~Galang~
Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah.
Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama.
Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya.
“Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di sisimu??” pekik Bunda terkejut. “Mengapa kamu tidak lamar dia sejak dia putus dari pacar bodohnya itu??”
Respons orang tuaku, terutama Bunda, bukanlah hal yang mengagetkan lagi. Mereka memang tidak pernah mendorong aku dan Fay untuk bersama, tetapi aku tahu yang mereka pikirkan. Mereka pasti berharap kami akan punya hubungan yang lebih dari teman.
Bunda menyukai wanita itu karena keterusterangannya. Fay memang sering bicara kasar, tetapi ibuku tidak pernah keberatan atau protes mendengarnya. Dia justru lebih suka menanyakan pendapatnya mengenai apa pun daripada ideku, Ayah, atau kakakku.
“Umur kamu sudah empat puluh dua tahun. Kalau memang kamu akan menikah dengan dia, mengapa tidak dari dahulu?” protes Bunda, masih belum puas melampiaskan amarahnya. “Kalian berteman begitu lama, masa kamu tidak tahu bagaimana cara memenangkan hatinya??”
“Sudah, Bu. Yang penting dia akhirnya menikah juga. Siapa pun orangnya, bagaimana pun caranya, yakinlah. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk menikah,” kata Ayah, melerai. “Bilang kepada orang tua Fayola, kami akan datang pada hari Rabu malam.”
“Baik, Ayah.” Aku bangun dari dudukku, lalu mencium pipi Bunda sebelum pergi ke kamar. Untuk sementara, aku tinggal bersama mereka. Jadi, segala persiapan bisa lebih mudah dikerjakan.
Kedua orang tua kami sudah pernah bertemu beberapa kali dalam acara besar keluarga kami atau mereka. Jadi, kami tidak perlu memperkenalkan mereka lagi. Kami bahkan tidak dibutuhkan, karena mereka sudah lebih berpengalaman menyiapkan segala detailnya.
Yang tidak aku duga-duga adalah pernikahan kami dilangsungkan pada bulan berikutnya. Mereka begitu yakin bisa menyiapkan segalanya dalam waktu satu bulan. Aku langsung setuju dengan tanggal yang mereka tentukan, karena tidak sabar bisa menikah dengan Fay secepatnya.
“Ingat,” katanya saat memberikan helm kepadaku. “Kita tidak tidur di kamar maupun ranjang yang sama. Jangan memeluk atau mencium aku secara berlebihan. Aku mau kita tetap pada kesepakatan kita, hanya berteman walaupun status kita sudah berubah.”
“Iya, Fay.” Aku memutar bola mataku. “Apa kamu pikir aku ini seorang pemerkosa? Aku masih Galang yang kamu kenal. Aku tidak akan berubah sikap hanya karena kita menikah.”
Tentu saja aku sudah punya rencana tersendiri agar hubungan kami bisa lebih dari teman. Namun dia tidak perlu tahu itu. Aku mengenal dia dan tahu benar apa yang bisa membuat hatinya luluh. Aku hanya perlu menggunakan waktu dan kesempatan yang tepat.
Sampai di rumah, aku tertawa membaca pesan panjang darinya. Dia memberi daftar hal-hal yang tidak boleh diubah dalam hubungan kami. Sampai tugas-tugas kami di rumah pun diketik sangat detail. Dia pikir kami akan tinggal di sana. Sesaat lagi, dia akan tahu.
“Mengapa kamu lama sekali berdiri di sana?” tanya Bunda. Dia membukakan pintu depan untukku.
“Calon menantu Bunda rewel sekali.” Aku melambaikan ponselku setelah membubuhkan tanda tangan pada dokumen daring yang dia kirim. Ada-ada saja. Jika dia begitu takut menikah denganku, mengapa dia mengiyakan ajakanku? “Kami baru saja berpisah, dia sudah merengek bilang rindu.”
Bunda memasang wajah tidak percaya. “Yola bukan wanita manja. Pasti kamu yang menghubungi dia dan menggombal bilang rindu.” Dia melengos masuk ke rumah sebelum aku sempat membalas. Aku menganga tidak percaya.
Pengaruh Fay benar-benar luar biasa. Ibuku sendiri lebih berpihak kepadanya daripada aku. Untung saja kami tidak akan tinggal bersama mereka. Jadi, aku tidak perlu khawatir akan menjadi bulan-bulanan mereka berdua.
Ketika aku akhirnya bertemu dengannya lagi setelah dihalangi keluarga selama beberapa hari, aku tidak bisa bicara. Dia cantik sekali dengan kebaya putihnya. Warna yang melambangkan bahwa dia belum pernah memberikan dirinya kepada lelaki mana pun.
“Tutup mulutmu, Galang. Jangan buat dirimu sendiri malu,” bisik Pendeta yang berdiri di sisiku. Aku menurut dan menarik napas panjang.
Bukan hanya aku. Semua mata yang mengarahkan pandangannya kepada pengantinku juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagum mereka. Gadis pembangkang yang membuat aku susah dahulu telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Sesaat lagi, dia akan menjadi istriku, yang akan aku jaga dan sayang selamanya.
Aku berhasil menahan diri untuk tidak mencium atau menyentuh dia secara berlebihan usai kami dinyatakan resmi sebagai suami istri. Mencium keningnya, memegang tangannya, serta merangkul bahunya sudah cukup untuk satu hari. Aku masih punya banyak kesempatan untuk melakukan lebih dari semua itu nanti.
“Gunung yang indah, ya. Apa menurutmu, kita bisa menaklukkannya suatu hari nanti?” tanyanya ketika kami sudah berada di puncak Bukit Pergasingan, Lombok Timur. Kami sama-sama menatap ke arah Gunung Rinjani.
“Tentu saja bisa. Yang lebih sulit dari ini sudah pernah kita daki,” kataku dengan santai.
Membawa dia berbulan madu ke Bukit Pergasingan adalah salah satu caraku untuk memenangkan hatinya. Gunung Rinjani adalah target utamanya, tetapi kami tidak punya cukup cuti untuk mendaki gunung tersebut. Aku sudah merencanakan hari yang tepat untuk kami bisa pergi ke sana.
Baginya, gunung adalah tempat di mana dia bisa merasa lebih tinggi dengan berdiri di puncaknya. Perempuan bertubuh pendek ini memang selalu tidak percaya diri dengan tinggi badannya. Berbeda denganku. Aku menyukai gunung, karena di puncaknyalah aku pertama kali jatuh cinta. Gadis itu telah mengobrak-abrik hatiku pada masa mudaku.
“Kita menginap di rumah orang tuamu?” tanyanya ketika taksi yang kami tumpangi berbelok ke jalan menuju rumahku.
“Iya. Hanya satu malam. Ada yang perlu kita diskusikan,” jawabku. Dia mengangguk pelan.
Bunda sangat baik dengan menyiapkan makan malam yang lezat. Kalau aku datang dari naik gunung dengan tubuh remuk, dia selalu mengajak bicara sampai malam, tidak saat ada Fay. Bunda langsung menyuruh kami istirahat di kamar.
Ibu apa itu yang lebih sayang kepada menantu daripada putranya sendiri? Aku tidak boleh terlalu sering mengajak Fay bermalam di sini. Bisa-bisa aku akan jadi bulan-bulanan mereka berdua nanti. Aku membiarkan Fay mandi lebih dahulu, lalu aku.
Menaati kesepakatan kami, aku tidak tidur di ranjang bersamanya. Jadi, aku menggelar karpet, kemudian mengalasinya dengan selimut tebal agar empuk. Aku baru saja membaringkan tubuhku ketika mendengar langkah kaki Bunda. Aku mengetahuinya dari bunyi alas kakinya yang khas.
“Aduh!” pekik Fay ketika aku menghadang kakinya hingga tersandung dan jatuh di atasku. Cepat-cepat aku berputar sehingga dia yang berbaring di atas selimut.
Bunda masuk tepat saat kami sudah berada di posisi yang bagus. Aku berpura-pura marah, padahal aku mensyukuri sifat ingin tahunya itu. Aku bisa berada dekat dengan Fay tanpa khawatir dia akan menolak atau curiga dengan tindakanku.
Saat dia menutup pintu kamar, aku tidak segera melepaskan Fay. Aku tahu dia akan kembali lagi. Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya? Dia adalah ibu kandungku. Benar saja. Bunda membuka pintu lagi dan mengomentari posisi berbaring kami di lantai.
Aku tertegun merasakan debaran jantung Fay yang cepat. Mungkin karena keadaan kembali hening, aku bisa merasakan setiap tarikan napasnya. Dadanya naik turun dengan cepat. Aku tidak menahan diri untuk membelai pipinya. Halus. Jika aku menciumnya, apakah dia akan mengizinkan aku?
Entah mengapa, adegan terakhirnya membuat jantung ini ikut berdebar lebih cepat. ≧ω≦ Hai, teman-teman. Novel ini sudah muncul di aplikasi, maka kita sudah bisa memulai perjalanan panjang kita. (♡ω♡ ) ~♪ Jangan segan berkomentar jika ada masukan atau kritik, ya. Bisikkan kepada kekasih, teman, rekan, juga saudara juga mengenai buku ini, jika teman-teman menyukai ceritanya. ♡ Aku akan menambah satu bab setiap hari, jika memungkinkan bisa lebih akan aku unggah. Terima kasih atas pengertian dan dukungan dari teman-teman semua. Salam sayang, Meina H.
~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya
Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t
~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu
~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai
Aku merapatkan bibirku, berusaha untuk tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menoleransi aku yang kentut di mobilnya, maka tidak adil kalau aku marah kepadanya. Jadi, dengan berat hati, aku memalingkan wajah dan memandang ke arah kaca depan mobil. Namun bukannya berhenti dan menghargai sikap mengalahku, dia meneruskan kebiasaan joroknya itu. Aku mengepalkan tangan, menahan diri. Ini adalah mobilnya, maka dia punya hak melakukan apa pun yang dia mau. Aku tidak boleh marah. “Bisakah kamu menghentikan itu?” kataku, tidak tahan lagi. Dia mengorek hidung, lalu menyeka tangannya di bagian paha celananya. Ggrr, joroknya dia. Pakaianku bisa kena kotoran itu juga saat orang mencuci pakaian kami. Namun aku tidak mau membayangkannya. “Aku tidak menghalangi kamu kentut. Mengapa kamu marah aku mengupil?” ucapnya, tidak peduli. “Pakai tisu, Lang. Kamu meletakkannya di sana, di dasbor agar mudah kamu raih. Bukan dilap di celana kamu. Jorok, tahu, enggak?” kataku lagi. “Ini celanaku, mengapa kamu b
“Silakan masuk.” Terdengar jawaban dari balik pintu yang aku ketuk. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membuka pintu tersebut. Galang menepati ucapannya pada saat aku dipecat lima belas tahun yang lalu. Dia membantu aku mencari informasi dari seluruh teman-temannya mengenai lowongan pekerjaan untuk desainer grafis. Hanya satu minggu menganggur, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja setelah melewati seleksi yang ketat. Aku sangat menyukai tempat ini dan lingkungannya. Para karyawan sangat akrab dan mau bekerja sama dengan baik. Iya, aku pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, tetapi itu bukan masalah. Sudah biasa di tempat yang nyaman selalu akan ada yang sengaja mengusik kedamaian. “Selamat siang, Bu,” sapaku dengan sopan. “Selamat siang, Fayola. Silakan duduk.” Aku terkejut melihat makanan yang ada di atas meja. “Ayo, duduk. Jangan berdiri saja. Aku sudah lapar.” “Ng, baik, Bu.” Aku menurut dengan duduk di kursi di depannya. Jantungku berdebar dengan cepa
Dia yang semula duduk tegak dan berwajah tegang berubah santai. Dia tersenyum penuh arti. “Rahasia,” jawabnya. Itu kalimat yang paling aku benci. “Yang penting, klien suka dengan hasilnya.”“Aku tidak suka rahasia. Cepat katakan. Ada apa dengan warna kuning?” desakku tidak kuat lagi menahan rasa penasaran. “Bahkan untuk pilihan warna matahari pun, kamu selalu menggunakan jingga, tidak pernah ada warna kekuningan.”“Pekerjaanku hari ini sangat banyak, aku mengantuk.” Dia malah berpindah ke sisi lain tempat tidur untuk berbaring. “Sebaiknya kamu juga tidur, karena kita harus bangun subuh.”“Enak saja kamu menghindar begini. Jawab pertanyaanku.” Aku ikut menaikkan kakiku ke ranjang dan mendekatinya. “Aku penasaran, jadi kamu tidak bisa tidur sebelum menjawab pertanyaanku.”“Fay, aku benar-benar lelah.” Melihat dia menutup mata, aku menggelitik pinggangnya. Itu adalah titik kelemahannya.“Fay!” pekiknya dengan suara tertahan. Namun aku tidak berhenti dan terus menyerang kedua bagian tubuh
“Mengapa kita ke sini?” tanya Galang yang malas-malasan melangkahkan kakinya.“Aku belum membeli kado untukmu. Nah, dari hasil selancarku, pria paling suka diberi jam tangan. Kamu suka merek yang mana?” Aku melihat deretan etalase yang menjual jam tangan khusus pria. Dia mengusap-usap dagu dengan tangannya.“Kamu yakin kamu punya uang?” Dia memicingkan matanya, menatap aku tidak percaya.“Aku tidak akan membawa kamu ke sini bila aku bokek.”Dia memilih salah satu konter, maka aku ikut mendekatinya. Dia pasti sedang menguji aku dengan menunjuk jam terbaru dengan harga yang wow, tetapi aku tidak keberatan. Aku membayar jam itu, lalu menerimanya dari wanita yang melayani kami.“Eh, tunggu.” Aku menjauhkan tas itu dari jangkauan Galang. “Kamu hanya bisa menerimanya nanti di apartemen.” Dia tertawa.Aku mengajaknya menuju tempat sepatu kets. Dia suka sekali memakainya, bahkan ke tempat kerja. Seperti saat memilih jam, dia juga mendekati sepatu yang paling baru dan mahal. Aku menurut, memba