Semua berjalan begitu cepat dan ijab kabul pun sudah terjadi. Penghulu dan saksi sudah pergi, kini hanya menyisakan Dini dan Rio yang masih sama-sama berdiam diri.
Tidak tahan dengan situasi yang kaku antara dirinya dan Rio, Dini pun memutuskan untuk keluar dari salah satu kamar rumah sakit yang disewa Rio hanya untuk pernikahan mereka.
"Permisi, Kak."
"Memang siapa yang menyuruhmu pergi?"
Sayangnya suara Rio yang otoriter itu menahan langkahnya.
"Apa ada yang ingin Kak Rio bicarakan?"
Kemudian, tatapan elang milik Rio mengedar ... menatap Dini dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Sadar dilihat dengan saksama oleh mantan kekasihnya, Dini pun menunduk ... merasa minder dengan perbedaan penampilan mereka kini.
"Apa yang terjadi padamu? Ke mana kembang kampus yang dulu cantik itu?”
"Ah, itu....” Sesaat, Dini termangu, bingung. Hingga kemudian dia hanya berujar singkat, tanpa berusaha bercerita lebih lanjut. “Roda kehidupan berputar, Kak.”
Rio menganggukkan kepalanya nyaris tak kentara. "Memang kehidupan itu sangat adil. Dua manusia yang dulu berbeda kasta, kini justru seolah bertukar posisi.”
Dini tahu ucapan Rio ini menyindir dirinya. Dulu, Dini adalah orang kaya, sementara Rio adalah orang biasa.
Namun, wanita itu enggan menjelaskan apa yang terjadi dan membiarkan Rio dengan asumsinya sendiri. Dini merasa, percuma menjelaskannya pada Rio, sementara pria itu masih memiliki penilaian buruk yang tak lekang tentangnya karena masa lalu.
"Jadi kapan kita mulai prosesnya, Kak?”
Tidak memperpanjang topik masa lalu, Dini pun langsung bertanya seputar perjanjian pernikahan mereka.
"Kamu yakin tubuhmu bersih untuk membawa anakku?” tanya Rio dengan pandangan menelisik.
“Maksud Kakak?”
Lalu, tanpa perasaan Rio berujar, “Melihat badanmu yang dekil kayak gitu ... aku jadi ragu apakah proses itu bisa dimulai secepatnya."
Jleb. Perkataan Rio yang tajam itu lagi-lagi menggores hatinya. Dini tahu, pakaiannya memang masih sedikit basah karena hujan-hujanan hasil tadi mengemis bantuan pada Satrio.
Badannya memang terlihat kotor, dekil dan mungkin sedikit tidak sedap karena bau pakaian yang tidak kering.
Namun, dia yakin ... Rio menyindirnya untuk perkara lain.
“Kakak tidak perlu khawatir. Meski bajuku sedikit basah, kulitku sedikit terbakar karena tidak lagi dirawat dan tersengat matahari ... aku berani jamin jika rahimku sehat.”
"Kapan terakhir kali cek kesehatan rahimmu?"
Dini kembali termangu. "I-itu ... aku tidak pernah cek, tapi—“
"Terus dari mana kamu yakin kalau kamu sehat?" sahut Rio dengan seringai sinis.
Dini memang belum pernah melakukan cek kesehatan lengkap seperti yang diminta Rio. Namun, dia yakin kalau dia dalam kategori sehat karena jadwal menstruasinya masih teratur.
Baru Dini ingin menjawab, tetapi Rio kembali menyela. "Kalau memang kamu sehat, bagaimana anakmu bisa terkena thalasemia? Kalau anakku ada di dalam rahimmu apa nanti tidak akan terpengaruh juga dengan kondisi kesehatanmu?"
Kalau Dini punya keberanian untuk mengajak orang di hadapannya ribut, maka dia ingin memakinya. Tapi, semua itu masih dia tahan, sebab pria itu baru saja menolong anaknya.
Meski begitu, Dini menunjukkan sedikit rasa kesalnya pada Rio.
"Kalau begitu talak aku saja. Mungkin bisa cari wanita lain yang bisa menjadi Ibu pengganti untuk bakal anak Kak Rio?" ujarnya kali ini dengan tatapan yang lebih berani.
"Lalu, apa aku harus mengeluarkan darah yang sekarang sudah masuk ke dalam tubuh anakmu?"
Dini tak tahu kalau sesulit itu bicara dengan Rio sekarang. Lama sudah mereka tidak berjumpa dan benar kata orang kalau sikap seseorang pasti bisa berubah.
Lagi-lagi Rio sukses membuat Dini menunduk dan tak bisa menjawab. Entah apa mau Rio, Dini pasrah.
"Akan ada beberapa pemeriksaan dan prosesnya tidak langsung satu hari langsung bisa tanam benih. Aku juga harus bicara dengan istriku sambil melihat kondisi kesehatan fisikmu.” Lagi, Rio menilai penampilan Dini dengan saksama. “Lagi pula melihat tubuhmu yang kurus kering seperti tengkorak hidup, kurasa aku harus menunggu beberapa bulan lagi, karena aku tidak mau sampai anakku bermasalah dalam tubuhmu."
"Beberapa bulan? Kak, aku-"
"Ingat, di sini aku yang menentukan. Kamu ikuti saja apa yang sudah kutentukan. Jangan protes. Karena alasanmu juga tidak akan kudengar!" Selepas bicara, Rio mengambil handphone di saku celananya dan menghubungi seseorang.
“Ted, kalau Anggia sudah selesai cuci darahnya langsung bawa ke ambulans dan pindahkan ke rumah yang sudah kusiapkan. Hire beberapa perawat untuk mengasuhnya juga.”
Rio rupanya menghubungi Dokter Teddy. Dan mendengar perkataan Rio barusan, membuat Dini membulatkan matanya, terkejut.
"Kamu ikut ambulance itu. Tinggal di rumah yang sudah kutentukan.” Usai teleponnya berakhir, Rio kembali menatap Dini dengan otoriter. “Aku akan menemuimu di sana nanti. Jangan pernah berpikir kamu bisa kabur, sebab orang-orangku akan mengawasimu.”
Setelah itu, pria itu meninggalkan Dini seorang diri.
‘Bagaimana aku bisa kabur, kalau dia yang sudah menyelamatkan anakku?’
*
"Mama, ini rumah temennya Mama yang ngobatin Anggia? Bagus banget."
Dari tadi saat di ambulans, Anggia juga sudah bertanya dirinya mau dibawa ke mana. Dini hanya bisa mengatakan kalau akan pergi ke rumah temannya yang meminjamkan uang untuk berobat.
Dini sudah membuka kondisi keuangannya pada Anggia sehingga anak berusia lima tahun itu sudah paham kalau mereka saat ini tidak punya uang.
Anggia paham, sebab gadis kecil itu juga sering ikut Dini pergi ke toko emas untuk menjual perhiasan yang mereka pakai untuk biaya pengobatannya.
Makanya, Dini hanya mengangguk saja menimpali ucapan Anggia.
Tidak lama, dua orang berseragam perawat yang dipekerjakan oleh Rio menghampiri mereka. "Ibu silakan bisa beristirahat dan Anggia akan kami jaga."
"Tapi saya biasa tidur dengan putri saya."
"Kami mengerti. Tapi Ibu sekarang harus mandi dulu dan ganti baju, bukan? Kami akan menjaganya dulu dan nanti Ibu bisa ke kamarnya Anggia dan tidur bersama dengannya."
Tidak bisa mengelak lagi, Dini pun pasrah. "Baiklah terima kasih."
Kemudian, setelah Anggia dibawa oleh dua suster itu, Dini dengan tubuh kotornya masuk ke kamar mandi.
Melihat kamar mandi di dalam kamar barunya ini, Dini merasa seakan-akan seperti kembali ke rumah orang tuanya.
Rumah itu mewah, sama seperti rumah orang tuanya dulu. Semua perlengkapan yang ada di dalam kamar mandi ini bahkan benar-benar persis seperti yang sering dia gunakan dulu.
Hal itu sontak membuat Dini menjadi lebih emosional. “Kak Rio sengaja menyiapkan semua sabun-sabun perlengkapan mandiku sama seperti yang biasa aku gunakan dulu kah?”
Tidak hanya itu ... Pakaian-pakaian juga sudah tersedia di dalam wardrobe pun kembali menguatkan pemikiran Dini.
Style yang sama seperti yang dulu Dini sering gunakan sewaktu tinggal di rumah papanya. Ini juga membuatnya speechless. Apalagi saat menemukan sebuah ponsel baru, juga debit, lengkap dengan catatan pinnya di meja rias.
Tidak mau terbuai dengan segala perhatian Rio, Dini mengedikkan bahu.
"Mungkin dia mau mengirim uang untuk biaya cuci darah nanti? Dan handphone ini supaya dia bisa menghubungiku kan? Aku tidak punya handphone soalnya."
Dua minggu sudah Dini berada di rumah Rio dan dia bisa melihat Anggia tersenyum cerah hampir sama seperti hari-harinya dulu saat masih di rumah peniggalan papanya.
Sementara itu, Rio tidak pernah menampakan batang hidungnya, kendati pria itu berkata akan menemuinya di sini kala itu. Tentu hal itu membuat Dini merasa lega, sebab dia tidak perlu merasa canggung dengan kehadiran Rio di rumah yang sama dengannya.
Merasa kerasan, Dini bahkan seolah lupa jika ini bukan rumahnya sendiri. Wanita itu dengan lihainya memasuki dapur dan menyiapkan sendiri makanan untuk dirinya juga sang anak.
"Anggia, Mama buat makanan kesukaan Anggia, sini dimakan dulu mumpung masih hangat."
Tanpa Dini sadar saat dia berkata begitu ada seseorang yang berjalan mendekat dan kini tengah melihat ke arah makanan yang dipegang wanita itu.
"Apa saat kamu hamil Anggia, kamu merindukan mantan kekasihmu sampai-sampai mereka punya makanan kesukaan yang sama??”
Dini berjengit, kaget, tetapi beruntung diabisa segera mengontrol ekspresinya dan berhasil menemukan jawaban dengan cepat."Ah, kurasa itu hanya persepsi Kakak.”Dini memulas senyum tipis untuk mendukung alibinya. “Onde-onde adalah makanankesukaanku. Aku sering membawanya dan membagi-bagikannya ketika kuliah dulu.Jadi kurasa dia terpengaruh olehku karena ini makanan favoritku."Tidak lama, seruan seorang bocah membuat Dinimenoleh."Mama, itu temen Mama yang tolonginAnggia?""Oh, iya Sayang. Namanya Om Rio.” Tepatsaat itu, Anggia telah menghampiri Rio lebih dulu. “Dia yang membayarpengobatan Anggia kemarin sama minjemin rumahnya buat kita tinggalsementara."Bocah kecil itu masih memperhatikan Rio yangberdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya, menatap pria itu dengan rasapenasaran."Om Rio, makasih udah tolongin Anggia dirumah sakit."Anggia tersenyum lepas, kemudian tanpa didugamendekat dan mengulurkan tangannya. Sejenak, Rio terlihat terkesiap dengansikap bocah yang
"Eh, maaf Kak!"Bukan hanya Dini saja yang langsung takberkutik saat mendengar celetukan Rio. Dua suster yang juga sedang asik dengancemilan mereka pun langsung membisu.“Ibu macam apa yang tidak menyiapkan minumuntuk anaknya yang sedang makan?!” sindir Rio lagi. “A-ah, iya. Sebentar.” Buru-buru Dini bergerakmengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air mineral."Berikan padaku!” Rio langsung merebutgelas itu dari tangan Dini. “Jangan lupa kopiku!" katanya yang langsungmelenggang menuju Anggia lagi.Sepeninggal Rio, Dini dengan cekatan meracikkopi kesukaan pria itu yang sudah berada di luar kepalanya. 7 tahun terbiasabersama, membuat Dini begitu paham apa yang pria itu inginkan.Piccolo latte adalah kopi yang dikenal berasaldari Spanyol, kesukaan Rio. Tidak butuh waktu lama, wanita itu pun segeramembawa kopi racikannya menghadap si empunya."Ini kak!" seru Dini tanpa menatapRio saat membawa gelasnya mendekat. Bibir Rio yang melengkung tipis kala melihatkopi yang disa
"Oh iya kalau begitu aku ganti bajudulu."Baik, kalau begitu aku siap-siap dulu—“"Tidak perlu!” Baru saja Dini membaliktubuhnya, suara Rio kembali menghentikan langkahnya. Wanita itu kembalimenghadap pria itu dengan pandangan bingung. “Apa tidak apa-apa?” tanya Dini, merujuk padapenampilannya yang masih memakai pakaian rumah biasa.Maksud gadis itu adalah ... dia inginmenghargai istri Rio. Bagaimana pun menurutnya, menemui ‘majikannya’ denganmemakai gaun rumah—daster lusuh, adalah hal yang kurang pantas.“Aku tidak membawamu untuk memikatnya.” Rioberujar dengan tatapan tajam. “Kamu hanya wanita yang kupinjam rahimnya. Bukanwanita yang kunikahi dengan sungguh-sungguh.”Saat itu, Dini tertohok. Benar juga, pikirnya.Dia bukanlah siapa-siapa. Dia bukan wanita yang akan menjadi saingan istri Rio.Bagaimana pun, dia hanyalah ‘pembantu’,membantu Rio dan istrinya mendapatkan anak dengan rahimnya.Setelah itu, mereka pun bergegas.Awalnya, suasana mobil terasa mencekam karenatidak
Pagi hari ini, ada yang berbeda dari Dini.Wajah wanita itu tidak secerah biasanya, ditambah jalannya yang terlihat tidakbiasa.Semua ini karena dia yang terlalu banyakmenangis semalam. Sedang kakinya, karena dia berjalan dari restoran hingga kerumah, karena lupa membawa uang dan juga ponselnya.Ekspresi Dini semakin keruh mana kala orangyang semalam membuatnya tersiksa datang ke rumah ini."Mana kopi dan sarapanku?" kata Rioyang langsung duduk di meja makan usai menyapa Anggia."Memangnya di rumah Bapak tidak adasarapan?" Dini berkata ketus, tetapi kemudian kembali sibuk menatalauk-pauk di meja."Aku tidak punya kewajiban menjawabpertanyaanmu!" Rio menatap Dini dengan dingin kendati wanita itu tidakmelihat ke arahnya. "Lagipula, aku sudah membayarmu untuk menurutikeinginanku."Dini menatap garang ke arah Rio. "TapiKak Ri--maksudku, Pak Rio membayarku bukan untuk hal ini.""Terserah. Bagaimana pun, mencaripenggantimu bukan hal sulit untukku." Rio melirik ke arah Anggia yan
"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi,riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengansaya. Apa yang—““Kamu terlalu percaya diri, Dini.” Rio menolehdan menatap dingin Dini dengan seringai tipis di bibirnya. “Aku sudah punyaistri yang sempurna. Kamu pikir, aku akan tergoda denganmu seperti dulu?”Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Riokemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kayaraya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanyalaki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini."Lagi pula aku tidak tertarik denganwanita bekas laki-laki lain!"Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relunghati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejamsekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimakioleh Satrio."Kalau begitu, kenapa Bapak inginberduaan dengan saya di sini?"“Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akanbertindak bo
“Diamlah!”Rio menarik kaki Dini ke atas pangkuannya. MataDini sudah memejam, takut membayangkan yang tidak-tidak.Namun, tidak ada yang terjadi lagi selain kakinyaterasa dipegang oleh Rio dengan begitu hati-hati.“Bapak sedang apa?” tanyanya, bingung.“Apa kamu bodoh?” ujar Rio ketus, tetapimatanya tidak lepas dari luka-luka dan kaki Dini yang terlihat mulaimembengkak. “Kakimu terluka, tetapi tidak mencari bantuan untuk diobati? Apakamu benar-benar ingin membuatku dalam masalah besar?”Kalau ada tempat bersembunyi untuk menutupiwajahnya, Dini rasanya ingin masuk ke tempat itu karena dia malu sekali sempatberpikir Rio akan melakukan melecehkannya. Padahal Dini sadar kalau istri Riokecantikannya tak bisa dibandingkan dengan dirinya yang sekarang.Dugaan Dini salah besar!“Luka sekecil apa pun akan mengganggumu, danmembuat proses bayi tabungku terkendala. Bukan hanya kamu yang dirugikan, akudan istriku justru pihak yang paling dirugikan di sini!”Dini diam. Menurutnya, alasan
“Apa? Bapak mencoba memeras saya?”Kaget, Dini berseru pada Rio.“Bayarannya bukan itu!” Rio kemudian mencuci tangannya di wastafel sebelum kemudian kembali mengangkat Dini dalam gendongannya.Pria itu tidak mengizinkan Dini jalan sendiri alasannya kaki Dini baru diobati dan Rio tidak menutupnya dengan kasa. Alasannya lagi, kasa tidak tersedia di kotak P3K-nya.Dini pasrah, tapi dia juga ingin kepastian dari Rio apa yang pria itu inginkan.Saat Rio sudah mendudukkannya di tempat tidur Dini kembali menagih karena tidak mau berhutang Budi pada Rio lebih banyak lagi. “Lalu, bayaran seperti apa yang Bapak minta?” "Kalau sudah waktunya, nanti aku memberitahumu!" seru Rio yang kembali duduk di samping Dini dan memberikan pijatan.Mulanya, Dini menjerit-jerit kesakitan. Namun, semakin lama ... bahkan nyaris 30 menit Rio melakukannya, dia menjadi semakin nyaman. Rasa sakit itu seolah perlahan sirna."Jangan melakukan kebodohan yang sama yang bisa menyusahkan orang lain!" seru Rio sembari men
"Aku tidak setuju! Kamu pembawa gen Thalasemia!"Syukur suaminya sudah bicara lebih dulu dan menolak penawaran Dini. Karena Christa sejujurnya tak setuju juga.Dia dari awal memang tidak terlalu menyukai Dini. Menurutnya, wanita itu selain kotor, tak berasal dari strata sosial yang sama, satu lagi, bagaimana bisa dia menerima sel telur Dini dan merawat anak itu nantinya seperti anaknya sendiri?Ini tak bisa, Christa jijik!"Rio, cuma gen pembawa. Lagian Kamu kan sehat! Aku rasa nggak ada masalah jika Dini menyumbangkan sel telurnya." Rio memang belum pernah mengecek terkait thalasemia."Daripada kita ambil sel telur asal dari dari pendonor yang gak dikenal, ini akan lebih bermasalah. Dan lagi, kamu tahu kan gimana sistem di Indonesia? Ribet! Kecuali kalau kalian bisa bawa Dini ke luar negeri dan inseminasi buatan di sana. Baru deh, ada kemungkinan bisa cari sel telur di sana."Rio juga paham soal ini. Tapi kemungkinan keluar negeri, apa itu mungkin?"Sayang, papaku akan curiga kalau k