Share

6|Menikahi Dia

~Galang~

Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah.

Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama.

Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya.

“Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di sisimu??” pekik Bunda terkejut. “Mengapa kamu tidak lamar dia sejak dia putus dari pacar bodohnya itu??”

Respons orang tuaku, terutama Bunda, bukanlah hal yang mengagetkan lagi. Mereka memang tidak pernah mendorong aku dan Fay untuk bersama, tetapi aku tahu yang mereka pikirkan. Mereka pasti berharap kami akan punya hubungan yang lebih dari teman.

Bunda menyukai wanita itu karena keterusterangannya. Fay memang sering bicara kasar, tetapi ibuku tidak pernah keberatan atau protes mendengarnya. Dia justru lebih suka menanyakan pendapatnya mengenai apa pun daripada ideku, Ayah, atau kakakku.

“Umur kamu sudah empat puluh dua tahun. Kalau memang kamu akan menikah dengan dia, mengapa tidak dari dahulu?” protes Bunda, masih belum puas melampiaskan amarahnya. “Kalian berteman begitu lama, masa kamu tidak tahu bagaimana cara memenangkan hatinya??”

“Sudah, Bu. Yang penting dia akhirnya menikah juga. Siapa pun orangnya, bagaimana pun caranya, yakinlah. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk menikah,” kata Ayah, melerai. “Bilang kepada orang tua Fayola, kami akan datang pada hari Rabu malam.”

“Baik, Ayah.” Aku bangun dari dudukku, lalu mencium pipi Bunda sebelum pergi ke kamar. Untuk sementara, aku tinggal bersama mereka. Jadi, segala persiapan bisa lebih mudah dikerjakan.

Kedua orang tua kami sudah pernah bertemu beberapa kali dalam acara besar keluarga kami atau mereka. Jadi, kami tidak perlu memperkenalkan mereka lagi. Kami bahkan tidak dibutuhkan, karena mereka sudah lebih berpengalaman menyiapkan segala detailnya.

Yang tidak aku duga-duga adalah pernikahan kami dilangsungkan pada bulan berikutnya. Mereka begitu yakin bisa menyiapkan segalanya dalam waktu satu bulan. Aku langsung setuju dengan tanggal yang mereka tentukan, karena tidak sabar bisa menikah dengan Fay secepatnya.

“Ingat,” katanya saat memberikan helm kepadaku. “Kita tidak tidur di kamar maupun ranjang yang sama. Jangan memeluk atau mencium aku secara berlebihan. Aku mau kita tetap pada kesepakatan kita, hanya berteman walaupun status kita sudah berubah.”

“Iya, Fay.” Aku memutar bola mataku. “Apa kamu pikir aku ini seorang pemerkosa? Aku masih Galang yang kamu kenal. Aku tidak akan berubah sikap hanya karena kita menikah.”

Tentu saja aku sudah punya rencana tersendiri agar hubungan kami bisa lebih dari teman. Namun dia tidak perlu tahu itu. Aku mengenal dia dan tahu benar apa yang bisa membuat hatinya luluh. Aku hanya perlu menggunakan waktu dan kesempatan yang tepat.

Sampai di rumah, aku tertawa membaca pesan panjang darinya. Dia memberi daftar hal-hal yang tidak boleh diubah dalam hubungan kami. Sampai tugas-tugas kami di rumah pun diketik sangat detail. Dia pikir kami akan tinggal di sana. Sesaat lagi, dia akan tahu.

“Mengapa kamu lama sekali berdiri di sana?” tanya Bunda. Dia membukakan pintu depan untukku.

“Calon menantu Bunda rewel sekali.” Aku melambaikan ponselku setelah membubuhkan tanda tangan pada dokumen daring yang dia kirim. Ada-ada saja. Jika dia begitu takut menikah denganku, mengapa dia mengiyakan ajakanku? “Kami baru saja berpisah, dia sudah merengek bilang rindu.”

Bunda memasang wajah tidak percaya. “Yola bukan wanita manja. Pasti kamu yang menghubungi dia dan menggombal bilang rindu.” Dia melengos masuk ke rumah sebelum aku sempat membalas. Aku menganga tidak percaya.

Pengaruh Fay benar-benar luar biasa. Ibuku sendiri lebih berpihak kepadanya daripada aku. Untung saja kami tidak akan tinggal bersama mereka. Jadi, aku tidak perlu khawatir akan menjadi bulan-bulanan mereka berdua.

Ketika aku akhirnya bertemu dengannya lagi setelah dihalangi keluarga selama beberapa hari, aku tidak bisa bicara. Dia cantik sekali dengan kebaya putihnya. Warna yang melambangkan bahwa dia belum pernah memberikan dirinya kepada lelaki mana pun.

“Tutup mulutmu, Galang. Jangan buat dirimu sendiri malu,” bisik Pendeta yang berdiri di sisiku. Aku menurut dan menarik napas panjang.

Bukan hanya aku. Semua mata yang mengarahkan pandangannya kepada pengantinku juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagum mereka. Gadis pembangkang yang membuat aku susah dahulu telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Sesaat lagi, dia akan menjadi istriku, yang akan aku jaga dan sayang selamanya.

Aku berhasil menahan diri untuk tidak mencium atau menyentuh dia secara berlebihan usai kami dinyatakan resmi sebagai suami istri. Mencium keningnya, memegang tangannya, serta merangkul bahunya sudah cukup untuk satu hari. Aku masih punya banyak kesempatan untuk melakukan lebih dari semua itu nanti.

“Gunung yang indah, ya. Apa menurutmu, kita bisa menaklukkannya suatu hari nanti?” tanyanya ketika kami sudah berada di puncak Bukit Pergasingan, Lombok Timur. Kami sama-sama menatap ke arah Gunung Rinjani.

“Tentu saja bisa. Yang lebih sulit dari ini sudah pernah kita daki,” kataku dengan santai.

Membawa dia berbulan madu ke Bukit Pergasingan adalah salah satu caraku untuk memenangkan hatinya. Gunung Rinjani adalah target utamanya, tetapi kami tidak punya cukup cuti untuk mendaki gunung tersebut. Aku sudah merencanakan hari yang tepat untuk kami bisa pergi ke sana.

Baginya, gunung adalah tempat di mana dia bisa merasa lebih tinggi dengan berdiri di puncaknya. Perempuan bertubuh pendek ini memang selalu tidak percaya diri dengan tinggi badannya. Berbeda denganku. Aku menyukai gunung, karena di puncaknyalah aku pertama kali jatuh cinta. Gadis itu telah mengobrak-abrik hatiku pada masa mudaku.

“Kita menginap di rumah orang tuamu?” tanyanya ketika taksi yang kami tumpangi berbelok ke jalan menuju rumahku.

“Iya. Hanya satu malam. Ada yang perlu kita diskusikan,” jawabku. Dia mengangguk pelan.

Bunda sangat baik dengan menyiapkan makan malam yang lezat. Kalau aku datang dari naik gunung dengan tubuh remuk, dia selalu mengajak bicara sampai malam, tidak saat ada Fay. Bunda langsung menyuruh kami istirahat di kamar.

Ibu apa itu yang lebih sayang kepada menantu daripada putranya sendiri? Aku tidak boleh terlalu sering mengajak Fay bermalam di sini. Bisa-bisa aku akan jadi bulan-bulanan mereka berdua nanti. Aku membiarkan Fay mandi lebih dahulu, lalu aku.

Menaati kesepakatan kami, aku tidak tidur di ranjang bersamanya. Jadi, aku menggelar karpet, kemudian mengalasinya dengan selimut tebal agar empuk. Aku baru saja membaringkan tubuhku ketika mendengar langkah kaki Bunda. Aku mengetahuinya dari bunyi alas kakinya yang khas.

“Aduh!” pekik Fay ketika aku menghadang kakinya hingga tersandung dan jatuh di atasku. Cepat-cepat aku berputar sehingga dia yang berbaring di atas selimut.

Bunda masuk tepat saat kami sudah berada di posisi yang bagus. Aku berpura-pura marah, padahal aku mensyukuri sifat ingin tahunya itu. Aku bisa berada dekat dengan Fay tanpa khawatir dia akan menolak atau curiga dengan tindakanku.

Saat dia menutup pintu kamar, aku tidak segera melepaskan Fay. Aku tahu dia akan kembali lagi. Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya? Dia adalah ibu kandungku. Benar saja. Bunda membuka pintu lagi dan mengomentari posisi berbaring kami di lantai.

Aku tertegun merasakan debaran jantung Fay yang cepat. Mungkin karena keadaan kembali hening, aku bisa merasakan setiap tarikan napasnya. Dadanya naik turun dengan cepat. Aku tidak menahan diri untuk membelai pipinya. Halus. Jika aku menciumnya, apakah dia akan mengizinkan aku?

Meina H.

Entah mengapa, adegan terakhirnya membuat jantung ini ikut berdebar lebih cepat. ≧ω≦ Hai, teman-teman. Novel ini sudah muncul di aplikasi, maka kita sudah bisa memulai perjalanan panjang kita. (♡ω♡ ) ~♪ Jangan segan berkomentar jika ada masukan atau kritik, ya. Bisikkan kepada kekasih, teman, rekan, juga saudara juga mengenai buku ini, jika teman-teman menyukai ceritanya. ♡ Aku akan menambah satu bab setiap hari, jika memungkinkan bisa lebih akan aku unggah. Terima kasih atas pengertian dan dukungan dari teman-teman semua. Salam sayang, Meina H.

| 4
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurhidayatine AgusSusanto Mamahnya Kanz
ak semalam udah baca Ampe jauh,trus ketutup sendiri.kok pas buka lagi dari awal dan harus berbayar ya tor......
goodnovel comment avatar
Gio Booklover
kenapa kak mei? masa othor nya debar2 baca tulisan nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status