"Berdirilah Wiliam! Kamu jangan seperti anak kecil yang terus merengek meminta keinginanmu bisa aku wujudkan, aku bukan orang yang tepat untuk memberikan kamu anak, percayalah aku bukan wanita yang kamu cari, segera ceraikan aku."
Dengan cepat tangan Vea melepaskan tangan Wiliam yang terus menggenggamnya, tidak mau lagi berlama-lama berhadapan dengan pria tua yang membuat Vea rasanya ingin murka. "Vea, jika kamu menuruti aku, sesuatu sudah aku siapkan untukmu, aku mendapatkan informasi mengenai kedua orang tuamu, tentang keberadaan ayahmu Aziz, itu juga kalau kamu masih menganggapnya sebagai orang tuamu, ikutlah denganku." Mungkin dengan cara ini Vea akan mau diajaknya pulang, setidaknya wanita itu tidak menghindarinya. Informasi yang Wiliam dapatkan termasuk valid dan lengkap dibutuhkan oleh Vea selama ini. "Ayahku? Di mana dia? Apa kamu serius mengetahui keberadaan ayahku? Selama ini aku ingin bertemu dengannya dan bertanya banyak tentang, kenapa aku dibuang ke panti asuhan? Apa salahku? Apa ayahku tidak sayang padaku?" Sekarang Vea mengingat betul tujuannya melarikan diri dari panti asuhan di mana dirinya dibesarkan, termasuk saat hidupnya harus mencari-cari pekerjaan hanya untuk sesuap nasi. "Percayalah padaku Vea, ikut denganku pulang dan kita akan bertemu dengan orang tua yang sudah tega meninggalkan kamu, aku janji padamu, kamu bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kamu selama ini." Janji Wiliam menarik untuk Vea, dikarenakan informasi yang didapatkan Wiliam bukan sebuah omong kosong belaka, Vea tahu suaminya ini bukan orang sembarangan. "Baiklah, aku akan pulang denganmu, tapi hanya sebatas karena aku mau bertemu dengan kedua orang tuaku, kalau kamu mengingkari atau berbohong tentang informasi itu, maka aku sendiri yang akan pergi darimu," balas Vea melebarkan matanya. Kebahagiaan terlihat dari wajah Wiliam, dia berhasil membujuk Vea yang keras kepala, Wiliam segera berdiri dan membukakan pintu mobil untuk istri keempatnya ini. "Silakan masuk ratuku yang keempat," ucapnya menjijikkan terdengar oleh Vea. Dalam perjalanan pulang ke rumah Wiliam, Vea sendiri masih sedikit bimbang ingin bertemu kedua orang tuanya, ada perasaan siap dan tidak siap untuk menjelaskan ataupun meluapkan segala yang dia rasakan selama ini di depan mereka, apakah bisa? "Aku senang kamu mau pulang denganku Vea, nanti aku akan memerintahkan orang suruhanku untuk mencari informasi kembali mengenai kapan waktu yang tepat bisa bertemu dengan mereka." Saat Wiliam bicara, Vea sibuk dengan sendirinya menatap ke arah luar kaca mobil, termenung memikirkan apa yang akan terjadi jika dia bertemu dengan kedua orang tuanya. Wiliam menghentikan mobil mendadak membuatnya kaget dan melihat ke arah suaminya. "Bisa bawa mobil, tidak? Kamu mau kita mati di sini? Kalau tidak aku turun sebelum nyawaku melayang di tangan kamu, bukannya aku bertemu dengan kedua orang tuaku, malah aku ada di alam lain," protes Vea terus menyalahkan Wiliam. Pintu mobil terbuka untuk Wiliam bisa keluar dari mobilnya, dia juga secepat kilat membukakan pintu Vea agar wanitanya juga ikut dengannya menikmati indahnya sore menjelang malam. "Keluarlah, aku mau kita bicara dulu berdua. Dari tadi aku melihat kamu melamun, tidak baik jika kamu terus seperti itu, kita bisa bicara terbuka agar aku dapat membantumu, aku punya tempat yang cocok untuk kita bicara." Terpaksa Vea turun dari mobil mengikuti Wiliam yang sekarang naik di depan mobilnya, pemandangan jalanan yang semakin ramai tidak membuatnya malu, dia duduk di sana melihat ke arah langit di atas diikuti Vea yang mulai duduk terheran-heran dengan tingkah Wiliam. "Untuk apa kamu terus menatapnya? Itu hanya langit yang jauh dan sulit kamu gapai, bahkan mungkin kamu tidak akan pernah mencapainya walaupun dengan kedudukan kamu saat ini, terlalu tinggi untuk kamu Wiliam, apalagi aku." Lirikan mata Wiliam mengarah pada Vea yang sudah mulai bicara, pikirannya sedikit berkurang memikirkan kedua orang tuanya. Wiliam bisa membuat Vea tenang berada di sampingnya tanpa harus marah-marah. "Terkadang menatap bukan berarti ingin memiliki, bukan? Langit itu seperti kamu Vea, sangat jauh dariku, tapi kalau memang aku mau, aku akan berusaha memilikinya, kedudukanku tidak menjamin kamu akan mencintai aku, aku salah karena kamu tidak melihat semua itu untuk kesenanganmu, kebahagiaanmu, kamu berbeda dari yang lainnya, aku akan berusaha membuatmu mencintaiku, Vea. Walaupun kamu tidak akan melihat aku seperti aku menatapmu," balas Wiliam membawa debar jantung yang begitu hebat untuk Vea. Pria yang cukup berumur seperti Wiliam masih bicara sedemikian rupa untuk membuat wanitanya terkesan dan jatuh hati, Vea dibuat melayang akan semua itu, padahal selama ini beberapa pria mencoba mendekati Vea dengan caranya, tetapi Vea terus menolaknya. "Kamu ngomong apa sih? Katanya kita mau pulang dan mau menemui kedua orang tuaku, kenapa kamu bawa aku ke tepi jalanan dengan kamu mengatakan rayuan maut? Kamu mau bikin aku jatuh cinta? Mau aku cepat memberikan kamu anak? Jangan harap!" Keduanya turun dari sana dan segera Wiliam masuk ke dalam mobil tanpa bicara sepatah katapun, rupanya kata-kata Vea sedikit melukainya, tidak sedikit yang Wiliam korbankan untuk wanitanya ini, akan tetapi Vea tidak juga mau melihat semua itu adalah suatu ketulusan. Dilihat ponsel ada pesan masuk dari Silvi jika nanti akan ada tamu besar di rumah, sepertinya akan banyak wartawan yang meliput kediamannya. "Kita akan kedatangan tamu besok, aku mau kamu dan ketiga istriku yang lain akan berada di dekatku, aku akan menunjukan pada dunia bahwa kamu adalah milikku, aku tidak akan malu memiliki kalian berempat." Rupanya Wiliam akan terang-terangan mengumumkan jika dirinya memiliki istri banyak, tidak seperti dalam pikiran Vea yang mengira jika Wiliam menyembunyikan semua itu karena memang Wiliam memiliki kepribadian tukang gonta ganti wanita, Vea salah besar. "Aku tidak mau! Untuk apa pengakuan semacam itu? Aku pun malu menjadi istrimu yang keempat, lagipula apa untungnya seluruh orang Jakarta tau tentang pernikahan kita? Mereka juga lebih berminat melihat dunia olahraga atau fashion, atau kulineran." Wanitanya terus bicara menyerang Wiliam yang masih fokus mengendarai mobilnya, tidak disangka jika Vea masih belum mau mengumumkan pernikahannya itu, tetapi semua tidak masalah untuk Wiliam. "Aku mau tetap mengumumkan semua itu, kamu kan bilang aku tidak sebaik yang dipikirkan semua orang, makanya aku akan umumkan semua itu, lagipula semua orang sudah tau kalau aku punya istri lebih dari satu, setidaknya ini akan membuat kamu tidak diganggu oleh siapapun jika berpergian tanpa aku, aku termasuk orang yang terkenal di bidang makanan dan minuman, semua orang pasti akan membicarakan aku. Jangan terus menganggap aku orang jahat!" seru Wiliam tidak tahan lagi bersikap lembut pada wanitanya. Deg! Vea ketakutan hingga dirinya gemetaran.["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki