“Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar.
“Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter.
“Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia.
Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama.
Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku.
“Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu.
“Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku.
Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak dua langkah itu.”
“Mengapa kamu tidak bopong aku ke kamarku?” protesku lagi.
“Bangun.” Dia menarik tangan agar turun dari tempat tidur. “Cepat mandi, jadi kamu tidak marah-marah lagi. Biar kita turun untuk sarapan. Aku kelaparan.”
Usai mandi, Galang benar. Aku merasa jauh lebih segar, kepalaku ringan, dan aku tidak merasa ada sisa amarah untuknya. Lagi pula, samar-samar aku bisa mengingat, akulah yang tidak mau tidur di kamarku sendiri. Aku terlalu lelah untuk sekadar berjalan ke kamar tidur ini.
“Kamu buang-buang uang saja menginap di hotel semahal ini,” keluhku, melihat mewahnya lobi hotel yang tidak aku perhatikan saat kami tiba semalam. Dia hanya tersenyum. “Aku boleh makan apa saja yang aku mau, sebanyak apa pun, ‘kan?”
“Kamu seperti tidak pernah menginap di hotel saja,” ejeknya. Aku memasang wajah cemberut.
“Aw,” Tubuhku terdorong dari belakang. Untung saja aku terjatuh ke arah Galang. Tanpa ragu-ragu, aku membalikkan badan dan memarahi orang yang tidak bisa memakai matanya dengan baik itu. “Heh! Apa kamu tidak punya mata?? Kalau jalan lihat-lihat, dong!”
“Maaf, saya mengejar anak-anak saya, jadi tidak sengaja menabrak Anda,” ucap wanita itu dengan kepala tertunduk. Ketika dia mengangkat wajahnya, kami serentak menarik napas terkejut.
“Kamu …?” Aku menggeram, lalu melihat ke sekelilingku. Pasti pria itu juga ada di sini. Apa yang dilakukan pengkhianat ini di hotel yang sama dengan kami? “Ayo, Lang. Sebaiknya kita menjauh dari penyakit menular ini. Aku lapar.”
Galang menurut, lalu kami mendekati konter yang berisi berbagai menu nasi. Kami mengisi piring kami masing-masing. Setelah memeriksa semua meja saji dan memilih makanan yang kami inginkan, Galang mengajak aku ke meja kosong yang dekat dengan jendela.
“Mengapa mereka bisa ada di sini juga, sih? Apa tidak ada hotel lain yang bisa mereka datangi? Apa mereka sengaja datang ke sini untuk merusak bulan madu kita?” omelku kesal. “Apa aku bilang, hotel ini terlalu mahal untuk status kita. Bagi mereka, ini tempat favorit.”
“Sebaiknya kamu cepat makan, jadi kita bisa pergi ke tempat favoritmu,” katanya penuh arti. Aku melempar tomat ceri ke wajahnya. Dia beruntung, tomat itu berhasil ditangkapnya.
Dia menyewa sebuah mobil untuk pergi ke Sembalun yang kami tempuh selama dua jam. Aku sudah bisa melihat Gunung Rinjani dari pintu gerbang Bukit Pergasingan. Ada beberapa orang yang juga mau mendaki. Tidak hanya turis domestik, tetapi juga mancanegara.
Setelah bersiap dan meregangkan kaki, Galang mengajak aku untuk mulai berjalan. Dia yang membawa ransel berisi bekal kami. Untuk menghemat tenaga, kami tidak bicara selama mendaki. Aku menikmati pemandangan yang ada di sekitarku selama dalam perjalanan.
“Waah! Indah sekali!” seruku senang saat kami sudah tiba di puncak. Pemandangan yang paling indah adalah petak-petak sawah yang berwarna-warni di lembah. Aku melihat ke arah Gunung Rinjani. Suatu hari nanti, aku pasti akan ke puncaknya.
Selain keindahan dan menaklukkan tantangan yang membuat aku menyukai gunung, ada satu hal yang lebih penting. Aku merasa tubuhku menjadi lebih tinggi dengan berada di puncaknya. Ejekan semua orang mengenai badanku yang pendek langsung tertepis dari kepalaku.
“Ayo, kita berfoto sebelum pendaki lainnya sampai!” Galang merangkul bahuku, lalu mengarahkan kamera depan ponselnya kepada kami.
“Sini, biar aku fotokan.” Aku mengambil ponsel itu darinya, lalu memotret beberapa posenya. Aku tertawa puas saat berhasil memotret ekspresi jeleknya.
“Ayo, gantian!” Dia berjalan mendekati aku, maka aku mengembalikan ponselnya dan berdiri di tempatnya tadi. Kami melakukannya dengan cepat, karena pendaki lain sudah tiba.
Kami makan siang bersama, lalu bersantai menikmati keindahan di sekeliling kami. Ada banyak orang yang memasang kemah, tetapi tidak sedikit juga yang bersiap-siap untuk turun. Hari ini adalah hari Minggu, jadi mereka pasti pulang agar besok bisa kembali beraktivitas.
Aku dan Galang masih punya satu hari cuti sebelum kembali ke ibu kota. Jadi, kami tidak perlu buru-buru kembali ke hotel. Lagi pula, kami menantikan matahari terbenam yang pasti indah dari puncak bukit ini. Galang memberikan ponselnya kepadaku.
“Ini beberapa tempat yang sudah pernah keluarga kita datangi saat berlibur akhir tahun bersama.” Dia menggeser layar untuk menunjukkan satu per satu foto kebersamaan mereka.
“Iya, kamu sudah cerita.”
“Apa kamu punya ide untuk kepergian kita akhir tahun ini?” tanyanya.
“Sudah tanggal dua puluh Desember. Apa kalian tidak khawatir dengan tiket pesawat yang mahal atau kehabisan kamar hotel?” Aku balik bertanya.
“Semua bisa didiskusikan.” Benar juga.
Setelah memilih beberapa tempat yang menarik hingga sampai pada satu kota saja, kami bersiap-siap. Begitu pemandangan matahari terbenam yang indah itu ditampilkan di hadapan kami, aku tersenyum bahagia. Ini adalah surga. Apa kabar buah hatiku di sana?
Kami menuruni bukit tanpa bicara dan kembali ke penginapan. Karena kami tiba sudah lewat jam makan malam, kami sudah mampir ke rumah makan dan mengisi perut. Dia mengembalikan mobil dan kami pun berjalan memasuki lobi.
“Wah, wah.” Perempuan pengkhianat itu berjalan dari sisi kanan, dan berhenti di depan kami. Pintu elevator hanya tinggal beberapa langkah lagi, tetapi terasa jauh. “Aku pikir kamu akan mengunjungi Lombok bersama suamimu untuk berbulan madu. Mengapa kamu malah ke sini bersama Galang?” Dia menatap kami secara bergantian.
“Apa urusannya denganmu, aku datang ke sini dengan siapa?” kataku sambil meraih tangan Galang. “Ayo, kita pergi, sebelum badanku gatal-gatal.”
“Kejadian itu sudah lama berlalu, tetapi kamu masih marah kepadaku?” ujarnya lagi, belum mau menyerah. “Wah, Fayola. Aku baru tahu kamu masih memikirkan aku sampai hari ini.” Dia tertawa cekikikan, memaksa aku menghentikan langkah.
“Sudah, tidak usah diladeni. Dia sengaja memancing kamu.” Galang mempererat genggaman tangannya, tetapi aku tidak mau mendengar.
Aku membalikkan badan dan mengangkat tangan kanan Galang, juga tanganku. “Kamu lihat ini?” Cincin kawin melingkari jari manis kanan kami. “Aku menghindar, bukan karena aku masih marah kepadamu. Kami sedang berbulan madu, Sonya. Aku sudah tidak sabar mau berduaan saja dengan suamiku di kamar.”
Dia mengangakan mulutnya begitu lebar. Tentu saja dia terkejut. Siapa yang akan menduga bahwa aku dan Galang akhirnya akan menikah? Kami terlalu nyaman bersahabat sampai tidak punya rasa istimewa layaknya sepasang kekasih terhadap satu sama lain.
Walaupun ucapannya setengah benar, aku tidak sudi mengakuinya. Bukan dia yang membuat aku tidak juga bisa melupakan pengkhianatan itu, tetapi suaminya. Syukurlah, aku tidak melihat dia di sekitarku, atau aku akan meninju wajahnya dengan keras.
Kami kembali ke Jakarta dengan penerbangan siang, tepat setelah check-out dari hotel. Aku heran dia membawa aku ke rumah orang tuanya, tetapi aku tidak protes. Pasti mamanya yang meminta kami untuk menginap di rumah mereka sepulang dari bulan madu.
“Hai! Selamat datang! Aku senang sekali melihat kalian pulang dengan selamat!” sambut Bunda dengan wajah bahagia. Dia memeluk aku, lalu putranya. “Kalian pasti lelah. Ayo, masuk. Kami sudah siapkan makan malam. Semuanya makanan kesukaan kalian berdua.”
Memahami keadaan kami, Bunda mempersilakan kami untuk beristirahat di kamar. Hal yang aku sambut dengan bahagia. Aku ingin sekali segera membersihkan diri, tidur, dan bersiap untuk kembali bekerja besok. Badanku masih remuk, tetapi mau tidak mau harus pergi ke kantor.
“Apa sepeda motormu ada di sini?” tanyaku sambil mengusap krim malam di pipiku.
“Tidak. Karena keluargaku membutuhkannya, aku menitipkan mobilku di sini.” Aduh, gawat. Selesai menggelar karpet di lantai dan mengalasinya dengan selimut, dia berbaring di atasnya.
Aku berdiri dan berjalan menuju ranjang. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, dan pada saat yang bersamaan, kakiku tersandung dan tanganku ditarik hingga terjatuh ke atas tubuh Galang. Sebelum aku mengerti apa yang sedang terjadi, dia memutar posisi kami sehingga aku yang berbaring di atas selimut dan dia menutupi aku dengan tubuhnya.
“Oh, maafkan aku!” pekik Bunda terkejut.
“Bunda!” protes Galang. “Ketuk pintu dahulu sebelum masuk!”
“Ah, iya. Maafkan aku.” Aku mendengar tidak ada nada penyesalan pada suaranya. Karena Galang menutupi tubuhku, maka aku tidak bisa melihat wajah ibu mertuaku. “Aku tadi lupa bilang. Besok kita harus diskusikan mengenai rencana liburan.”
“Oke. Bisakah Bunda tinggalkan kami sekarang?” ucap Galang yang masih berpura-pura marah.
“Baiklah,” sorak ibunya dengan riang. “Selamat malam!”
Aku mendesah lega ketika Bunda keluar dan pintu kembali tertutup. Untung saja Galang bertindak lebih cepat, atau semua orang akan tahu kami tidak tidur satu ranjang. Bunda dan Mama sama saja, bukan orang yang bisa menyimpan rahasia.
“Satu, dua—” Galang menghitung setengah berbisik membuat aku bingung. Apa yang sedang dia lakukan? Ibunya sudah pergi, mengapa dia masih berada di atasku?
“Ah, satu hal lagi!” Pintu kembali terbuka. “Jangan lakukan di lantai. Badan kalian akan remuk besok pagi. Percayalah. Selamat bersenang-senang!!”
Pintu kembali tertutup, lalu suasana pun hening. Sangat hening sampai aku bisa mendengar detak jantung Galang dan setiap tarikan napasnya. Aku pun menyadari kami berbaring sangat dekat. Hal yang sudah biasa kami lakukan, tetapi tidak sedekat ini.
Detak jantungku semakin cepat, seiring dengan debaran jantungnya. Tarikan napasnya semakin cepat, seirama dengan naik turunnya dadaku. Posisinya yang setengah berbaring di atasku membuat aku tidak bisa bergerak. Saat tangannya membelai pipiku, aku tertegun. Apa yang akan dia lakukan?
~Galang~ Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah. Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama. Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. “Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di
~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya
Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t
~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu
~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai
Aku merapatkan bibirku, berusaha untuk tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menoleransi aku yang kentut di mobilnya, maka tidak adil kalau aku marah kepadanya. Jadi, dengan berat hati, aku memalingkan wajah dan memandang ke arah kaca depan mobil. Namun bukannya berhenti dan menghargai sikap mengalahku, dia meneruskan kebiasaan joroknya itu. Aku mengepalkan tangan, menahan diri. Ini adalah mobilnya, maka dia punya hak melakukan apa pun yang dia mau. Aku tidak boleh marah. “Bisakah kamu menghentikan itu?” kataku, tidak tahan lagi. Dia mengorek hidung, lalu menyeka tangannya di bagian paha celananya. Ggrr, joroknya dia. Pakaianku bisa kena kotoran itu juga saat orang mencuci pakaian kami. Namun aku tidak mau membayangkannya. “Aku tidak menghalangi kamu kentut. Mengapa kamu marah aku mengupil?” ucapnya, tidak peduli. “Pakai tisu, Lang. Kamu meletakkannya di sana, di dasbor agar mudah kamu raih. Bukan dilap di celana kamu. Jorok, tahu, enggak?” kataku lagi. “Ini celanaku, mengapa kamu b
“Silakan masuk.” Terdengar jawaban dari balik pintu yang aku ketuk. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membuka pintu tersebut. Galang menepati ucapannya pada saat aku dipecat lima belas tahun yang lalu. Dia membantu aku mencari informasi dari seluruh teman-temannya mengenai lowongan pekerjaan untuk desainer grafis. Hanya satu minggu menganggur, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja setelah melewati seleksi yang ketat. Aku sangat menyukai tempat ini dan lingkungannya. Para karyawan sangat akrab dan mau bekerja sama dengan baik. Iya, aku pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, tetapi itu bukan masalah. Sudah biasa di tempat yang nyaman selalu akan ada yang sengaja mengusik kedamaian. “Selamat siang, Bu,” sapaku dengan sopan. “Selamat siang, Fayola. Silakan duduk.” Aku terkejut melihat makanan yang ada di atas meja. “Ayo, duduk. Jangan berdiri saja. Aku sudah lapar.” “Ng, baik, Bu.” Aku menurut dengan duduk di kursi di depannya. Jantungku berdebar dengan cepa
Dia yang semula duduk tegak dan berwajah tegang berubah santai. Dia tersenyum penuh arti. “Rahasia,” jawabnya. Itu kalimat yang paling aku benci. “Yang penting, klien suka dengan hasilnya.”“Aku tidak suka rahasia. Cepat katakan. Ada apa dengan warna kuning?” desakku tidak kuat lagi menahan rasa penasaran. “Bahkan untuk pilihan warna matahari pun, kamu selalu menggunakan jingga, tidak pernah ada warna kekuningan.”“Pekerjaanku hari ini sangat banyak, aku mengantuk.” Dia malah berpindah ke sisi lain tempat tidur untuk berbaring. “Sebaiknya kamu juga tidur, karena kita harus bangun subuh.”“Enak saja kamu menghindar begini. Jawab pertanyaanku.” Aku ikut menaikkan kakiku ke ranjang dan mendekatinya. “Aku penasaran, jadi kamu tidak bisa tidur sebelum menjawab pertanyaanku.”“Fay, aku benar-benar lelah.” Melihat dia menutup mata, aku menggelitik pinggangnya. Itu adalah titik kelemahannya.“Fay!” pekiknya dengan suara tertahan. Namun aku tidak berhenti dan terus menyerang kedua bagian tubuh