranya meninggi. Kontrol dirinya langsung runtuh.Boy balas berbisik lagi. Dia menjelaskan kalau saat ini sudah menyuruh bawahan untuk segera membawa ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan.Dua tangan David mengepal kuat. Darahnya mendidih, n
Seorang wanita paruh baya berdiri dengan gaya angkuhnya di dekat jendela. Satu tangannya memainkan tirai, satunya memegang ponsel di telinganya. Dia ... Marta."Bagaimana di sana?" Dia tersenyum sinis dengan tatapan jengkel."Beritanya akan segera naik, Nyonya. Tadi sangat heboh sampai semua yang lewat memperhatikan dan bahkan beberapa mengambil vidio dan foto. Tadi yang datang hanya sekitar 10 an orang dan mereka semua mantan pasien dokter Laura yang sudah sembuh. Tapi Nyonya tenang saja, saya juga sudah menyuruh beberapa bawahan untuk memprovokasi pasien atau mantan pasien lainnya. Agar ada serangan susulan lagi."Marta tertawa puas. "Bagus. Pokoknya buat jangan sampai berita David gila itu turun. Terus kamu susul sampai dalam dunia bisnis dia tidak lagi punya kepercayaan.""Sekarang saya mau ke kantor polisi menemuimu sekretaris Tuan besar. Apa saja pesan Anda?""Bilang padanya, kalau dia berusaha menyelamatkan diri dari kasus itu, maka aku akan menjebloskannya dengan kasus yang le
Irish melirik arah swing door, karyawannya pasti sedang menanti suami romantis pamit. Dan tidak ada yang namanya suami romantis pamitnya main nyelonong.'Jatuh harga diriku sebagai bos kalau David nggak bisa aku ajak kerja sama!' batin Irish.Lalu,"HEM!" Irish melotot dan sedikit menghentak dahinya saat kembali mendorongnya.David memicing tajam menatap dahi Irish. "Masih sakit? Sudah kubilang kalau harus tetap kompres dan berikan salep. Lalu, makan obat yang aku berikan. Cuma bukannya kemarin yang sakit pipi, bukan kening?"Irish terdiam cemberut.'Hah, dasar korban patah hati. Begini saja nggak paham. Terpaksa aku harus turun tangan, jadi Translator,' batin Boy.Lalu, Boy bergeser pelan pada bosnya dan berbisik sesuatu. Dia memberikan terjemahan dari bahasa 'Hem' Irish.Seketika mata David melebar tegang, lalu matanya berkedip-kedip sambil berpikir, disusul laju ludah di tenggorokannya. "Ehem!" Lalu, Boy berdeham, dilanjut memutar arah tubuhnya membelakangi pasangan itu. Ya, cerit
Victor tidak terima dengan status level yang diberikan David. "Apa kamu bilang? Level menengah? Hey, jangan sembarangan bicara. Aku juga CEO. Tapi masih CEO. Sedang kamu? Mantan CEO. Ya, memang masuk dokter. Tapi hartaku nggak akan habis untuk membeli rumah sakitmu. "Vid! Vic! Kalian-" Irish jadi serba salah. Dia ingin membela David karena gengsi, tapi juga ingin memarahi David karena datang datang langsung buat ulah. Dia ingin Victor pergi, tapi juga ingin tahu, David marah karena cemburu atau karena gengsinya. "David!" Sorot matanya Irish menajam sambil mengangguk kecil, berharap suaminya itu paham. Jangan buat situasi makin rumit. David menatap sorot mata yang malah tampak menggemaskan itu. Apalagi rahang Irish yang ditekan malah membuat dua pipi wanita itu menggembung. "Kamu sedang merayuku? Kebiasaan. Lihat, masih ada orang. Nanti saja kalau kita di kamar berdua." Langsung saja, wajah Irish jadi lemas. Percuma! Pokoknya percuma membuat bahasa mimik muka dengan suaminya itu. D
"Aku tidak memintamu menjawabku hari ini. Cuma ingin kamu tahu. Aku tidak akan pernah menyerah pada keinginan hatiku. Dan aku akan selalu menunggumu di pelabuhan cinta kita. Tolong kamu simpan cincin ini, Irish." Lalu, Victor meletakkan cincin itu tepat di dekat Irish. Irish menatap kotak itu, hatinya mencelos. Dia sangat menyesalkan momen ini. Dia sangat menyukai Victor, tapi sebagai sahabat. Lalu, Irish mendorong kotak cincin itu. "Aku sungguh minta maaf, Victor. Aku nggak bisa. Cincin ini lebih pantas dipakai oleh wanita lain yang bisa memberimu seluruh hatinya. Bukan aku." Victor menatapnya lekat. "Irish, entah kenapa aku sangat meragukan pernikahanmu dengan David. Aku melihat foto-foto pertunangannya di media sosial. Dia tidak terlihat mencintaimu, Irish. Apa kamu yakin dia peduli padamu?" Irish terdiam. Rasanya sakit mendengar keraguan Victor, karena dia sendiri meragukannya. Tapi tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Dia mengambil ponselnya, membuka pesan terakhir dari David, da







