Share

5|Bertemu Lagi

“Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar.

“Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter.

“Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia.

Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama.

Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku.

“Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu.

“Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku.

Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak dua langkah itu.”

“Mengapa kamu tidak bopong aku ke kamarku?” protesku lagi.

“Bangun.” Dia menarik tangan agar turun dari tempat tidur. “Cepat mandi, jadi kamu tidak marah-marah lagi. Biar kita turun untuk sarapan. Aku kelaparan.”

Usai mandi, Galang benar. Aku merasa jauh lebih segar, kepalaku ringan, dan aku tidak merasa ada sisa amarah untuknya. Lagi pula, samar-samar aku bisa mengingat, akulah yang tidak mau tidur di kamarku sendiri. Aku terlalu lelah untuk sekadar berjalan ke kamar tidur ini.

“Kamu buang-buang uang saja menginap di hotel semahal ini,” keluhku, melihat mewahnya lobi hotel yang tidak aku perhatikan saat kami tiba semalam. Dia hanya tersenyum. “Aku boleh makan apa saja yang aku mau, sebanyak apa pun, ‘kan?”

“Kamu seperti tidak pernah menginap di hotel saja,” ejeknya. Aku memasang wajah cemberut.

“Aw,” Tubuhku terdorong dari belakang. Untung saja aku terjatuh ke arah Galang. Tanpa ragu-ragu, aku membalikkan badan dan memarahi orang yang tidak bisa memakai matanya dengan baik itu. “Heh! Apa kamu tidak punya mata?? Kalau jalan lihat-lihat, dong!”

“Maaf, saya mengejar anak-anak saya, jadi tidak sengaja menabrak Anda,” ucap wanita itu dengan kepala tertunduk. Ketika dia mengangkat wajahnya, kami serentak menarik napas terkejut.

“Kamu …?” Aku menggeram, lalu melihat ke sekelilingku. Pasti pria itu juga ada di sini. Apa yang dilakukan pengkhianat ini di hotel yang sama dengan kami? “Ayo, Lang. Sebaiknya kita menjauh dari penyakit menular ini. Aku lapar.”

Galang menurut, lalu kami mendekati konter yang berisi berbagai menu nasi. Kami mengisi piring kami masing-masing. Setelah memeriksa semua meja saji dan memilih makanan yang kami inginkan, Galang mengajak aku ke meja kosong yang dekat dengan jendela.

“Mengapa mereka bisa ada di sini juga, sih? Apa tidak ada hotel lain yang bisa mereka datangi? Apa mereka sengaja datang ke sini untuk merusak bulan madu kita?” omelku kesal. “Apa aku bilang, hotel ini terlalu mahal untuk status kita. Bagi mereka, ini tempat favorit.”

“Sebaiknya kamu cepat makan, jadi kita bisa pergi ke tempat favoritmu,” katanya penuh arti. Aku melempar tomat ceri ke wajahnya. Dia beruntung, tomat itu berhasil ditangkapnya.

Dia menyewa sebuah mobil untuk pergi ke Sembalun yang kami tempuh selama dua jam. Aku sudah bisa melihat Gunung Rinjani dari pintu gerbang Bukit Pergasingan. Ada beberapa orang yang juga mau mendaki. Tidak hanya turis domestik, tetapi juga mancanegara.

Setelah bersiap dan meregangkan kaki, Galang mengajak aku untuk mulai berjalan. Dia yang membawa ransel berisi bekal kami. Untuk menghemat tenaga, kami tidak bicara selama mendaki. Aku menikmati pemandangan yang ada di sekitarku selama dalam perjalanan.

“Waah! Indah sekali!” seruku senang saat kami sudah tiba di puncak. Pemandangan yang paling indah adalah petak-petak sawah yang berwarna-warni di lembah. Aku melihat ke arah Gunung Rinjani. Suatu hari nanti, aku pasti akan ke puncaknya.

Selain keindahan dan menaklukkan tantangan yang membuat aku menyukai gunung, ada satu hal yang lebih penting. Aku merasa tubuhku menjadi lebih tinggi dengan berada di puncaknya. Ejekan semua orang mengenai badanku yang pendek langsung tertepis dari kepalaku.

“Ayo, kita berfoto sebelum pendaki lainnya sampai!” Galang merangkul bahuku, lalu mengarahkan kamera depan ponselnya kepada kami.

“Sini, biar aku fotokan.” Aku mengambil ponsel itu darinya, lalu memotret beberapa posenya. Aku tertawa puas saat berhasil memotret ekspresi jeleknya.

“Ayo, gantian!” Dia berjalan mendekati aku, maka aku mengembalikan ponselnya dan berdiri di tempatnya tadi. Kami melakukannya dengan cepat, karena pendaki lain sudah tiba.

Kami makan siang bersama, lalu bersantai menikmati keindahan di sekeliling kami. Ada banyak orang yang memasang kemah, tetapi tidak sedikit juga yang bersiap-siap untuk turun. Hari ini adalah hari Minggu, jadi mereka pasti pulang agar besok bisa kembali beraktivitas.

Aku dan Galang masih punya satu hari cuti sebelum kembali ke ibu kota. Jadi, kami tidak perlu buru-buru kembali ke hotel. Lagi pula, kami menantikan matahari terbenam yang pasti indah dari puncak bukit ini. Galang memberikan ponselnya kepadaku.

“Ini beberapa tempat yang sudah pernah keluarga kita datangi saat berlibur akhir tahun bersama.” Dia menggeser layar untuk menunjukkan satu per satu foto kebersamaan mereka.

“Iya, kamu sudah cerita.”

“Apa kamu punya ide untuk kepergian kita akhir tahun ini?” tanyanya.

“Sudah tanggal dua puluh Desember. Apa kalian tidak khawatir dengan tiket pesawat yang mahal atau kehabisan kamar hotel?” Aku balik bertanya.

“Semua bisa didiskusikan.” Benar juga.

Setelah memilih beberapa tempat yang menarik hingga sampai pada satu kota saja, kami bersiap-siap. Begitu pemandangan matahari terbenam yang indah itu ditampilkan di hadapan kami, aku tersenyum bahagia. Ini adalah surga. Apa kabar buah hatiku di sana?

Kami menuruni bukit tanpa bicara dan kembali ke penginapan. Karena kami tiba sudah lewat jam makan malam, kami sudah mampir ke rumah makan dan mengisi perut. Dia mengembalikan mobil dan kami pun berjalan memasuki lobi.

“Wah, wah.” Perempuan pengkhianat itu berjalan dari sisi kanan, dan berhenti di depan kami. Pintu elevator hanya tinggal beberapa langkah lagi, tetapi terasa jauh. “Aku pikir kamu akan mengunjungi Lombok bersama suamimu untuk berbulan madu. Mengapa kamu malah ke sini bersama Galang?” Dia menatap kami secara bergantian.

“Apa urusannya denganmu, aku datang ke sini dengan siapa?” kataku sambil meraih tangan Galang. “Ayo, kita pergi, sebelum badanku gatal-gatal.”

“Kejadian itu sudah lama berlalu, tetapi kamu masih marah kepadaku?” ujarnya lagi, belum mau menyerah. “Wah, Fayola. Aku baru tahu kamu masih memikirkan aku sampai hari ini.” Dia tertawa cekikikan, memaksa aku menghentikan langkah.

“Sudah, tidak usah diladeni. Dia sengaja memancing kamu.” Galang mempererat genggaman tangannya, tetapi aku tidak mau mendengar.

Aku membalikkan badan dan mengangkat tangan kanan Galang, juga tanganku. “Kamu lihat ini?” Cincin kawin melingkari jari manis kanan kami. “Aku menghindar, bukan karena aku masih marah kepadamu. Kami sedang berbulan madu, Sonya. Aku sudah tidak sabar mau berduaan saja dengan suamiku di kamar.”

Dia mengangakan mulutnya begitu lebar. Tentu saja dia terkejut. Siapa yang akan menduga bahwa aku dan Galang akhirnya akan menikah? Kami terlalu nyaman bersahabat sampai tidak punya rasa istimewa layaknya sepasang kekasih terhadap satu sama lain.

Walaupun ucapannya setengah benar, aku tidak sudi mengakuinya. Bukan dia yang membuat aku tidak juga bisa melupakan pengkhianatan itu, tetapi suaminya. Syukurlah, aku tidak melihat dia di sekitarku, atau aku akan meninju wajahnya dengan keras.

Kami kembali ke Jakarta dengan penerbangan siang, tepat setelah check-out dari hotel. Aku heran dia membawa aku ke rumah orang tuanya, tetapi aku tidak protes. Pasti mamanya yang meminta kami untuk menginap di rumah mereka sepulang dari bulan madu.

“Hai! Selamat datang! Aku senang sekali melihat kalian pulang dengan selamat!” sambut Bunda dengan wajah bahagia. Dia memeluk aku, lalu putranya. “Kalian pasti lelah. Ayo, masuk. Kami sudah siapkan makan malam. Semuanya makanan kesukaan kalian berdua.”

Memahami keadaan kami, Bunda mempersilakan kami untuk beristirahat di kamar. Hal yang aku sambut dengan bahagia. Aku ingin sekali segera membersihkan diri, tidur, dan bersiap untuk kembali bekerja besok. Badanku masih remuk, tetapi mau tidak mau harus pergi ke kantor.

“Apa sepeda motormu ada di sini?” tanyaku sambil mengusap krim malam di pipiku.

“Tidak. Karena keluargaku membutuhkannya, aku menitipkan mobilku di sini.”  Aduh, gawat. Selesai menggelar karpet di lantai dan mengalasinya dengan selimut, dia berbaring di atasnya.

Aku berdiri dan berjalan menuju ranjang. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, dan pada saat yang bersamaan, kakiku tersandung dan tanganku ditarik hingga terjatuh ke atas tubuh Galang. Sebelum aku mengerti apa yang sedang terjadi, dia memutar posisi kami sehingga aku yang berbaring di atas selimut dan dia menutupi aku dengan tubuhnya.

“Oh, maafkan aku!” pekik Bunda terkejut.

“Bunda!” protes Galang. “Ketuk pintu dahulu sebelum masuk!”

“Ah, iya. Maafkan aku.” Aku mendengar tidak ada nada penyesalan pada suaranya. Karena Galang menutupi tubuhku, maka aku tidak bisa melihat wajah ibu mertuaku. “Aku tadi lupa bilang. Besok kita harus diskusikan mengenai rencana liburan.”

“Oke. Bisakah Bunda tinggalkan kami sekarang?” ucap Galang yang masih berpura-pura marah.

“Baiklah,” sorak ibunya dengan riang. “Selamat malam!”

Aku mendesah lega ketika Bunda keluar dan pintu kembali tertutup. Untung saja Galang bertindak lebih cepat, atau semua orang akan tahu kami tidak tidur satu ranjang. Bunda dan Mama sama saja, bukan orang yang bisa menyimpan rahasia.

“Satu, dua—” Galang menghitung setengah berbisik membuat aku bingung. Apa yang sedang dia lakukan? Ibunya sudah pergi, mengapa dia masih berada di atasku?

“Ah, satu hal lagi!” Pintu kembali terbuka. “Jangan lakukan di lantai. Badan kalian akan remuk besok pagi. Percayalah. Selamat bersenang-senang!!”

Pintu kembali tertutup, lalu suasana pun hening. Sangat hening sampai aku bisa mendengar detak jantung Galang dan setiap tarikan napasnya. Aku pun menyadari kami berbaring sangat dekat. Hal yang sudah biasa kami lakukan, tetapi tidak sedekat ini.

Detak jantungku semakin cepat, seiring dengan debaran jantungnya. Tarikan napasnya semakin cepat, seirama dengan naik turunnya dadaku. Posisinya yang setengah berbaring di atasku membuat aku tidak bisa bergerak. Saat tangannya membelai pipiku, aku tertegun. Apa yang akan dia lakukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status