“Adikmu itu sudah seperti benalu di sini. Harusnya dia tahu diri!”
Embun baru saja hendak mengucap pamit berangkat kerja saat dia mendengar suara omelan ibu mertua kakak semata wayangnya dari dalam rumah.
Gadis cantik bermata coklat tersebut pun terdiam di tempat dan menguping percakapan di dalam dapur itu.
“Numpang di rumah orang kok keterusan. Dia kan sudah bekerja, seharusnya secara finansial sudah bisa mandiri. Suruh dia cari tempat kos atau kontrakan kek. Bukan tinggal terus-menerus di rumah anakku ini!”
Lagi-lagi suara ibu mertua sang kakak kembali mengudara.
“Bu, Embun adik Rindang satu-satunya. Hanya dia keluarga Rindang yang tersisa.” Kali ini Embun mendengar suara kakak perempuannya, Rindang, berujar dengan sabar. “Anak perempuan tinggal di luar sendirian bahaya, Bu.”
“Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini, dong! Ibu nggak mau tahu, suruh dia secepatnya keluar dari rumah ini.”
“Tapi, Bu ….”
“Tidak ada tapi-tapian ya, Rindang. Kamu yang ngomong ke adikmu atau Ibu yang akan bicara langsung sama dia malam ini!” ancam ibu mertua Rindang.
Embun mendengar suara langkah kaki yang menjauhi ruang tamu. Sepertinya, ibu mertua sang kakak telah pergi. Dengan mengucap doa agar sabar, Embun memejamkan mata.
Memang sudah lama Embun merasa tidak enak menumpang di rumah sang kakak ipar. Akan tetapi, setiap kali Embun melontarkan niatan untuk tinggal di luar, kakak dan kakak iparnya tidak pernah mengizinkan. Alhasil, Embun terpaksa menetap bersama keduanya. Itu pun dia juga berikan uang bulanan sebesar lima juta kepada sang kakak ipar guna balas budi karena sudah diizinkan tinggal.
Akan tetapi, sepertinya ibu mertua sang kakak tidak pernah mengetahui hal itu … atau tahu tapi tetap tidak mau tahu.
Teringat oleh Embun ucapan sang kakak dulu, “Mau tinggal di luar sebenarnya boleh, tapi kamu harus nikah dulu.”
Helaan napas kabur dari bibir Embun.
Menikah? Menikah dengan siapa kalau pacar saja dia tidak punya? Akan tetapi, hanya itu jalan keluar Embun agar tidak mengganggu rumah tangga kakaknya.
Embun terus memikirkan hal tersebut sepanjang siang, bahkan selagi bekerja.
“Menikah sama siapa ya …?”
“Sama anak kakek saja.”
Embun terkejut ketika pertanyaannya dibalas oleh orang lain. Dia pun menoleh dan mendapati seorang kakek telah berdiri di hadapannya.
“Kakek Surya ….” Embun tersenyum kepada langganan kafe miliknya itu. “Kakek mengagetkan saja.”
“Kakek sudah panggil kamu berkali-kali, kamunya yang nggak sadar,” balas sang kakek. “Menu biasa, ya,” ucap pria itu yang langsung dimengerti oleh Embun.
Dengan cepat Embun menghidangkan pesanan sang kakek. Di saat itu juga sang kakek memaksanya duduk bersama dan bertanya perihal apa yang terjadi, “Jadi, apa masalahnya?”
Awalnya, Embun ragu menceritakan. Akan tetapi, Kakek Surya adalah langganannya sejak satu tahun yang lalu. Oleh karena itu, mereka sudah cukup dekat dan sudah hal biasa bagi keduanya untuk berbagi cerita.
Akhirnya, Embun pun menceritakan semuanya dan berakhir mendapatkan tawaran mengejutkan dari sang kakek.
“Kalau kamu nggak keberatan, kakek sungguh mau kamu menikah dengan anak kakek.”
Dikatakan Kakek Surya memiliki seorang putra berusia tiga puluh lima tahun yang belum menikah. Dia sudah mapan secara finansial, tapi terlalu sibuk bekerja sampai tidak memiliki waktu mencari pasangan. Hal itu membuat Kakek Surya khawatir anak bungsunya tidak akan menikah, padahal cucu sang kakek saja sudah ada yang punya pacar.
Di sisi lain, Kakek Surya sangat menyukai Embun. Gadis itu selalu sabar dan mendengarkan cerita dan keluh kesahnya yang mungkin membosankan untuk gadis seusianya. Gadis sabar dan penyayang yang juga mandiri dan bekerja keras. Sangat cocok untuk jadi calon menantunya!
Embun tampak tertegun mendengar usulan dari Kakek Surya. Akan tetapi, sepertinya usulan sang kakek sungguh pilihan yang baik untuk rencananya saat ini. Menikah dan keluar dari rumah kakak iparnya.
“Kalau anak Kakek tidak keberatan, saya tertarik menerima.”
Alhasil, di hari esoknya, Embun pun pergi ke sebuah kafe untuk bertemu dengan anak Kakek Surya.
Sejujurnya, Embun tidak menyangka jika putra bungsu sang kakek akan bener-benar menyetujui perjodohan ini. Akan tetapi, dia juga lega karena artinya dia tidak perlu lagi mencari calon suami.
“Wah, lihat deh, pria itu ganteng banget!”
“Iya, kayak artis!”
Baru saja duduk di salah satu kursi kafe, Embun dikejutkan oleh sejumlah komentar para pelanggan wanita yang ada di kafe tersebut. Gadis berambut panjang bergelombang itu mengikuti arah pandang para wanita dan berakhir menatap sosok yang duduk di meja depannya.
Tampak seorang pria tampan berjas rapi sedang duduk di sana sembari mengetik di laptop dengan serius. Alis tebal yang menukik tajam, hidung mancung yang dihiasi kacamata tipis, lengkap dengan rahang tegas yang menunjukkan wibawa.
Patut Embun akui, pria itu memang tampan.
Namun, Embun punya urusan yang lebih penting.
[Saya sudah di kafe.]
Embun mengetikkan pesan tersebut dan mengirimkannya kepada putra Kakek Surya, Kaisar.
TING!
Detik itu juga, dentingan notifikasi ponsel terdengar. Embun mengangkat pandangan, mendapati bahwa pria di hadapannya kebetulan juga menerima pesan.
Gadis itu agak tertawa dalam hati. ‘Nggak mungkin kebetulan banget dia cucunya si kakek, ‘kan?’ Embun menggelengkan kepala dan kembali memerhatikan ponselnya. ‘Kalau seganteng itu, masa iya belum punya pacar.’
Tak lama, sebuah balasan pun diterima Embun.
[Saya juga sudah tiba di kafe. Tolong foto lokasimu di sebelah mana.]
Melihat hal itu, Embun bergegas mengangkat ponselnya untuk mengambil foto tempat mejanya berada. Saat itulah gadis cantik itu menyadari dari kamera ponselnya bahwa pria di depannya itu menghilang.
Detik berikutnya terdengar seseorang memanggil namanya.
“Embun Prajaya?”
Embun langsung menoleh. Seketika, dia tersentak.
Pria tampan yang tadi duduk di hadapannya telah berdiri di samping mejanya sekarang.
“Kaisar Rahardja?” tebak Embun.
Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu mengangguk.
Embun langsung berdiri dan mengulurkan tangan kanannya yang disambut jabat tangan sopan dari pria tampan di hadapannya itu.
“Salam kenal. Saya Embun,” ujar gadis itu seraya tersenyum.
“Kaisar Rahardja, panggil saja Kaisar.”
Embun pun mempersilakan Kaisar untuk duduk di depannya. Hal itu membuat para gadis yang tadi memerhatikan pria tersebut tampak kecewa, terlebih karena di tengah-tengah pembicaraan, Embun dan Kaisar membicarakan latar belakang masing-masing, khas dua orang yang sedang kencan buta.
Dari pembicaraannya dengan Kaisar, Embun mendapati bahwa pria itu adalah anak terakhir dari tiga saudara yang semuanya pria. Kakak pertama adalah seorang dokter spesialis bedah, sedangkan kakak kedua merupakan seorang pemuka agama. Itulah alasan sang kakek membebani Kaisar dengan tanggung jawab perusahaan yang membuatnya tidak memiliki waktu untuk menjalin cinta.
Embun pun juga menjelaskan latar belakangnya. Anak bungsu dari dua bersaudara yang tinggal bersama dengan kakaknya yang sudah menikah. Kedua orang tuanya meninggal saat Embun masih kecil.
Setelah memperkenalkan diri dan memahami situasi satu sama lain, Kaisar pun berkata, “Oke. Saya rasa perkenalannya sudah cukup.” Pria itu pun berdiri dari kursi dan mengisyaratkan kepada pelayan kafe bahwa dia akan melakukan pembayaran. Sembari menatap Embun, dia lanjut berujar, “Waktu saya tidak banyak, jadi ayo selesaikan pernikahan ini sekarang juga.”
Embun terkejut. “Sekarang?”
Selesai membayar dengan kartu hitamnya, Kaisar menjawab Embun yang juga ikut berdiri, “Kantor catatan sipil ada di dekat sini. Kamu sudah bawa dokumen yang saya minta juga, ‘kan?”
“Iya, tapi–”
Kaisar tidak menunggu ucapan Embun sampai selesai. Pria itu langsung berbalik dan berkata, “Kalau begitu, ikut saya.”
Alhasil, Embun pun hanya bisa mengikuti perintah Kaisar dan mulai berjalan dengan pria tersebut berdampingan menuju kantor catatan sipil.
Dalam hati, Embun membatin bagaimana dirinya tidak heran pria tersebut belum memiliki pasangan hingga sekarang. Pria itu begitu dingin dan angkuh!
Selagi Embun memikirkan hal itu, sebuah pertanyaan dilontarkan Kaisar, “Kamu yakin dengan pernikahan ini?” Mereka sudah sampai di depan gedung kantor catatan sipil. “Pernikahan kita memang tidak diawali dengan cinta, tapi saya harap kamu tidak menganggapnya permainan.”
“Pernikahan kita memang tidak diawali dengan cinta, tapi saya harap kamu tidak menganggapnya permainan.” Ucapan Kaisar membuat Embun menatap pria tersebut dengan saksama. Jujur saja, Embun kaget Kaisar menyatakan hal seperti itu. Gadis itu sempat berpikir bahwa Kaisar menganggap enteng pernikahan ini karena memang terpojok situasi. Akan tetapi, ternyata Kaisar cukup serius. Diselimuti keyakinan, Embun pun berakhir menjawab, “Saya sudah setuju di awal, Kaisar. Jadi tidak mungkin saya mengubah kata-kata saya.” Dengan pandangan yang mendarat di wajah pria itu, Embun mempelajari ekspresi Kaisar. Akan tetapi, sama sekali tidak bisa Embun baca reaksi pria tersebut terhadap jawabannya. Kaisar pun mengangguk dan mengisyaratkan Embun untuk mengikutinya masuk ke dalam kantor catatan sipil. Di dalam mereka menyerahkan sejumlah dokumen dan menandatangani berkas-berkas pernikahan. Dalam waktu singkat, keduanya pun keluar dari ruangan dan menjadi pasangan suami istri yang telah dianggap sah ole
Toko Perhiasan Elegance Jewelry. “Saya mau lihat beberapa cincin pernikahan koleksi terbaru di toko ini,” kata Embun pada pegawai perempuan yang menghampirinya dengan ramah. “Baik, Bu,” jawab pegawai itu masih dengan senyum ramah di wajahnya. Embun baru saja tiba di sebuah toko perhiasan sesuai dengan permintaan Kaisar untuk membelikan masing-masing dari mereka cincin pernikahan. Memerhatikan kartu kredit yang diberikan padanya, Embun tahu bahwa kartu kredit tersebut spesial dan hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Hal itu membuat Embun memutuskan untuk pergi ke toko perhiasan terbaik di kota itu. Bukan karena tahu Kaisar memiliki uang untuk dibuang, tapi lebih karena wanita itu berpikir membeli di tempat terjamin lebih baik agar kalau-kalau nanti pernikahan mereka disudahi, Kaisar tidak akan kehilangan uangnya dan bisa menjual kembali cincin tersebut. “Ini salah satu koleksi terbaik di toko kami. Berlian berwarna biru ini merupakan berlian langka yang didatangkan langsung
Embun menghela napasnya pelan. Dia tidak akan banyak bertanya pada Kaisar tentang pekerjaan pria tersebut. Pria itu bukan hanya sudah berbaik hati menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, tapi Kaisar juga mengizinkan Embun untuk tinggal di kediamannya. Demikian, rasanya kurang sopan bagi Embun jika menyelidiki Kaisar lebih jauh lagi. Setelah menyelesaikan transaksinya, Embun bergegas memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke rumah sang kakak. Hari ini juga dia akan berpamitan dengan Rindang. Rumah Rindang terlihat sepi saat Embun tiba. Ibu mertua sang kakak sepertinya sedang tidak ada di rumah. Embun menarik tangan kakaknya ke dalam kamar. Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. "Kak, aku hanya mau bilang bahwa hari ini aku mau pindah. Aku sudah menikah tadi pagi dan suamiku memintaku untuk tinggal bersamanya." Kalimat Embun itu sukses membuat mulut kakaknya terbuka. “Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahu kaka
“Kak, menurutku itu tidak perlu.” “Hanya untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu pernikahanmu ke depannya akan seperti apa. Ini juga untuk kebaikanmu.” Rindang mencoba menjelaskan. Sebagai wanita yang sudah menikah, Rindang lebih paham tentang hal itu. Apalagi jika menjadi istri yang tidak memiliki penghasilan, sertifikat rumah seperti itu akan menguntungkan. Walaupun Embun memiliki penghasilan sendiri, tetapi setidaknya kehidupannya bisa terjamin dengan baik jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Kurasa aku tidak akan meminta hal itu pada suamiku, Kak.” Embun berusaha menolak permintaan Rindang. “Baiklah kalau kamu tidak mau, tapi kalau begitu kakak juga tidak jadi memberikan restu untuk pernikahanmu.” Embun menatap Rindang tidak percaya, lalu detik berikutnya menghela napas. “Baiklah Kak, aku akan coba bicarakan dengan Kaisar.” Embun bisa melihat Rindang tersenyum senang atas ucapannya. Ada perasaan bersalah di hati Embun melihat Rindang tersenyum seperti itu, karena se
“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.” “Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?” Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum. Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya. “Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh. Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman. “Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan. Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas. “Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi. Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya. Nicholas tersenyum cang
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.