Share

RODA KEHIDUPAN

Semua berjalan begitu cepat dan ijab kabul pun sudah terjadi. Penghulu dan saksi sudah pergi, kini hanya menyisakan Dini dan Rio yang masih sama-sama berdiam diri.

Tidak tahan dengan situasi yang kaku antara dirinya dan Rio, Dini pun memutuskan untuk keluar dari salah satu kamar rumah sakit yang disewa Rio hanya untuk pernikahan mereka.

"Permisi, Kak."

"Memang siapa yang menyuruhmu pergi?"

Sayangnya suara Rio yang otoriter itu menahan langkahnya.

"Apa ada yang ingin Kak Rio bicarakan?"

Kemudian, tatapan elang milik Rio mengedar ... menatap Dini dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sadar dilihat dengan saksama oleh mantan kekasihnya, Dini pun menunduk ... merasa minder dengan perbedaan penampilan mereka kini.

"Apa yang terjadi padamu? Ke mana kembang kampus yang dulu cantik itu?”

"Ah, itu....” Sesaat, Dini termangu, bingung. Hingga kemudian dia hanya berujar singkat, tanpa berusaha bercerita lebih lanjut. “Roda kehidupan berputar, Kak.”

Rio menganggukkan kepalanya nyaris tak kentara. "Memang kehidupan itu sangat adil. Dua manusia yang dulu berbeda kasta, kini justru seolah bertukar posisi.”

Dini tahu ucapan Rio ini menyindir dirinya. Dulu, Dini adalah orang kaya, sementara Rio adalah orang biasa.

Namun, wanita itu enggan menjelaskan apa yang terjadi dan membiarkan Rio dengan asumsinya sendiri. Dini merasa, percuma menjelaskannya pada Rio, sementara pria itu masih memiliki penilaian buruk yang tak lekang tentangnya karena masa lalu.

"Jadi kapan kita mulai prosesnya, Kak?”

Tidak memperpanjang topik masa lalu, Dini pun langsung bertanya seputar perjanjian pernikahan mereka.

"Kamu yakin tubuhmu bersih untuk membawa anakku?” tanya Rio dengan pandangan menelisik.

“Maksud Kakak?”

Lalu, tanpa perasaan Rio berujar, “Melihat badanmu yang dekil kayak gitu ... aku jadi ragu apakah proses itu bisa dimulai secepatnya."

Jleb. Perkataan Rio yang tajam itu lagi-lagi menggores hatinya. Dini tahu, pakaiannya memang masih sedikit basah karena hujan-hujanan hasil tadi mengemis bantuan pada Satrio.

Badannya memang terlihat kotor, dekil dan mungkin sedikit tidak sedap karena bau pakaian yang tidak kering.

Namun, dia yakin ... Rio menyindirnya untuk perkara lain.

“Kakak tidak perlu khawatir. Meski bajuku sedikit basah, kulitku sedikit terbakar karena tidak lagi dirawat dan tersengat matahari ... aku berani jamin jika rahimku sehat.”

"Kapan terakhir kali cek kesehatan rahimmu?"

Dini kembali termangu. "I-itu ... aku tidak pernah cek, tapi—“

"Terus dari mana kamu yakin kalau kamu sehat?" sahut Rio dengan seringai sinis.

Dini memang belum pernah melakukan cek kesehatan lengkap seperti yang diminta Rio. Namun, dia yakin kalau dia dalam kategori sehat karena jadwal menstruasinya masih teratur.

Baru Dini ingin menjawab, tetapi Rio kembali menyela. "Kalau memang kamu sehat, bagaimana anakmu bisa terkena thalasemia? Kalau anakku ada di dalam rahimmu apa nanti tidak akan terpengaruh juga dengan kondisi kesehatanmu?"

Kalau Dini punya keberanian untuk mengajak orang di hadapannya ribut, maka dia ingin memakinya. Tapi, semua itu masih dia tahan, sebab pria itu baru saja menolong anaknya.

Meski begitu, Dini menunjukkan sedikit rasa kesalnya pada Rio.

"Kalau begitu talak aku saja. Mungkin bisa cari wanita lain yang bisa menjadi Ibu pengganti untuk bakal anak Kak Rio?" ujarnya kali ini dengan tatapan yang lebih berani.

"Lalu, apa aku harus mengeluarkan darah yang sekarang sudah masuk ke dalam tubuh anakmu?"

Dini tak tahu kalau sesulit itu bicara dengan Rio sekarang. Lama sudah mereka tidak berjumpa dan benar kata orang kalau sikap seseorang pasti bisa berubah.

Lagi-lagi Rio sukses membuat Dini menunduk dan tak bisa menjawab. Entah apa mau Rio, Dini pasrah.

"Akan ada beberapa pemeriksaan dan prosesnya tidak langsung satu hari langsung bisa tanam benih. Aku juga harus bicara dengan istriku sambil melihat kondisi kesehatan fisikmu.” Lagi, Rio menilai penampilan Dini dengan saksama. “Lagi pula melihat tubuhmu yang kurus kering seperti tengkorak hidup, kurasa aku harus menunggu beberapa bulan lagi, karena aku tidak mau sampai anakku bermasalah dalam tubuhmu."

"Beberapa bulan? Kak, aku-"

"Ingat, di sini aku yang menentukan. Kamu ikuti saja apa yang sudah kutentukan. Jangan protes. Karena alasanmu juga tidak akan kudengar!" Selepas bicara, Rio mengambil handphone di saku celananya dan menghubungi seseorang.

“Ted, kalau Anggia sudah selesai cuci darahnya langsung bawa ke ambulans dan pindahkan ke rumah yang sudah kusiapkan. Hire beberapa perawat untuk mengasuhnya juga.”

Rio rupanya menghubungi Dokter Teddy. Dan mendengar perkataan Rio barusan, membuat Dini membulatkan matanya, terkejut.

"Kamu ikut ambulance itu. Tinggal di rumah yang sudah kutentukan.” Usai teleponnya berakhir, Rio kembali menatap Dini dengan otoriter. “Aku akan menemuimu di sana nanti. Jangan pernah berpikir kamu bisa kabur, sebab orang-orangku akan mengawasimu.”

Setelah itu, pria itu meninggalkan Dini seorang diri.

‘Bagaimana aku bisa kabur, kalau dia yang sudah menyelamatkan anakku?’

*

"Mama, ini rumah temennya Mama yang ngobatin Anggia? Bagus banget."

Dari tadi saat di ambulans, Anggia juga sudah bertanya dirinya mau dibawa ke mana. Dini hanya bisa mengatakan kalau akan pergi ke rumah temannya yang meminjamkan uang untuk berobat.

Dini sudah membuka kondisi keuangannya pada Anggia sehingga anak berusia lima tahun itu sudah paham kalau mereka saat ini tidak punya uang.

Anggia paham, sebab gadis kecil itu juga sering ikut Dini pergi ke toko emas untuk menjual perhiasan yang mereka pakai untuk biaya pengobatannya.

Makanya, Dini hanya mengangguk saja menimpali ucapan Anggia.

Tidak lama, dua orang berseragam perawat yang dipekerjakan oleh Rio menghampiri mereka. "Ibu silakan bisa beristirahat dan Anggia akan kami jaga."

"Tapi saya biasa tidur dengan putri saya."

"Kami mengerti. Tapi Ibu sekarang harus mandi dulu dan ganti baju, bukan? Kami akan menjaganya dulu dan nanti Ibu bisa ke kamarnya Anggia dan tidur bersama dengannya."

Tidak bisa mengelak lagi, Dini pun pasrah. "Baiklah terima kasih."

Kemudian, setelah Anggia dibawa oleh dua suster itu, Dini dengan tubuh kotornya masuk ke kamar mandi.

Melihat kamar mandi di dalam kamar barunya ini, Dini merasa seakan-akan seperti kembali ke rumah orang tuanya.

Rumah itu mewah, sama seperti rumah orang tuanya dulu. Semua perlengkapan yang ada di dalam kamar mandi ini bahkan benar-benar persis seperti yang sering dia gunakan dulu.

Hal itu sontak membuat Dini menjadi lebih emosional. “Kak Rio sengaja menyiapkan semua sabun-sabun perlengkapan mandiku sama seperti yang biasa aku gunakan dulu kah?”

Tidak hanya itu ... Pakaian-pakaian juga sudah tersedia di dalam wardrobe pun kembali menguatkan pemikiran Dini.

Style yang sama seperti yang dulu Dini sering gunakan sewaktu tinggal di rumah papanya. Ini juga membuatnya speechless. Apalagi saat menemukan sebuah ponsel baru, juga debit, lengkap dengan catatan pinnya di meja rias.

Tidak mau terbuai dengan segala perhatian Rio, Dini mengedikkan bahu.

"Mungkin dia mau mengirim uang untuk biaya cuci darah nanti? Dan handphone ini supaya dia bisa menghubungiku kan? Aku tidak punya handphone soalnya."

Dua minggu sudah Dini berada di rumah Rio dan dia bisa melihat Anggia tersenyum cerah hampir sama seperti hari-harinya dulu saat masih di rumah peniggalan papanya.

Sementara itu, Rio tidak pernah menampakan batang hidungnya, kendati pria itu berkata akan menemuinya di sini kala itu. Tentu hal itu membuat Dini merasa lega, sebab dia tidak perlu merasa canggung dengan kehadiran Rio di rumah yang sama dengannya.

Merasa kerasan, Dini bahkan seolah lupa jika ini bukan rumahnya sendiri. Wanita itu dengan lihainya memasuki dapur dan menyiapkan sendiri makanan untuk dirinya juga sang anak.

"Anggia, Mama buat makanan kesukaan Anggia, sini dimakan dulu mumpung masih hangat."

Tanpa Dini sadar saat dia berkata begitu ada seseorang yang berjalan mendekat dan kini tengah melihat ke arah makanan yang dipegang wanita itu.

"Apa saat kamu hamil Anggia, kamu merindukan mantan kekasihmu sampai-sampai mereka punya makanan kesukaan yang sama??”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Rio.....tajam sekali ucapanmu menyindir Dini....
goodnovel comment avatar
Yuli Yazid
clbk terkadang bikin bahagia kadang bikin nyesek yg kuat ya Dini demi Anggia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status